Intisari-Online.com – Bangsa Indonesia kehilangan putra terbaik. Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono wafat Senin (14/11/2016), sekitar pukul 22.15 WIB di RS PGI Cikini, Jakarta Pusat. Tulisan beliau banyak menginspirasi kita salah satunya tentang disiplin nasional yangdimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1982. Sebuah tulisan jadulyangmasih relevan dengan kehidupan kita sekarang.
--
Dengan disiplin nasional suatu bangsa lebih mudah menanggulangi kesulitan. Buktinya waktu terjadi krisis energi. Karena negara barat ramai-ramai berhemat konsumsi bahan bakar, penggunaan minyak bumi bisa ditekan banyak, di samping memang konsumsi minyak bumi berkurang karena resesi ekonomi.
Sering kita mendengar pendapat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak berdisiplin. Bandingkan saja dengan Singapura, misalnya. Di sana tidak ada orang membuang sampah sembarangan, lalulintas tertib sekali, mau naik bis atau taksi orang tidak pernah tidak antri, pegawai-pegawai negerinya datang dan pulang kantor tepat pada waktu yang telah ditetapkan.
(Baca juga: Orangtua yang Terlalu Disiplin Ternyata Membuat Anak-anak Jadi Pembohong Ulung)
Di Jakarta? Kali-kali, jalan-jalan penuh dengan sampah. Lalulintas simpang siur, serobot-menyerobot, bahkan kadang-kadang enak saja orang gerak jalan atau lari gembira di tengah-tengah jalan ray a protokol. Mau naik kereta api atau bis, jelas berjubel-jubel, tidak ada istilah antri. Tetapi ini masih bisa dimaklumi karena kereta apinya atau bisnya muhgkin memang terbatas. Namun kalau mau nonton Pekan Raya Jakarta yang karcisnya melimpah ruah, toh orang tetap lebih suka berjubelan daripada antri, ya memang sudah keterlaluan namanya.
Tentang pegawai negeri? Sudah jadi rahasia umum banyak kantor-kantor pemerintah yang masih kosong sekitar jam sembilan dan sudah kosong lagi sekitar jam satu siang. Tetapi anehnya, di daftar absen tetap tertulis hadir antara jam tujuh dan jam dua.
Bagaimana kalau dibandingkan dengan bangsa-bangsa Eropa atau Amerika? Wah, mereka jauh lebih disiplin, kata sebagian orang. Lihatlah bagaimana mereka menghemat bahan. bakar, sedemikian rupa sehingga dari kedudukan yang terdesak sebagai konsumen minyak, sekarang mereka dapat mendesak negara-negara produsen minyak untuk menurunkan harga minyak.
Semua ini berkat keikutsertaan setiap orang di negara-negara tersebut yang tidak pernah lupa mematikan lampu atau AC setiap kali meninggalkan ruangan, yang tidak pernah lupa mematikan kompor setiap kali meninggalkan dapur, tidak menggunakan kendaraan pribadi kalau tidak sangat perlu. Tentu saja pihak pengusaha, industriawan dan sebagainya sungguh-sungguh berusaha untuk mengurangi pemakaian bahan bakar minyak. Sementara itu di Indonesia pemakaian bahan bakar minyak meningkat terus, sehingga banyak ahli ekonomi yang khawatir bahwa pada suatu saat kelak Indonesia tidak akan mampu lagi mengekspor minyak, bahkan justru akan menjadi pengimpor minyak.
Memang, kalau dilihat sepintas lalu sinyalemen sebagian orang tentang disiplin nasional yang kurang baik ini ada benarnya. Akan tetapi kiranya tidaklah cukup kita mensinyalir saja tentang ada atau tidaknya suatu gejala. Kita harus juga mencari tahu apa sebabnya gejala itu ada dan syukur kalau bisa kita carikan jalan keluarnya (walaupun hal yang terakhir ini kadang-kadang sulit sekali dicapai). Untuk itulah say a ingin mengajak pembaca semua untuk mengkaji lebih mendalam tentang masalah disiplin ini.
Pertama tentunya perlu kita sepakati dulu, apakah yang kita maksudkan dengan disiplin itu. Disiplin sebagaimana termaksud dalam contoh-contoh yang saya uraikan di atas, berarti pola tingkah laku tertentu yang ajeg, yang tidak mudah berubah oleh adanya situasi atau keadaan. Kejiwaan tertentu. Pengemudi yang disiplin, misalnya akan tetap berada di jalur kiri dalam keadaan jalan macet dan tidak berusaha menyerobot ke jalur kanan, walaupun jalur kanan itu kosong dan ia sedang terburu-buru mau menjemput pacarnya. Tamu hotel yang disiplin tidak akan lupa mematikan lampu kamar hotelnya, walaupun ia hanya akan keluar kamar sepuluh menit. Pelajar yang disiplin tidak akan lupa membuat pekerjaan rumahnya walaupun pada malam harinya ia harus menghadiri pesta ulang tahun teman. Seorang perokok tidak akan merokok dalam bis kota atau dalam lift kalau ia memang berdisiplin.
(Baca juga:Menyeimbangkan Disiplin dengan Kasih Sayang)
Akan tetapi disiplin dalam artian di atas, tidak hanya berlaku pada tingkah-tingkah laku yang sudah disebutkan di atas. Seorang anak yang selalu mencium tangan orang tuanya sebelum berangkat ke sekolah, juga termasuk disiplin. Seorang pemuda yang selalu berjalan agak membongkok kalau lewat di hadapan orang yang lebih tua, disiplin juga. Seorang yang . tidak pernah melewatkan satu hari Minggu pun tanpa ke gereja atau sangat jarang meninggalkan sembahyang lima waktu, juga disiplin.
Dengan perkataan lain, dalam tata krama, adat dan agama, ada perilaku-perilaku yang ajeg, yang kalau dilakukan disebut disiplin juga. Dalam jenis disiplin yang terakhir ini, kita masih punya. Setidak-tidaknya, sebagian besar dari kita, bangsa Indonesia, masih mempunyainya. Bahkan sudah mempunyai sejak berabad-abad yang lalu. Mengapa? Karena perilaku-perilaku seperti itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat, kita pada waktu-waktu yang lalu. Kita belum punya lalulintas yang padat, sehingga disiplin dalam bidang lalu lintas belum diperlukan, akan tetapi disiplin dalam menghormati orang tua sangat diperlukan karena masyarakat kita sangat menghargai hubungan anak-orangtua, bahkan sampai anak itu dewasa. Pada waktu itu orang belum butuh, bepergian jauh-jauh sehingga keperluan akan disiplin untuk antri kereta pi Senja juga belum timbul. Sebaliknya, masyarakat masih sangat tergantung hidupnya pada tetangga, sehingga disiplin dalam bentuk "unggah-ungguh" (basa-basi) antara tetangga masih dilakukan dengan tekun.