Hampir setahun setengah Gunung Bromo berstatus waspada. Kondisi ini memungkinkan aktivitas vulkanologi terus berlangsung hingga saat ini, termasuk memuntahkan batu pijar. Untungnya, lontaran batu pijar belum pernah menjangkau pemukiman warga, salah satunya adalah karena adanya dinding kaldera yang begitu tinggi. Dinding kaldera tersebut menghadap batu pijar dan menjadikan pemukiman di baliknya tetap aman.
Dinding kaldera tingginya bervariasi, mulai 50 meter hingga 500 meter. Dinding ini melingkari gunung api lain yang kini tak lagi aktif, seperti Gunung Segorowati, Gunung Kursi, Gunung Widodaren, dan Gunung Batok. Karena itu, saat terjadi erupsi warga dilarang memasuki kawasan kaldera.
Bromo terakhir kali mengalami erupsi pada Juli 2011. Erupsi berkarakter Stromboli yang mengeluarkan bahan pijar dari dalam kawah ini bisa dibilang merupakan erupsi terlama yang pernah terjadi pada Bromo. Biasanya erupsi terjadi selama satu sampai tiga bulan saja.
Erupsi panjang itu memang tidak memakan korban jiwa. Namun mengakibatkan tanaman pertanian tidak bisa tumbuh. Semua ladang rusak karena terpapar material debu vulkanis.
Membangun sigiran
Sutomo, dukun kepala Tengger menceritakan, saat erupsi sembilan bulan berlangsung warga berhenti total menggarap sawah ataupun ladang. Tapi mereka tetap menolak mengungsi itu hanya bekerja membersihkan atap rumah dari debu yang menumpuk.
Mereka tak ingin, debu yang semakin tebal akan menyebabkan atap rumah ambrol karena tak sanggup menahan beban yang kian hari kian berat. Meski sementara tak beraktivitas di sawah, namun mereka tak cemas. Sebab untuk menghidupi keluarganya, warga telah memiliki “tabungan” yang bisa dipakai di masa-masa paceklik dan bencana.
Jauh-jauh hari mereka telah membangun sigiran, semacam lumbung tempat penyimpanan jagung. Umumnya diletakkan di halaman rumah. Jagung-jagung kering yang disimpan lengkap dengan kelobotnya bisa diolah menjadi pengganti nasi.
“Warga juga menjual ternak untuk bertahan hidup. Bagi kami, ternak adalah tabungan yang sewaktu-waktu bisa dijual saat dibutuhkan. Toh seandainya tidak dijual, ternak itu juga tidak bisa dipelihara karena pakannya rusak tertutup debu dari Bromo,” ujar sang dukun Sutomo.
Pernyataan ini diperkuat Ndoko, warga Suku Tengger di Desa Ngadisari yang sehari-hari bekerja menjual minuman di kawasan wisata Gunung Bromo. “Walau Bromo meletus, kami tidak akan mengungsi karena kami percaya bahwa Gunung Bromo akan selalu melindungi nyawa kami,” ucap Ndoko.
Ketika mengalami erupsi di 2010 lalu, status Bromo dinaikkan dari siaga (level 3) menjadi awas (level 4). Pada saat seperti itu, mestinya warga yang tinggal di sekitar Kawasan Rawan Bencana (KRB) I—terkena batu pijar dan hujan abu lebat—yang meliputi desa Ngadisari, Jetak, Ngadas, Wonotoro, dan Wonokerto, dihimbau untuk mengungsi.
Selain KRB I, oleh PVMBG juga telah ditentukan KRB II. Kawasan ini meliputi area di dasar kaldera lautan pasir. Karenanya, saat aktivitas Bromo meningkat, penduduk dan wisatawan dilarang keras turun ke dasar kaldera, apalagi sampai mendekati Bromo.
Namun bagi yang terlanjur berada di sana saat Bromo ‘batuk’, juga telah ditentukan tiga jalur penyelamatan yang meliputi jalur Cemoro Lawang – Ngadisari – Sukapura ; jalur Penanjakan – Wonokitri – Tosari ; dan jalur Rujak – Jemplang – Ngadas maupun Ranu Pani. Bagi wisatawan maupun penduduk yang ada di sekitar kaldera ketika Bromo erupsi, bisa memilih rute terdekat dari lokasinya berada.