Intisari-Online.com - Lebih dari setengah dasawarsa terakhir ini, bumi pertiwi mengalami musibah bencana besar secara beruntun. Faktor alam dan sejarah kebencanaan menunjukkan bahwa Indonesia memang merupakan daerah rawan bencana. Terakhir, terjadi bencana banjir bandang di Sumatra Barat. Ini menyebabkan penduduk negeri ini mau tidak mau harus siap siaga menghadapi bencana.
Mengelola risiko bencana
Dr. Sunarto, M.S, peneliti Pusat Studi Bencana (PSBA) Universitas Gadjah Mada, mengemukakan, untuk hidup akrab dengan bencana perlu manajemen penanggulangan risiko bencana yang memadai. Namun sebelumnya, kita perlu mengetahui risiko bencana itu sendiri. Ia menyebutkan terdapat tiga faktor yang menentukan risiko bencana. Pertama, jenis bahayanya; seperti gempa, tsunami, banjir, longsor, dan puting beliung. Kedua, tingkat kerawanannya. Di Pulau Jawa, misalnya, banyak daerah yang rawan banjir.
Terkait dengan dua faktor ini, tahun 2008 Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menerbitkan atlas yang memetakan potensi bencana alam di seluruh Indonesia. Di dalamnya memuat informasi bencana yang cukup lengkap. Salah satunya pembagian wilayah rawan bencana, termasuk pembahasannya. Potensi gempa atau tsunami, misalnya, dipetakan per wilayah. Selain itu juga potensi banjir, tanah longsor, dan jenis bencana yang lain sudah dipetakan.
Ketiga, kemampuan manusia (masyarakat) dalam mengantisipasi bencana. Inilah yang belum diketahui. Yang pasti, kemampuan masyarakat masih perlu ditingkatkan. Contoh, di daerah yang rawan banjir harus punya kendaraan banjir (perahu). Rumahnya pun sebaiknya rumah panggung supaya tidak terkena banjir. Tapi seiring perkembangan zaman, rumah panggung itu dianggap sudah kuno. Rumah yang modern itu jika tembok, kemudian lantainya keramik atau bata. Akibatnya, jika terjadi banjir, kemasukan air. Padahal, rumah panggung tinggingya sudah disesuaikan dengan rata-rata ketinggian air ketika banjir.
Bangunan rumah juga harus tahan gempa. Makin besar kekuatan gempa, rumahnya harus semakin kuat. Di atlas dari Bakosurtanal tadi sudah dicantumkan di masing-masing daerah kekuatan gempanya dulu berapa, menurut sejarahnya. Kita memang tidak boleh melupakan sejarah, termasuk sejarah kebencanaan. Misalnya, kampus UGM yang tanahnya pasir. Pasir itu berasal dari Merapi. Artinya, dulu Merapi pernah meletus, pasirnya sampai UGM. Walaupun sekarang jarang terjadi, tapi pada suatu saat bisa saja terjadi letusan lagi pasirnya sampai UGM.
“Yang namanya siklus alam itu 'kan prosesnya berulang, mendaur. Tapi sayangnya masyarakat kita itu cepat sekali lupa. Lupa itu ada untungnya. Kalau sedih, tidak akan sedih terus menerus. Tetapi ketika lupa itu kita terlena sehingga kita tidak siap menghadapi bencana, itu masalahnya.”
Hal lain yang perlu dilakukan adalah kerja pendokumentasian dan sosialisasi. Fungsinya untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat bahwa kita hidup di daerah bencana. Bahkan, dapat dikatakan untuk wilayah kita setahun dua kali pasti mengalami bencana. Yaitu, kekeringan pada musim kemarau, dan kebanjiran atau longsor pada musim hujan.
Di kalangan masyarakat sendiri ada yang sudah melakukan upaya-upaya antisipatif itu. Misalnya, dengan membangun rumah aman gempa atau rumah panggung. Jika bangunan rumahnya tinggi, mereka menggunakan penangkal petir.
Penanggulangan risiko bencana juga tidak bisa lepas dari dua hal. Yaitu, tanggap darurat (emergency respons) dan pertolongan (relief). Dua kegiatan itu, menurut Narto, wajib dilakukan.
Tanggap darurat di antaranya berhubungan dengan evakuasi korban, bantuan (termasuk pendistribusiannya), dll. Dalam penanggulangan bencana gempa di Sumatra Barat beberapa waktu lalu, misalnya, Presiden memberlakukan tanggap darurat dua bulan. Padahal, menurutnya, aturannya tidak demikian. “Aturannya tanggap darurat itu satu minggu. Bisa diperpanjang satu minggu lagi. Jadi nanti bertahap gitu. Pertimbangannya melihat perkembangan situasi di lokasi,” terang lelaki paruh baya ini. Contohnya, PLN menargetkan satu minggu listrik hidup. Nyatanya, tiga hari listrik sudah hidup.
Ketika terjadi tanggap darurat berlaku asas kesemestaan. Semua orang dari semua negara boleh menolong. Karena itu, ketika tanggap darurat, bantuan dari negara lain bebas masuk. Akibatnya, banyak bantuan itu yang sudah kedaluwarsa. Seolah-olah jika terjadi bencana itu justru seperti melegalkan obat dan makanan yang kedaluwarsa.
