Intisari-Online.com - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atau lebih dikenal dengan Badan Bahasa pertama kali didirikan dengan nama Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek (ITCO). Kegiatan awal lembaga yang berdiri pada tahun 1947 tersebut berupa meneliti bahasa dan kebudayaan serta penyalinan naskah-naskah yang tertulis pada daun lontar.
Lembaga ini sendiri kemudian mengalami beberapa kali perubahan nama yang disertai perubahan secara kelembagaan. Mulai dari Lembaga Bahasa dan Budaya, Lembaga Kesusastraan, Lembaga Bahasa Nasional, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan terakhir pada tahun 2010 menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang lebih dikenal dengan Badan Bahasa. Badan ini berada di bawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional.
Melalui lembaga ini, bahasa dan sastra indonesia dikembangkan dan juga dilindungi. Selain itu, upaya pembinaan dan pemasyarakatan bahasa dan sastra kepada masyarakat juga dilakukan oleh lembaga yang beralamat di Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun-Jakarta ini.
Salah satu upaya untuk mengembangkan dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia yang dilakukan oleh Badan Bahasa adalah pembakuan istilah-isitlah baru atau asing. Seperti istilah “unduh” dan “unggah” untuk istilah asing download dan upload atau daring (dalam jaringan) untuk online.
Menurut Meity Taqdir Qodratillah, kepala Pembakuan dan Pelindungan Bahasa, ada tiga unsur pembaku istilah, yaitu ahli bahasa, pakar bidang ilmu tertentu, serta masyarakat. Pembakuan berawal dari pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh para staf Badan Bahasa terhadap ketiganya. Media massa, yang mampu merekam ungkapan-ungkapan dari ketiga unsur tersebut, digunakan sebagai sarana untuk melakukan pengamatan.
Biasanya media yang dipilih adalah media cetak. Pemilihan ini lebih dikarenakan kemudahan yang hanya merekam tulisan, bukan ucapan yang belum tentu sesuai dengan ejaannya. Semisal pengucapan kata “peuyeum” oleh orang Batak yang berbeda dengan pengucapan oleh orang Sunda ataupun orang dari suku lainnya.
Tahap selanjutnya adalah inventarisasi kata atau istilah baru yang sering digunakan. Sebenarnya belum tentu baru juga, sih. Terkadang istilah yang digunakan sudah memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Namun, si pengguna tidak mengetahuinya atau kadang memang enggan untuk menggunakan istilah bakunya.
Contohnya istilah good governance yang dibakukan menjadi “tata kelola yang baik”. Nah, beberapa pihak terkadang enggan menggunakan istilah baku ini. Salah satunya ketika digunakan untuk suatu nama mata kuliah di salah satu universitas ternama di Indonesia. Pihak pengajar menilai istilah “tata kelola yang baik” masih kurang tepat. Mereka memperdebatkan kata good yang masih bisa diartikan “prima”, bukan sekedar “baik”.
Namun, belakangan, setelah diamati kembali oleh Badan Bahasa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai sering menggunakan istilah “tata kelola yang baik”. Walau kadang masih diselingi istilah asingnya. Ya, sekedar jaga-jaga, takut ada yang masih asing dengan istilah bakunya.