Advertorial
Intisari-Online.com -Keberadaan pohon-pohon plastik yang merupakan lampu hias di jalanan ibukota Jakarta sedang ramai diperbincangkan.
Perbincangan yang berlangsung bahkan mengarah pada protes atau cibiran.
Maklum, banyak yang menganggap keberadaan pohon-pohon plastik tersebut tak sedap dipandang alias mengganggu estetika.
Selain itu, pohon-pohon plastik tersebut juga dianggap mengganggu para pejalan kaki yang melintas.
Baca juga:Turki 'Ngotot' Ingin Serang Israel, Militer AS pun Pontang-Panting Mencegahnya
"Sudah trotoarnya tidak terlalu lebar, sampai pejalan kaki harus memiringkan bahu agar tidak terkena pohon imitasi...," tulislaman Facebook Koalisi Pejalan Kaki.
Sebenarnya bukan pertama kalinya para pejalan kaki di Jakarta, atau Indonesia pada umumnya, tidak mendapatkan fasilitas yang layak untuk mereka berjalan.
Mulai dari kondisi trotoar yang tak layak hingga trotoar yang diokupasi oleh pemotor, dijadikan tempat parkir, hingga dijadikan lapak berjualan kaki lima.
Maka, tak salah jika pada 2017, media Amerika SerikatNew York Times menulis sebuah artikel dengan judul "Jakarta, the City Where Nobody Wants to Walk."
Artikel tersebut sudah diuraikan ditribunnews.com dengan judul "Media Amerika The New York Times Soroti Trotoar Jakarta yang Semrawut dan Jadi Jalur Pemotor".
Berikut artikel lengkapnya.
--
Kondisi trotoar kota Jakarta menjadi sorotan salah satu media Internasional besar Amerika, The New York Times.
Baca juga:(Foto) Ya Ampun, Bersihkan Selokan Sampai Seperti Ini Hanya Digaji Rp138 Ribu!
Pasalnya, media yang sangat terkenal ini menuliskan artikel yang membahas soal ibu kota Indonesia, Jakarta, khususnya trotoar yang ada di Kota Jakarta.
Artikel yang berjudul 'Jakarta, the City Where Nobody Wants to Walk' ini dimuat di portal online-nya pada Minggu (20/8/2017) yang lalu.
Pada artikel ini The New York Times menyorot dan mengomentari trotoar di Kota Jakarta yang membuat orang-orang menjadi malas untuk berjalan kaki.
Melansir The New York Times pada Jumat (25/8/2017) yang mewawancarai Dita Wahyunita, ia mengatakan bahwa dirinya tidak suka jalan-jalan di jalanan Jakarta.
Hal ini dikarenakan trotoar yang tersedia di Kota Jakarta. Dikatakan, trotoar di Jakarta retak dan tidak rata.
Tak hanya itu, ada beberapa penutup selokan yang hilang dan kabel-kabel yang berhamburan serta pengendara motor yang agresif yang terkadang menggunakan trotoar untuk menghindari kemacetan atau sebagai tempat parkir.
Baca: Hidup Mewah Bos First Travel, Sehari-hari Dikawal Bodyguard, ke Kantor Selalu Pakai Mobil Hummer
Ditambah, cuaca Kota Jakarta yang luar biasa panas, ada juga polusi udara yang mencekik, dan juga banyaknya ancaman pencopet yang berkeliaran.
"Saya tidak merasa aman berjalan (di Jakarta) karena beberapa alasan. Trotoar di sini mengerikan. Di negara lain, mereka memiliki trotoar lebar hanya untuk pejalan kaki, jadi tidak apa-apa" kata Dita.
Dita sendiri adalah seorang analis pemasaran dan bukan satu-satunya orang yang menghindari kegiatan berjalan di Jakarta.
Pada sebuah studi yang dilakukan oleh para periset di Stanford University, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat di dunia dan masuk ke negara terakhir di antara 46 negara dan wilayah untuk jumlah langkah berjalan yang diambil warga negaranya, yaitu rata-rata 3.513 per hari.
Sebagai perbandingan, Hong Kong berada di urutan pertama dengan rata-rata 6.880 per hari, dan Cina yang berada di posisi kedua dengan jumlah 6.189.
Posisi tersebut disusul negara Ukraina, Jepang, dan Rusia dalam posisi lima besar.
Penelitian itu sendiri melacak 717 ribu orang di 111 negara yang secara sukarela memantau 68 juta hari aktivitas menggunakan aplikasi di perangkat smartphone dan jam tangan yang dirancang oleh para peneliti Stanford.
Setiap tempat membutuhkan setidaknya 1000 peserta untuk diberi peringkat dalam laporan.
Diketahui, di Jakarta hanya ada 7 persen dari jalan seluas 4.500 mil di ibu kota yang memiliki trotoar.
"Kota Jakarta yang menarik di mana dibutuhkan banyak kegiatan untuk aktif," kata Tim Althoff, kandidat doktor Jerman di bidang ilmu komputer di Stanford, yang memimpin tim peneliti beranggotakan enam orang tersebut.
"Trotoar buruk, sepeda motor di trotoar. Sudah jelas apa yang bisa dilakukan agar orang berjalan lebih banyak. Tidak mengejutkan jika orang tidak bisa berjalan banyak.
Alih-alih berjalan, penduduk Jakarta dan daerah perkotaan lainnya, dimana lebih dari separuh 250 juta orang tinggal di negara itu, menggunakan mobil, bus, taksi dan sepeda motor untuk menempuh jarak sejauh 200 meter, atau 650 kaki, bukan berjalan kaki, menurut Analis.
Konon, ada juga aspek budaya keengganan orang Indonesia untuk memakai sepatu untuk berjalan.
Yap, budaya orang Indonesia yang malas berjalan dan trotoar yang tidak ramah pengguna jalan inilah yang disoroti oleh artikel yang ditulis oleh The New York Times.
Bahkan, artikel ini sendiri sampai menjelaskan riset-riset yang resmi dan valid untuk menjelaskan fenomena yang ada di Kota Jakarta tersebut.
Jadi bagaimana menurutmu, guys?
Baca juga:Kisah Tragis Kematian Seorang Ratu, Dihadapan Rakyatnya dan Akibat Aturan yang Dibuatnya Sendiri