Intisari-Online.com - Ganja memang memiliki beberapa manfaat. Contohnya temuan Donald Tashkin, seorang Profesor dari David Geffen School of Medicine di University of California, Los Angeles (UCLA) yang menemukan bahwa penggunaan ganja tidak memiliki hubungan dengan kanker paru-paru. Penelitian yang melibatkan 2.240 responden, pada tahun 2006 ini menemukan bahwa zat tetrahydrocannabinol (THC) pada ganja mampu mendorong apoptosis, mendorong kematian sel-sel yang berpotensi untuk menjadi kanker.
Sementara itu, Columbia University, pada tahun 2007 mengumumkan bahwa pasien HIV/AIDS yang menghirup ganja empat kali sehari mengalami peningkatan kemampuan tubuh dalam menyerap asupan makanan. Selain itu, San Diego School of Medicine menemukan bahwa sebagai analgesik, ganja mampu mengurangi pengaruh negatif HIV terhadap saraf. Secara psikis, pengidap HIV yang menggunakan ganja dapat memiliki mood (suasana hati) yang baik.
Contoh-contoh dari manfaat ganja inilah yang membuat beberapa negara melegalkan penggunaan ganja. Sampai saat ini, negara-negara yang telah menyatakan diri melegalkan ganja adalah Kanada, Austria, Jerman, Belanda, Spanyol, Israel, Italia, Finlandia, dan Portugal. Di Amerika Serikat, aturan tentang legalisasi medical cannabis berbeda-beda di masing-masing negara bagian. Semuanya menerapkan sistem kontrol yang ketat baik untuk penggunaan maupun penyediannya.
Sebagai contoh, beberapa negara bagian Amerika Serikat yang melegalisasi penggunaan ganja. Di sana, walaupun individu diizinkan untuk membeli ganja secara langsung, tanpa harus melalui dokter, proses untuk memperoleh izinnya harus melalui beberapa tahap seleksi.
Syaratnya, tentu saja, orang tersebut harus mengidap penyakit yang proses terapinya memerlukan ganja. Cara untuk mengetahuinya adalah dengan menemui dokter-dokter yang sudah ditunjuk untuk dapat memberikan rekomendasi penggunaan ganja. Jika dinyatakan memenuhi syarat, maka kemudian orang tersebut akan diberikan sebuah kartu yang disebut medical cannabis card (MCC). Nah, baru setelah memiliki MCC, seseorang dapat pergi ke apotek-apotek penyedia ganja untuk membelinya secara langsung.
Di Indonesia sendiri, menurut dr. Yuniar Sukmawati (Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Ketergantungan Obat), penggunaan ganja sebagai obat belum pernah dilakukan. Hal ini dilatarbelakangi data temuan yang menyatakan bahwa dampak positif ganja pada pengobatan lebih sebagai supporter (pendukung) bukan benar-benar mengobati penyakit secara langsung.
Apalagi, masih menurut dr. Yuniar, walaupun dapat dimanfaatkan secara medis (misalnya untuk meredakan rasa sakit atau sebagai antidepresan), ganja dapat menyebabkan ketergantungan. Hal ini terjadi dikarenakan tubuh manusia cenderung mengalami toleransi dari setiap penggunaan ganja. Dari awalnya dalam jumlah sedikit, lama-kelamaan jumlah ganja yang dibutuhkan untuk merasakan manfaatnya akan bertambah.
Hal lain yang membuat ganja sulit untuk diterapkan di Indonesia adalah kondisi tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang rendah. Dr. Yuniar menyatakan bahwa masyarakat Indonesia cenderung hanya meniru, tanpa memahami dampak positif maupun negatifnya. Kemudian, apabila ganja dilegalkan, sebagai negara tropis yang baik untuk ditanami ganja, maka ganja-ganja ilegal akan semakin banyak beredar di masyarakat. Fungsi pengawasan di Indonesia masih diragukan.
Terakhir, dr. Yuniar menyatakan bahwa apabila ganja akan dilegalkan, proses penelitian harus dilakukan dengan mendalam. Selain digali dampak positif dan negatifnya, penggunaan ganja terhadap orang Indonesia yang berbeda fisik dan psikisnya dari orang luar negeri juga wajib diperhatikan.