Orangtua Gemuk, Anak ... Gemuk Juga!

K. Tatik Wardayati

Editor

Orangtua Gemuk, Anak ... Gemuk Juga!
Orangtua Gemuk, Anak ... Gemuk Juga!

Intisari-Online.com – Anak yang aktivitas fisiknya tinggi adalah anak yang sehat, kuat,yang pola tidurnya lebih baik, yang prestasi akademisnya biasanya lebih tinggi, dan yang akan tumbuh menjadi orang dewasa yang bugar, sehat mental serta produktif. Sayangnya, mungkin tidak sampai separuh dari anak berusia 12 – 21 tahun secara teratur berolahraga, bahkan seperempat orang dewasa sama sekali tidak melakukan kegiatan olahraga secara terautr. Tidak heran bila angka kejadian obesitas pada anak meningkat sedikitnya tiga kali lipat.

Untuk itu ada hal-hal yang bisa dilakukan orangtua agar anak tidak pasif, malas bergerak, atau jarang berolahraga adalah seperti dimuat dalam Bayiku Anakku berikut ini.

  • Matikan televisi. Banyak alasan mengapa anak enggan melakukan aktivitas fisik secara teratur. Televisi merupakan alasan utama disusul dengan video game dan komputer. Berbagai penelitian dalam 20 tahun terakhir ini menunjukkan keterkaitan erat antara menonton televisi dengan obesitas. Semakin banyak waktu yang diluangkan di depan televisi, semakin tinggi pula risiko obesitas dan semakin berat pula tingkat obesitasnya. Sebaliknya, anak yang jarang menonton televisi, kenaikan berat badannya jauh lebih kecil. Batasi menonton televisi 1 – 2 jam saja sehari.
  • Bergeraklah wahai orangtua. Orangtua yang gemuk, biasanya anaknya juga gemuk. Bila kedua orangtua gemuk, maka 80% anaknya juga gemuk. Bila hanya salah satu orang tua yang gemuk, maka kemungkinan obesitas pada anak menjadi 50%. Bila kedua orangtuanya tidak gemuk, maka hanya 10% saja kemungkinan anaknya menjadi gemuk. Orangtua yang rajin berolahraga akan memicu anak untuk juga rajin berolahraga. Orangtua harus senantiasa memberi contoh, misalnya, pergunakan tangga ketimbang naik lift. Selain itu, lakukan kegiatan fisik rutin bersama anak, seperti bersepeda bersama, berenang, jalan kaki, atau tenis. Olahraga bersama ini tentunya memberikan manfaat kesehatan sekaligus menciptakan kebersamaan dan kedekatan emosional. Upayakan pula agar secara berkala, linkungan tetangga, RT atau RW, menyelenggarakan kegiatan olahraga bersama bagi anak.
  • Program olahraga intensif di sekolah. Kegiatan olahraga di sekolah sangat mempengaruhi tingkat keaktifan anak. Pimpinan sekolah harus menaruh perhatian besar terhadap kurikulum olahraga.
  • Rangsang anak untuk bergerak. Ajak anak untuk bergerak karena bergerak merupakan kunci terpenting pola hidup aktif. Bergerak tidak perlu selalu dalam bentuk olahraga. Misalnya, ajak anak main kejar-kejaran, loncat tali, memanjat, jalan kaki, dan lain-lain. Cari apa yang paling disukai oleh anak.
  • Mulai sedini mungkin. Anak batita yang superaktif seperti yang dikemukakan, bisa diarahkan untuk memiliki kecintaan terhadap aktivitas fisik, antara lain melalui permainan terstruktur. Misalnya, suruh anak “mania” ini menunjukkan bagaimana kelinci melompat, atau elang terbang meliuk-liuk, atau anjing yang mengejar temannya sambil menggerak-gerakkan ekornya. Buat semacam pertandingan untuk melihat seberapa jauh dan seberapa tinggi anak bisa melompat. Tandai tinggi lompatannya di tembok. Bandingkan dengan lompatannya pada kesempatan berikutnya, beritahukan dia apakah ada kemajuan dalam lompatannya. Singkatnya, buat aktivitas sesuai dengan apa yang disukai anak. Selanjutnya orangtua tinggal mengarahkan dan memberinya semangat. Upayakan agar sejak awal, aktivitas fisik menjadi bagian dari kehidupan anak sehari-hari. Ini berarti kita telah meletakkan batu landasan atau fondasi bagi kebiasaan hidup bugar di masa datang.
  • Tumbuhkan rasa cinta seumur hidup terhadap olahraga dan aktivitas fisik.Dalam menyusun suatu program olahraga bagi anak harus ada unsur-unsur berikut ini.
    • Menyenangkan dan mengasyikkan, fun.
    • Dapat dikerjakan setiap hari dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
    • Bervariasi.
    • Bila anak sudah agak besar, rancang kegiatan yagn lebih mandiri.
    • Masukkan unsur aerobik seperti berlari atau jalan.
Yang penting, jangan sampai aktivitas olahraga dan kegiatan fisik ini menjadi semacam kewajiban, karena sangat mungkin anak merasa terbebani.