“Nah, itu yang disayangkan. Niatnya membantu, tetapi malah membuat susah. Karena kalau barang-barang kedaluwarsa itu sudah masuk, untuk mengembalikan, membuang, dan menghancurkannya memerlukan biaya sendiri,”
Selanjutnya, pertolongan yang mencakup rehabilitasi atau rekonstruksi. Jika terjadi gempa, yang paling sulit adalah pemulihan mental. Karena, rumah bisa langsung dibangun kalau ada dana. Orang yang terguncang gempa pasti mengalami trauma. Pemulihannya pun membutuhkan waktu yang panjang. Jika anak kecil, bisa delapan tahun. Orang dewasa malah bisa lebih lama lagi. Di sini, yang paling diperlukan perannya adalah dokter, psikolog, psikiater, dan ahli bangunan. Proses ini memakan waktu hingga satu tahun atau bahkan lebih, tergantung persediaan dananya.
Masyarakat perlu dilatih siaga bencana.
Masa-masa menghadapi bencana (pra-bencana) juga tidak kalah penting. Setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dilakukan: pencegahan, mitigasi (penjinakkan), dan kesiapsiagaan (sistem peringatan dini). Pencegahan itu salah satunya adalah pembuatan peta pemetaan potensi bencana seperti dalam atlas dari Bakosurtanal. Menurut Narto, sebaiknya peta seperti itu disebarluaskan, walau kadang orang enggan membuka peta. “Ini salah satu bentuk prevensi, karena yang namanya bencana itu tidak bisa ditiadakan,” katanya.
Kedua, mitigasi. Misalnya, jika tahu daerah yang ditinggalinya itu rawan gempa 6 SR, berarti rumah yang di bangun harus kekuatannya melebihi 6 SR. Hanya saja, memang tidak setiap lokasi sama kekuatan gempanya, sehingga tidak boleh digeneralisasi.
Terakhir, peringatan dini (kesiapsiagaan). Ini perlu dilatihkan kepada masyarakat. “Kalau menurut saya lebih baik menggugah guru geografi, guru olahraga, dan guru pembina pramuka. Pada suatu saat bisa membuat simulasi gempa dalam materi olahraga atau kepramukaan. Tapi teorinya melalui pelajaran geografi. Jika dimasukkan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum malah dikhawatirkan akan membebani siswa,” ungkapnya.
Selanjutnya adalah bagaimana agar sistem peringatan dini itu berjalan dengan baik. Tidak boleh ada kekeliruan. Karena kekeliruan menurunkan tingkat kepercayaan. “Siapa yang membunyikannya juga tidak bisa sembarang orang. Jadi, harus ada semacam SK kepada petugasnya” tegasnya.
Kendati berbagai temuan ilmiah menunjukkan Indonesia sebagai negeri rawan bencana, kajian tentang kebencanaan masih tergolong langka di negeri ini. Namun demikian, menurut Narto, hal itu tidak serta merta dari segi akademik tidak siap. Beberapa perguruan tinggi kini sudah mempunyai pusat studi bencana. PSB UGM sendiri berdiri sejak 15 Juli 1995. Berbeda dengan pusat studi bencana di ITB dan IPB yang mempunyai fokus lebih spesifik, PSB di UGM masuk kelompok sosio-humaniora dengan perspektif kajian multidisiplin. Sehingga kiprahnya pada masyarakat sangat luas.
Selama ini PSB sendiri sudah melakukan sosialisasi di banyak tempat. Di antaranya Lampung, Banten, Cilacap, Pacitan, Bali, Ambon, dan Ternate. “Di sana, kita mengadakan penyuluhan, menyebar selebaran, dll. Ini menunjukkan kalau dari sisi akademik kita sudah siap. Tinggal masyarakatnya. Yang penting 'kan justru masyarakatnya,” paparnya. “Kalau benar-benar akademik, nanti malah jadi menara gading. Masyarakat nggak tahu,” ujar pengampu mata kuliah Geomorfologi Bencana ini, menambahkan.
Masyarakat lekas lupa
Hanya saja, selama ini yang menjadi kendala adalah masyarakat memang cenderung menyepelekan. Jika diberi penyuluhan, seringkali tidak siap. Mereka menganggap bencana yang membahayakan dirinya itu sebagai peristiwa alam yang sudah biasa. Di Imogiri, gempa susulannya masih sering terjadi sampai sekarang. Tapi karena sudah terbiasa, orang yang tinggal di sana sudah tidak kaget dan merasa tidak perlu keluar rumah jika terjadi gempa.
Mereka juga sering alpa bahwa daerahnya rawan bencana. Padahal, setiap daerah ada kerawanannya. Bahkan, di ibukota Jakarta lebih dari satu potensi bencana. Misalnya, gempa, tsunami, banjir, dan petir. Oleh karena itu, ”Masyarakat kita perlu dibangkitkan lagi kesadarannya,” tegasnya.