Intisari-Online.com - Ditetapkannya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengundang reaksi baru dari Partai Gerindra, yakni soal Perjanjian Batu Tulis pada 2009 silam.Perjanjian Batu Tulis sendiri merupakan sebuah kontrak politik berisi 7 kesepakatan yang dibuat oleh PDI-P dan Gerindra di Batu Tulis, Bogor, menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden pada 2009. Kontrak politik tersebut berisi kesepakatan kedua partai untuk mengusung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, sebagai pasangan capres dan cawapres.Adapun poin lain dalam perjanjian tersebut adalah Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto pada pemilihan presiden 2014. Namun Jumat (14/3/2014), PDIP menetapkan Joko Widodo sebagai capres mereka.(Baca juga: Keputusan Tepat PDI-P Usung Jokowi Jadi Capres)
Menanggapi hal tersebut, ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, lantas mempersoalkan Perjanjian Batu Tulis antara partainya dan PDI-P. Calon presiden dari Partai Gerindra ini mempertanyakan, kenapa partai benteng itu menetapkan Jokowi sebagai calon presiden, bukan mendukungnya seperti kesepakatan itu."Kalau Anda manusia, lalu ada di pihak saya, bagaimana? Ya, pikirkan saja," katanya.Prabowo sendiri mengatakan sudah meminta waktu bertemu dengan Megawati guna membahas hal tersebut. "Kalau memang harus diakhiri, saya berharap diberi tahu. Saya sudah minta bertemu sejak beberapa bulan lalu," ujarnya.PDI-P sudah 'Move on'Menanggapi gugatan tersebut,Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menyatakan partainya tak mau lagi mengungkit soal perjanjian Batu Tulis dengan Partai Gerindra tersebut. Menurutnya, apapun isi perjanjian itu merupakan masa lalu.PDI-P, kata Hasto, akan menatap ke depan dalam mempersiapkan calon Presiden yang akan diusung. "Cara berpikir kamimove onbukanmove backkembali ke masa lalu, karena bahaya kalau berpikir masa lalu. PDI-P melihat ke depan," ujar Hasto di Jakarta, Minggu (16/2/2014).Terlepas dari hal tersebutHasto mengatakan perjanjian tersebut memasang syarat pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto yang diusung pada Pemilu 2009 memenangkan Pemilu Presiden. Bila kemenangan itu tercapai, ujar dia, PDI-P harus memastikan sejumlah besar kursi menteri harus diisi kandidat yang diusung Partai Gerindra."Itu kalau waktu itu menang Pemilu Presiden," kata Hasto. Karena faktanya kemenangan saat itu tak terjadi, ujar dia, maka tak ada lagi perjanjian yang mengikat PDI-P dengan Partai Gerindra, apalagi soal jatah kursi menteri itu.(Baca juga: Jokowi Resmi Jadi Capres, PDI-P Sebarkan Logo)
Saat ini, kata Hasto, PDI-P fokus pada target pemenangan untuk pemilu legislatif dengan target 27,02 persen suara sah. Seluruh kader PDI-P juga diminta fokus turun ke lapangan untuk mencapai target itu.Bagi PDI-P, ujar Hasto, dalam Pemilu 2014 ini diharapkan terjadi kompetisi yang sehat. "Bukan kompetisi yang mengandalkan perjanjian. Kondisi faktanya yang menang pak SBY (pada Pemilu 2009)," kata dia.Saat ditanyakan soal tantangan Gerindra yang akan membuka perjanjian itu, Hasto tidak mempermasalahkannya. Namun, peluang Gerindra untuk kembali berkoalisi dengan PDI-P pada pemilu kali ini tampaknya terkubur pelan-pelan.Hasto mengatakan PDI-P dalam memilih partner koalisi tidak hanya melihat kebutuhan praktis perolehan suara ataupun kesamaan ideologi. "(Namun) juga kesantunan sebuah partai dalam berpolitik," sebut dia. Menurut dia, koalisi politik harus dibangun oleh tradisi berkeadaban. "Bukan tradisi saling menjegal," tegas dia. (berbagai sumber)