Intisari-Online.com- "Saya sering bertemu dengan pasien yang mengeluhkan beratnya susah turun badan. Ternyata sebagian besar kasusnya adalah eating disorder," papar dr. Grace Judio-Kahl, M.Sc., MH., CHt., pengamat gaya hidup, ilmuwan perilaku, dan konsultan pengelolaan berat badan dari PT Shape-UP Indonesia.
Menurut Grace, penderita eating disorder itu ibarat gunung es. Hanya sedikit yang terdeketeksi, tapi sebetulnya banyak yang mengalaminya. Pasien macam ini bila akar permasalahannya, yakni eating disorder, tidak diselesaikan, berat badannya akan terus naik-turun atau seperti permainan yoyo.
Malahan, kadang penderita sering menyalahkan diri sendiri atau keluarga bila tidak turun atau naik-turun seperti yoyo. Padahal, di dalam otak memang ada ketidakseimbangan neurotransmitter. Dalam nucleus caudatus dan putamen, penderita bulimia atau binge eating disorder mengalami gangguan sintesis dan sekresi serotonin dan dopamine. Serotonin adalah neurotransmitter untuk mengendalikan nafsu makan dan mood. Sementara dopamine berperan pada proses belajar, imbal jasa, dan adiksi. "Pada kasus anoreksia, saraf yang memproses serotonin di insula sangat overaktif sehingga merasa selalu kenyang dan mood-nya gelisah," tambah Grace.
Asal tahu saja, penelitian yang dilakukan PT Shape-UP Indonesia terhadap 100 pasien peduli berat badan di Klinik lightHOUSE Jakarta pada 2013 menunjukkan, prevalensi binge eating disorder sedang sebanyak 64%, parah 6%, dan 30% mengalami sedikit gangguan atau tidak sama sekali. Sementara untuk penderita bulimia/anoreksia sebanyak 32%.
Tara Adhisti de Thouars, BA., M.Psi, psikolog dari PT Shape-UP Indonesia mengungkapkan, penderita bulimia dan anoreksia di Amerika memang lebih banyak. Itu sebabnya kedua gangguan makan ini masuk dalam kategori diagnosa eating disorder dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat.
"Program penurunan berat badan dengan terapi tingkah laku akan sangat membantu dalam menurunkan berat badan dan mengontrol keinginan makan yang berlebihan," ujar Tara.