Intisari-Online.com -Oleh media-media Barat, Korea Utara saat ini dianggap sebagai negara yang paling terisolasi di dunia. Menarik untuk mengurai akar politik isolasi Korea Utara. Apa musababnya?Kira-kira terdapat 24 juta orang tinggal di negara yang terletak di bagian utara semenanjung Korea ini. Mereka memiliki akses sangat sedikit dengan dunia luar. Di laih pihak, media asing juga dilarang berinteraksi dengan dengan masyarakat Korut. Mereka dikontrol dengan akses yang benar-benar minim.Seorang wartawan BBC yang mengunjungi Pyongyang 2010 lalu menemukan fakta: beberapa mahasiswa di sana bahkan tidak mendengar nama Nelson Mandela—nama yang begitu dielu-elukan sebagai tokoh anti-rasial di Barat. Media luar yang mencoba mengorek kehidupan masyarakat Korut dipersulit, maka tidak heran jika kasus menghilangnya Pemimpin Tertinggi Korut, Kim Jong Un, beberapa minggu tidak bisa dikorek habis-habisan. Program nuklir Korea Utara dan catatan hak asasi manusia yang buruk membuat negara ini dikucilkan, terlebih dengan adanya sanksi internasional. Kondisi ekonomi kacau, angka kemiskinan meninggi. Sebuah pantauan luar angkasa memperlihatkan Pyongyang menghilang dalam gelap—ilustrasi gamblang ikhwal keterbelakangan kronis wilayah tersebut dibanding wilayah lainnya.Terisolasi sejak abad ke-14Jika kita adalah pembaca sejarah Asia Timur yang tekun, kita pasti pernah mendengar istilah The Hermit Kingdom alias “Kerajaan Hermit”. Istilah ini disematkan negara-negara Barat kepada negara atau wilayah yang gemar menutup diri atau menerapkan politik isolasi. Beberapa wilayah yang dikenal sebagai The Hermit Kingdom adalah Korean, Jepang, dan Tiongkok.Dinasti Chosun atau yang lebih dikenal dengan Joseon di Korea menerapkan kebijakan politik isolasi dari dunia luar hampir 6 abad lamanya. Cara itu dilakukan untuk menangkis invasi negara luar sekaligus menjaga tradisi Konfusianisme yang dipegang erat. Sama seperti yang terjadi di Korut saat ini, penduduk Korea dilarang untuk melakukan kontak dengan orang luar, juga bepergian ke luar Korea.Korea sendiri mendapat sematan Kerajaan Kermit pada abad ke-19. Label itu diberikan oleh negara-negara Barat yang kesulitan masuk ke Korea. “Saat itu, nama Korea belum familiar di telinga banyak orang, sementara Jepang dan Tiongkok sudah mulai membuka diri,” ujar akademisi Uichol Kim dan Young-Shin Park.Politik isolasi Korea akhirnya perlahan terbuka. Keputusan itu bukan membawa berkah, karena pasca-Perang Dunia I, Korea harus takluk di tangan Jepang pada 1910. Derita itu berlanjut setelah, ketika Jepang kalah pada Perang Dunia II, Korea dipecah dua menjadi dua wilayah: Korea Selatan di bawah kendali Amerika Serikat dan Korea Utara di bawah kendali Uni Soviet, untuk sementara waktu.Di Korea Utara, pemimpin Uni Soviet Josef Stalin menunjuk Kim Il Sung sebagai pemimpin tertinggi. Kim Il Sung memerintah Korut kurang lebih selama 50 tahun sebelum diganti oleh anaknya Kim Jong Il dan selanjutnya dilanjutkan oleh cucunya—yang baru-baru ini menghilang sementara—Kim Jong Un, hingga saat ini.Suasan Perang Dingin di awal 1950-an, membuat hubungan Korea Selatan dan Korea Utara memanas—buntut dari memanasnya hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang terjadi dengan dukungan sekutu masing-masing: Korsel didukung oleh AS, Korut mendapat sokongan Moskwa. Dan tak dipungkiri perang saudara memberi penderitaan yang tak terperi kepada keduanya, terlebih Korea Utara yang luluh-lantak oleh bom-bom buatan Amerika. Tak hanya fisik, perang juga memberi tekanan psikologi bagi masyarakat Korut. “Masyarakat Korea Utara tumbuh dengan mental yang terkepung,” tulis Charles Armsrong, direktur Pusat Penelitian Korea di Universitas Columbia, AS.Melihat kondisi rakyatnya seperti itu, Kim Il Sung lantas mengembangkan teori kemandirian yang dalam istilah Korea disebut Juche. Juche lantas menjadi ideologi bangsa ini. Ada tiga prinsip yang melandasi ideologi ini: kemerdekaan politik, kemandirian ekonomi, dan otonomi milter.“Sikap politik ini menjadikan Korea Utara sebagai negara yang benar-benar terisolir. Dogma Juche benar-benar diterapkan oleh masyarakat Korut dengan fasih,” tulis Grace Lee untuk The Stanford Journal of East Asian Affair. Juche juga dijadikan dalih untuk mengisolasi diri bahkan terhadap negara yang sama-sama mengusung ideolgi sosialis.Korut semakin teralienasi ketika hubungaan Tiongkok dan Barat membaik, dan diperparah dengan Uni Soviet yang runtuh. Sempat ada harapan ketika hubungan dengan Korea Selatan dan Barat sempat membaik di akhir 1990-an, tapi itu tidak berlangsung lama ketika George W. Bush memasukkan Korut menjadi salah satu bagian dari Axis of Evil 2002—pendukung utama terorisme—karena program nuklirnya.Kemungkinan-kemungkinan ke depanSeiring bergulirnya waktu, prediksi-prediksi tentang masa depan Korea Utara terus mengemuka. Andrei Lankov, pakar Korea Utara, mengatakan, kemungkinan besar rezim komunis Korut akan runtuh dan wilayahnya akan jatuh ke (Korea) Selatan. Seorang pembelot Korut mengatakan kepada NKNews baru-baru ini, meningkatnya aktivitas pasar, penetrasi informasi dari luar, serta pergolakan dalam negeri, sedikit banyak berperan terhadap destabilisasi rezim Korut.Kemungkinan lain: Beijing akan campur tangan dalam krisis yang berkepanjangan ini, menggiringnya untuk program pro-China, atau kemungkinan lain, rezim ini bisa bertahan asal berhasil memajukan kondisi ekonomi di Korut—tentu saja dengan melakukan kerja sama-kerja sama dengan negara luar.Tapi rasanya kemungkinan terakhir itu sangat mustahil. Negara ini telah bersumpah untuk terus maju dengan pengembangan nuklirnya, sementara pembicaraan multilateral untuk penghentian program nuklir telah ditahan sejak 2009.Meski demikian, tetap ada indikasi bahwa pihak Pyongyang akan mempertimbangkan kembali politik alienasi, termasuk peningkatan dialog dengan Korea Selatan. Terlebih, hubungan Jepang dan Rusia semakinn membaik. Di sisi lain, Tiongkok, sekutu tunggal Korut, semakin menjauh dari Korut, dan ini memungkinkan Korut untuk mencari “negara pelindung”. Tapi di luar itu semua, Choi Jin-Wook, peneliti senior Korea Utara yang berada di Korea Institute of National Unification di Seoul, mengatakan, “Saat ini, Korut ingin berbicara dengan AS, mereka menginginkan bantuan dari luar, mereka ingin keluar dari kebuntuan dan stagnasi—tapi tidak ada kata berhenti untuk nuklir.” Jika ini terjadi, hikayat politik isolasi Korea Utara dijamin berubah. (Huffington Post)