Inilah Jawaban Sarlito Wirawan saat Ditanya "Mengapa Kita Cenderung Hidup Boros?"

K. Tatik Wardayati
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Keuangan Keluarga (2): Manfaat Menulis dan Merinci Pengeluaran
Keuangan Keluarga (2): Manfaat Menulis dan Merinci Pengeluaran

Intisari-Online.com – Pertanyaan itu telah kami kemukakan kepada tiga orang: Dr. Sarlito Wirawan (psikolog), seorang ekonom dan seorang peminat sejarah. Mungkin dengan uraian ini kita bisa lebih mengerti latar belakangnya. Ternyata sifat sok panter itu warisan manusia purba.

--

Kata orang penduduk negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Utara dan Jepang, lebih cermat mengatur pengeluaran uangnya, sedangkan kita orang Indonesia (yang miskin maupun yang kaya) relatif lebih boros. Benarkah demikian? Dr. Sarlito Wirawan menanggapi.

Tentu banyak orang yang meragukan pendapat umum tersebut. Bahkan mungkin ada yang marah-marah karena dianggap boros. Tetapi cobalah lihat ke Anda saja. Kalau Anda punya anak-anak tentu Anda mengalami bahwa anak-anak Anda menghabiskan jatah uang sakunya untuk sebulan dalam 2 atau 5 hari saja dan setelah itu merongrong Anda minta dibelikan ini-itu. Anda tentu juga sering melihat tetangga atau kawan-kawan kantor yang memaksakan diri membeli mobil walaupun gajinya belum mencukupi. Para pembaca yang pria banyak yang mengeluh tentang istrinya yang tidak pernah menolak tukang kredit yang menjajakan berbagai barang ke rumah, dari kain batik sampai mesin pengisap abu. Orang-orang yang kaya pun tidak cukup punya satu atau dua mobil, melainkan harus punya 5 atau 6 buah.

Cara hidup kita seperti tersebut di atas berbeda sekali dari cara hidup penduduk negara maju. Mereka dengan cermat sekali menyisihkan uang untuk asuransi jaminan hari tua, mereka dengan teliti merencanakan barang-barang yang harus mereka beli setiap tahun. Tahun ini membeli mebel, tahun depan membeli mobil, tahun depannya lagi pindah ke apartemen yang lebih besar dan sebagainya. Pokoknya segala sesuatu lebih terencana dan itulah yang membuat mereka relatif lebih hemat dari kita (yang umumnya gemar memborong barang-barang dari toko-toko atau pasar).

(Baca juga:Ikuti Kuis Ini untuk Mengetahui Apakah Anda Seorang Pemboros atau Bukan? )

Tentu saja anggapan tersebut di atas masih harus ditest kebenarannya melalui suatu penelitian. Tetapi andaikata saja anggapan tersebut benar, mengapa sampai begitu? Mengapa orang-orang Indonesia seperti kita ini boros sehingga mudah dililit utang? Kalau kita mengetahui apa sebabnya kita hidup boros, mungkin kita bisa mengubah cara. Hidup kita sehingga lebih hemat.

Tidak berpikir sistematis

Faktor penyebab yang pertama menurut pendapat saya adalah kebiasaan yang diturunkan dari orang-prang tua kita untuk hidup dari saat ke saat saja tanpa merisaukan masa depan, apalagi merencanakannya. Apa yang ditanam sekarang, dipanen besok dan dimakan lusa. Habis perkara. Besok kita menanam lagi untuk dimakan setelah lusa dan seterusnya.

Tidak pernah terpikirkan oleh orang-orang tua dan nenek moyang kita bagaimana caranya meningkatkan cara bercocok tanam agar panen lebih banyak lagi dan bisa menyimpan untuk musim paceklik. Zaman dulu belum ada ledakan penduduk, tanah masih luas, air melimpah dan kualitas tanah masih sangat subur. Karena itu cara hidup "panen sekarang makan sekarang" memang sesuai dengan keadaan waktu itu. Celakanya kebiasaan dari zaman kuno itu masih dibawa sampai sekarang. Petani-petani yang baru panen cepat-cepat mengawinkan anaknya, mumpung punya uang. Pegawai-pegawai negeri yang baru mendapat rapel cepat-cepat membeli kursi tamu baru, meskipun yang lama belum rusak.

