Intisari-Online.com – “Ah, dasar lelaki egois, ingatnya cuma pekerjaannya saja!” dampat seorang istri kepada suami yang lupa hari ulang tahun pernikahan mereka. Di damprat begitu, biasanya sang suami langsung tersinggung. Ini contoh komunikasi yang kurang pas. Kesalahan suami langsung dituding.
“Dampaknya akan berbeda kalau si istri justru mengingatkannya dengan cara yang menyentuh. Misalnya, memberikan ciuman mesra di kening atau sekuntum mawar,” demikian saran Dra. Pamugari WS, ahli psikologis klinis dari Lembaga Psikologi Terapan, Fakultas Psikologi UI.
Kalau istri ingin meneruskan studi lebih lanjut, umpamanya, hendaknya dikemukakan dengan alasan yang positif. Misalnya, akan memperluas wawasan sehingga berdampak positif bagi pendidikan anak-anak. “Sebaiknya tidak diungkapkan dengan nada ingin menyaingi suami.”
Sebenarnya, percekcokan acap kali terjadi bukan lantaran istri atau suami lebih sukses daripada pasangannnya, atau topik yang dibicarakan, tetapi lebih pada cara berkomunikasi yang kurang tepat, sehingga membuat pasangannya merasa dilecehkan. Karena itu cara berkomunikasi ini perlu dipupuk sejak masa pacaran dan terus dikembangkan di masa perkawinan.
Dalam forum rumah tangga yang diperlukan adalah suasana kebersamaan dan saling mengisi, tidak mementingkan diri sendiri, bukan persaingan antara suami dan istri. Pria tidak biasanya mengungkapkan persoalan secara panjang-lebar. Pria biasanya lebih “fisikal”, sedangkan wanita lebih “emosional”.
Terkadang permasalahan dirasakan belum tuntas oleh istri, tetapi suami sudah kadung melupakannya. Ini sering kali terbukti, ketika sang suami ingin melakukan hubungan badan, istri menolak karena masih ada ganjalan. Akibatnya, suami merasa tidak dianggap. Buntutnya, hubungan mereka terganggu.
Mengutip Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, secara umum inteligensi emosional lebih dimiliki wanita. Maka pria cenderung lebih kaku dan peka terutama terhadap hal-hal yang menyinggung harga dirinya. Apalagi kalau pria itu sebelumnya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang peran sang ayah sangat dominan, dan lebih banyak di rumah hingga dewasa. Ini membuatnya kurang bisa memilih alternatif gaya hidupnya.
Inteligensi emosional wanita lebih unggul karena bawaan sejak masa kanak-kanak. Anak lelaki dididik tidak boleh cengeng, karena cengeng sama artinya dengan lemah. Itulah sebabnya emosi mereka kurang beragam dibandingkan dengan wanita.
Dikatakan, keseimbangan antara inteligensi emosional dan inteligensi rasional menentukan keberhasilan seseorang dalam pekerjaan dan hidup bermasyarakat. Terlebih jika keseimbangan itu dimiliki oleh mereka yang berpendidikan tinggi, kesuksesan itu akan lebih cemerlang. Dengan asumsi ini dan fakta makin banyaknya wanita yang berpendidikan tinggi, apa boleh buat kedudukan pria dalam karir bisa semakin tersaingi.
Namun perlu diingat, “Seorang istri yang sudah sedemikian mapan dalam karirnya, ya jangan lantas keenakan sendiri. Ingat masih ada pria di rumah yang perlu diajak bicara.” (Kesehatan Suami Istri)
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR