Wabah Bisu Bernama Depresi

Agus Surono

Editor

Wabah Bisu Bernama Depresi
Wabah Bisu Bernama Depresi

Intisari-Online.com - Dua hari berturut-turut, Senin - Selasa (8 - 9 Oktober 2012) harian Kompas menurunkan soal depresi di halaman mukanya. Ada hal yang patut dicermati dan diantisipasi. Jika tanpa penanganan yang masif, depresi yang kini sudah menjadi wabah bisu atau silent epidemics bisa menjadi penyakit nomor dua di seluruh dunia pada tahun 2020 di bawah penyakit jantung koroner.

Manifestasi depresi di masyarakat antara lain bunuh diri, tawuran, dan menurunnya produktivitas akibat tingginya angka bolos kerja. Beberapa waktu silam media diramaikan oleh berita tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa yang merenggut korban. Bukan kejadian yang pertama sebenarnya.

Depresi individual maupun massal makin kentara di Indonesia. Hal ini terlacak dari makin banyak orang yang mudah tersinggung, mengamuk, dan kian agresif. Atau malah sebaliknya, menjadi pemurung, mudah menyerah, dan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Jika tidak diantisipasi dengan serius depresi akan menjadi beban pemerintah dan masyarakat.

Saat ini, diperkirakan 350 juta orang di seluruh dunia terjangkit depresi. Karena itu sangat tepat jika Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental menentukan tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia hari ini adalah "Depresi: Suatu Krisis Global".

Masalah nasional

Dr. Suryo Dharmono, psikiater komunitas Fakultas Kedokteran UI/RSCM, seperti dikutip Kompas, menyatakan bahwa depresi sebenarnya sudah menjadi masalah kesehatan nasional. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas sebanyak 11,6 persen. Paling tinggi di Provinsi Jawa Barat (20 persen) dan paling rendah di Kepulauan Riau (5,1 persen).

Gangguan mental emosional itu terutama adalah kecemasan (anxiety) dan depresi unipolar (pada umumnya). Jenis depresi lainnya adalah bipolar yang dikategorikan sebagai gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Prevalensi depresi global berkisar di angka 5 - 10 persen.

Tiga gejala utama depresi adalah kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai, kehilangan energi, dan suasana perasaan murung. Jika dialami terus menerus akan membuat individu menjadi tidak bersemangat dalam menjalani aktivitas dan hidupnya. Ditambah lagi dengan gejala lain seperti pesimistis, sulit berkonsentrasi, sulit tidur, bahkan kondisi berat yang mendorong individu bunuh diri. Sekitar 80 persen penyebab bunuh diri adalah depresi.

Kenyataan itu perlu diwaspadai sebab depresi tak lagi monopoli individu berusia 30 tahun ke atas. Menurut Jalaluddin Rakhmat, pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran Bandung, depresi mulai menimpa remaja. Kian banyak anak tak bisa lagi berinteraksi dengan orangtuanya yang sibuk mengejar materi dan karier. Alhasil, banyak remaja yang menjadi penyendiri.

Meski Indonesia termasuk pemilik akun media sosial seperti Facebook dan Twitter lima besar dunia, Jalaluddin justru resah. Soalnya, hal itu menjadi penanda bahwa masyarakat Indonesia kian kesepian. Kesepian dan depresi inilah yang membuat seseorang bisa kehilangan makna hidupnya. Salah satu pintu keluar adalah bunuh diri.

Jadi, mari peduli. Kembali guyub dengan putra-putri kita. Meluangkan waktu untuk menyapa dan menemani. Jangan sampai bunuh diri menjadi solusi.