Faktor kedua yang menyebabkan kita cenderung hidup boros adalah kebiasaan kita untuk tidak berpikir dan berbuat secara terencana. Apa yang kita rasakan atau kita inginkan segera saja kita lakukan saat itu juga. Kalau sedang tidak ada pekerjaan tertentu kita lebih suka santai, tidur-tiduran atau mengobrol omong kosong dengan tetangga. Tidak terpikir oleh kita untuk melakukan sesuatu sebagai persiapan terhadap suatu peristiwa di masa yang akan datang. Itulah sebabnya sering kita jumpai peristiwa-peristiwa (rapat kerja, pasar malam, pesta perpisahan, pertandingan olah raga dan sebagainya) yang dipersiapkan secara tergesa-gesa dalam waktu sehari-dua hari, walaupun waktu untuk perpisahan sudah disediakan sejak berbulan-bulan sebelumnya.

Ketidakbiasaan hidup terencana ini erat hubungannya dengan ketidakbiasaan kita berpikir secara sistematis seperti yang biasa dilakukan dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memang baru saja berkembang di Indonesia (± 50 tahun) dan masih belum merata ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Karena belum terbiasa bertingkah laku berdasarkan pengendalian oleh akal, maka manusia Indonesia masih banyak yang bertindak mengikuti perasaannya saja.

"Guyub" dan sok gengsi

Seorang pensiunan atau seorang buruh rokok misalnya, tidak pernah membawa uangnya utuh ke rumah, karena begitu ia keluar dari tempat pengambilan pensiun atau gaji, langsung ia dihalang oleh bakul-bakul (penjual-penjual) berbagai barang dan biasanya ia tidak dapat menahan diri untuk tidak membeli barang-barang yang menggiurkan dan miring harganya. Salah-salah habis gajian malah dililit utang.

Faktor "guyub", yaitu lebih memperhatikan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, juga menyebabkan banyak orang Indonesia tidak dapat mengontrol uangnya. Uang yang sudah disediakan untuk mengontrak rumah terpaksa direlakan untuk adik yang memerlukan uang untuk membayar kuliah. Kalau ada keponakan atau tetangga yang menikah atau dikhitankan mau tidak mau mesti ada "kado" atau "amplop", tidak perduli keadaan keuangan kita yang kadang-kadang sedang payah. Daripada dikatai tidak sosial lebih baik korban uang. Soal kontrak atau yang lain-lainnya, bagaimana nanti sajalah. Rezeki di tangan Tuhan.

(Baca juga:9 Kebiasaan Boros dalam Rumah Tangga (1) )

Pandangan bahwa rezeki di tangan Tuhan ini juga menyebabkan kita hidup tanpa perhitungan. Kalau Tuhan kasihan pada kita, tentu Tuhan akan melimpahkan rezeki kepada kita. Apalagi kalau kita soleh dan taat beragama. Kita lupa bahwa rezeki yang disediakan Tuhan itu harus kita usahakan sendiri untuk memperolehnya.

Kalau kita kaitkan dengan masalah gengsi atau simbol status, sifat "guyub" ini bisa juga mendorong pemborosan. Misalnya: A hidup di kompleks pegawai pemerintah. la melihat B sudah mempunyai sebuah sekuter, padahal pangkat dan gajinya dibawah A. A tidak mau kalah. Sebagai pegawai yang lebih tinggi pangkatnya, ia mau lebih dari B. la malu kalau tetangga-tetangga lain mencemoohkan A karena tidak punya skuter seperti B. Jadi ia memaksakan diri membeli skuter, walaupun harus berutang dan mengurangi uang belanja istrinya.

Faktor gengsi ini masih ditambah lagi dengan faktor pengaruh iklan barang-barang yang tadinya bukan merupakan kebutuhan utama, sekarang menjadi suatu keharusan. Ibu-ibu yang tadinya cukup mencuci dengan sabun batangan, sekarang harus dengan detergen. Anak-anak sekolah yang tadinya cukup memakai sepatu produksi dalam negeri merongrong orang tuanya minta dibelikan sepatu impor. Bapak-bapak yang tadinya puas dengan rokok kretek biasa, sekarang ingin rokok kretek kalengan kwalitas ekspor. Semua ini memaksa kita merogoh kantong lebih dalam. Kalau di kantong sudah tidak ada duit lagi, terpaksa kita berutang ke mana-mana. Kita jadi boros tidak karuan.

(Baca juga:9 Kebiasaan Boros dalam Rumah Tangga (2) )

Artikel Terkait