Intisari-Online.com – Di sebuah kebun yang luas, hiduplah sebatang pohon apel besar. Di dekat kebun itu hiduplah sebuah keluarga yang mempunyai seorang anak lelaki kecil. Anak lelaki itu sangat senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.
Ia senang memanjat pohon itu hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, bahkan tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya.
Hari demi hari berlalu, demikianlah persahabatan antara anak lelaki kecil dan pohon apel besar itu terjalin. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Kini anak lelaki itu sudah beranjak remaja dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. “Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.
“Aku bukan lagi anak kecil yang masih bermain-main dengan pohon,” jawab anak lelaki itu. “Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang, tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki itu tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Bulan berganti tahun. Anak lelaki itu sekarang sudah menjadi dewasa dan menikah. Suatu hari lelaki dewasa itu datang lagi. Pohon apel yang telah menjadi pohon apel raksasa sangat senang melihatnya datang.
“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel. “Aku tak punya waktu,” jawab lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi, kau boleh memotong seluruh cabang-cabangku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel. Kemudian lelaki itu memotong cabang-cabang pohon apel, mengambil semua cabangnya dan pergi dengan gembira.
Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat lelaki itu senang, tapi seperti biasanya lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, lelaki itu datang lagi. Sekarang usianya sudah tidak muda lagi, ia tampak gagah dan matang dengan sedikit uban yang sudah mulai bermunculan di antara rambut hitamnya. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
“Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.
“Aku sedih,” kata lelaki itu.
“Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”
Kemudian lelaki itu pun memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, bertahun-tahun kemudian, seorang lelaki tua, dengan langkah tidak segagah dulu lagi, perlahan menghampiri pohon apel itu.
“Maaf anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tidak memiliki buah apel lagi untukmu.”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk menggigit buah apelmu,” jawab lelaki tua itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata lelaki tua itu perlahan.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”
“Ooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.” Maka berbaringlah lelaki tua itu dipelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Itulah cinta orangtua yang sangat luar biasa pada anak-anaknya. Tidak akan pernah lekang ataupun berkurang dimakan usia. Orangtua kita lebih dari pohon apel tua, mereka sungguh mempunyai hati dan cinta buat kita, dari hari demi hari, tahun demi tahun. Mereka ada buat kita, sampai mereka menutup mata. (Pak, Bangunkan Aku Ya Pak…!!)