Rahasia si Penggoyang Lidah

Jeffrey Satria

Editor

Rahasia si Penggoyang Lidah
Rahasia si Penggoyang Lidah

Intisari-Online.com - Bagai sayur tanpa garam, rasanya kurang sedap kalau makan tanpa sambal. Kira-kira begitulah seni makan masyarakat Indonesia. Lidah masyarakat kita memang tak bisa jauh dari rasa pedas. Tapi ternyata, walau banyak penggemarnya, pedasnya cabai dan sambal Indonesia justru masih kalah jauh dengan pedasnya cabai dan sambal di luar negeri sana.Ternyata, masih banyak orang yang mengira bahwa pedas adalah rasa. Bukan, pedas bukanlah rasa. Pedas adalah sensasi yang muncul karena komponen kimiawi menyentuh kulit dan membran lendir. Senyawa kimia seperti etanol dan capsaicin adalah para biang keladi di balik sensasi pedas yang dalam bahasa ilmiah disebut chemesthesis itu. Kalau etanol biasa ditemukan pada minuman beralkohol, maka capsaicin biasa ditemukan pada cabai. Adalah apoteker Jerman, Christian Friedrich Bucholz yang berjasa menemukan senyawa ini pertama kalinya. Nama senyawa capsaicin diambilnya dari capsaicum, jenis dari tanaman cabai. Namun, karena ketika itu peralatannya masih sangat terbatas, Christian hanya bisa mendapatkan capsaicin dalam bentuk yang belum murni.Enam puluh tahun kemudian, tepatnya 1876, John Clough Thresh, fisikawan Inggris mengklaim dirinya telah berhasil memurnikan capsaicin dan memberinya nama capsaicin. Nama itu akhirnya bertahan hingga sekarang. Namun capsaicin yang diklaim oleh ternyata John tidak semurni dugaanya. Barulah pada 1898, Karl Micko, kimiawan Jerman berhasil mendapatkan capsaicin yang betul-betul murni.Selain capsaicin, ada pula dihidrocapsaicin, yang juga tak kalah pedasnya. Keduanya disebut capsaicinoid dan menjadi komponen utama cabai. Para peneliti juga melengkapi jejeran keluarga capsaicinoid dengan homocapsaicin, homodihydrocapsaicin, dan nordihydrocapsaicin. Boleh jadi mereka disebut “anak tiri” karena telah dilarutkan berulang kali.Ukur-ukur pedasnyaWalau berjasa dalam menemukan biang kerok di balik pedasnya cabai, para peneliti dan ilmuan itu justru tidak terlalu terkenal. Nama Wilbur Scolville justru lebih sering disebut, lantaran menciptakan tes untuk mengukur tingkat kepedasan cabai dan satuan unit pedas yang ia sebut Scolville Heat Unit (SHU).Tahun 1912, Wilbur yang saat itu menjadi apoteker di perusahaan farmasi Parker Davies, melakukan tes yang ia namakan Scolville Organoleptic Test. Pengetesan dilakukan dengan melarutkan ekstrak cabai dengan air gula sampai rasa pedasnya betul-betul hilang. Wilbur menunjuk pula lima orang panelis sebagai pencicip rasa dan memberikan skor pada ekstrak cabai tersebut. Satu tetes larutan gula yang Wilbur teteskan akan bernilai 1 SHU. Jadi, misalkan saja ia mau mengetes kepedasan cabai merah, ia harus melarutkan ekstrak cabai merah tersebut sampai 750 kali hingga rasa pedasnya hilang dan itu disebut 750 SHU.Wilbur menilai bahwa cara ini sudah objektif, tetapi tidak begitu halnya dengan peneliti lainnya. Menurut mereka, daya tahan kelima panelis terhadap pedas bisa saja berbeda-beda dan menghasilkan skor yang tidak objektif. Hanya saja pada saat itu, pengetahuan dan teknologi belum berkembang sedemikian rupa, maka mau tak mau cara ini tetap dipertahankan hingga beberapa saat lamanya.Saat ini, setelah teknologi semakin berkembang, para peneliti dan ilmuwan akhirnya meninggalkan metode yang dipakai oleh Wilbur. Dengan alat kromatografi cairan tekanan-tinggi (high-pressure liquid chromatography), para peneliti dapat mengidentifikasi dan mengukur konsentrasi dari capsaicinoid pada cabai dengan akurat.Satuan unit yang dipakai dalam pengukuran ini pun berbeda, yakni American Spice Trade Association (ASTA). Tapi bak mata uang, keduanya dapat dikonversikan ke satu dan lainnya. Untuk mengkonversikan 1 ASTA ke dalam unit SHU, cukup dikalikan 15. Jadi 100 ASTA sama dengan 1.500 SHU.Pakar rempah-rempah dan makanan pedas, Donna R. Tainter dan Anthony T. Grenis menyatakan bahwa walau konversi nilai ini sebetulnya tidak terlalu akurat. Dengan metode Scolville, cabai akan diperhitungkan 40% lebih pedas dibandingkan bila menggunakan metode ASTA. Namun perbedaan ini bisa juga meningkat hingga 50% tergantung pada laboratoriumnya. Ah, betapa sulitnya menghitung pedas.Para peneliti lalu mengembangkan tes kepedasan baru menggunakan tabung nano. Profesor Richard Compton dan tim dari Universitas Oxford, Inggris, telah mengembangkan teknik untuk mengukur tingkat capsaicin dalam cabai dengan lebih sensitif.Dalam metode yang digunakan oleh Richard, capsaicinoid terserap ke dalam tabung karbon dengan nano elektroda. Tim akan mengukur perubahan yang ditimbulkan ketika capsaicinoid teroksidasi oleh reaksi elektrokimia. Richard dan tim menamakan teknik ini sebagai Adsorptive Stripping Voltammetry (ASV) atau metode elektrokimia sederhana.Soal satuan unit, Richard dan tim mengatakan bahwa mereka tetap menggunakan SHU sebagai satuan unit. Ini melegakan, karena paling tidak kita tak perlu repot membuat konversinya bukan?