Intisari-Online.com - Badru dan Nita dua bocah. Umurnya delapan dan enam tahun. Sebagai kakak beradik, mereka enggan berpisah.
Tapi tangan Badru terlanjur lengket ditarik sang ibu, sementara Nita kadung tersedu di pelukan ayah. Keduanya saling bertangisan dan memandang dalam tatapan pilu.
Haruskah selalu seperti ini ujung sebuah perceraian?
(Baca juga:Hati-hati, Menikah di Usia Ini Berpotensi Lebih Besar untuk Bercerai)
Ya, perceraian memang identik dengan konflik. Kalau tidak ada konflik, pasangan suami-istri enggak akan bercerai 'kan?
Yang sangat disesalkan, mengapa perseteruan dua manusia dewasa, egois pula, sering membuat anak-anak mereka tak berdaya?
Sudah saatnya orangtua melihat perceraian bukan sebagai upaya mencari salah-benar atau untung-rugi.
"Karena pada dasarnya, semua rugi," tutur Dra. Adriana S. Ginanjar, M.S., psikolog yang berpraktik sebagai penasihat perkawinan.
Paling mengenaskan, tentu anak-anak. Mereka paling dibikin bingung, tersiksa, dikejar trauma, rawan depresi, dan banyak lagi. Penelitian jangka panjang terhadap anak-anak korban perceraian di AS menunjukkan, 25% di antara mereka sangat bermasalah, 25% tidak bermasalah, serta 50% bermasalah seperti lazimnya anak-anak normal. Sayang, belum ada data sejenis di Indonesia.
Anak "tertipu"
Orangtua yang hendak bercerai ditakdirkan "menang langkah" ketimbang anak-anak mereka. Keduanya jauh lebih siap berpisah, berkat "sosialisasi" pracerai.
Berupa pertengkaran, adu argumentasi, hingga diam-diam menyepakati aksi pisah ranjang.
Tapi anak? Mereka "tertipu" sandiwara orangtua. Tak jarang mereka enggak atau enggan tahu perihal masalah yang mengganggu papa-mamanya.
Kalaupun tahu sedikit, "Ah, pasti bukan soal serius. Kata Oma dan Opa, pertengkaran itu 'kan bumbu rumah tangga."
Maka ketika tiba-tiba harus menghadapi kenyataan berpisahnya orangtua, mereka shockberat. Serasa mendengar petir di siang bolong.
Ketertinggalan informasi membuat anak-anak korban perceraian, berapa pun usia mereka, menjadi limbung. Pada bocah seumur Badru atau Nita, kegamangan mencuat, apakah mereka masih bisa bertemu lagi dengan ayah, ibu, adik, dan kakaknya.
Mendadak segalanya menjadi tak pasti, serba menakutkan dan mencekam. Jika tak cepat diatasi, masa sosialisasi pascacerai si anak berada dalam bahaya.
Adriana melihat, perceraian hanya satu episode dari banyak peristiwa yang harus dipahami anak.
Maksudnya, perceraian memang berpotensi mengganggu. Tapi yang jauh lebih membahayakan mental anak, bahkan mendatangkan trauma menahun, adalah prosesnya.
"Sebelum perceraian, mereka sudah disuguhi tontonan pertengkaran hebat ayah-ibunya. Kalau setelah bercerai, pertengkaran itu tak kunjung reda, bahkan makin dahsyat, suasana batin anak pasti terganggu. Jika berlangsung terus-menerus, jelas mengakibatkan depresi," sambung Adriana.
Dengan kata lain, yang terjadi sebelum dan sesudah perpisahan sangat menentukan besar-kecilnya dampak sebuah perceraian.
Misalnya, seberapa efektif orangtua menerapkan disiplin buat anak-anaknya, meski mereka tak lagi tinggal serumah.
Berubah bengal
Pengalaman menunjukkan, dampak negatif perceraian jauh berkurang pada anak, jika kedua orangtua mereka berpisah secara damai dan tetap berhubungan baik.
Dengan tetap kompak memberi perhatian, berarti orangtua ikut membantu anak melewati masa bingungnya dengan penuh percaya diri.
Sayangnya, tak semua orangtua bisa dengan bijak mendahulukan kepentingan anak ketimbang ego masing-masing.
Remaja putra yang tiba-tiba kehilangan sosok ayah, bisa karena ayahnya pergi begitu saja, atau si ibu melarang datang, bisa sontak berubah bengal.
"Pada dasarnya anak lelaki mempunyai kecenderungan agresif dan susah diatur.
Kalau tinggal dengan ibunya, ia sering sulit dikendalikan. Itu sebabnya, hubungan batin maupun kontak langsung anak dengan orangtua laki-laki jangan putus seketika," bilang wanita berkacamata itu.
Lantaran kangen berat pada sosok ayah, tak jarang anak lelaki mencari sendiri patron bapaknya di luar rumah.
Syukur kalau dia bisa menemukannya pada sosok paman atau anggota keluarga lain yang bisa membimbing. Bagaimana kalau nyasar pada sosok preman atau pengedar narkoba?
Secara umum, anak laki-laki yang tinggal dengan single parent wanita, memang cenderung bermasalah.
Ibu yang terlalu keras "mendidik" anaknya sebagai pengganti ayah (parentification) contohnya, secara tak langsung menjerumuskan anak ke jurang frustrasi.
Di satu sisi, dengan penuh perhatian si anak harus mendengarkan keluh kesah ibu yang "mengangkatnya" sebagai kepala keluarga.
Sementara bagian dirinya yang lain, ingin berlari jauh dan tumbuh selayaknya remaja normal. Dualisme ini kerap membuat si anak tak berdaya.
Bagaimana jika sang ayah meninggalkan putranya di usia dini, sehingga patronnya tak sempat terekam di benak anak? "Dia akan lebih menginternalisasi nilai-nilai yang cenderung feminin," ucap Adriana.
Mencari yang sempurna
Beda dengan anak lelaki yang masalahnya terlihat jelas di permukaan, bocah perempuan atau remaja putri cenderung mengalami konflik batin.
"Tinggal dengan single parentlelaki maupun perempuan, mereka suka memendam perasaan. Akibatnya, terlihat pesimistis, tidak bergairah, tak jarang depresi," lanjut Adriana.
Dalam banyak kasus, mereka punya peran cukup besar dalam keluarga. Juga selalu berusaha mengompensasi kekurangan keluarganya dengan sekuat tenaga tampil sebagai anak paling rajin, paling patuh, paling pintar.
Padahal, batinnya sangat rentan.
Jika perceraian terjadi akibat ayah berselingkuh, anak perempuan lazim menyimpan dengan baik memori buruk itu.
Lama-kelamaan, menumpuklah citra negatif tentang laki-laki di benaknya. Dampaknya, tampak pada caranya memilih pasangan hidup.
Dia cenderung tidak mudah percaya pada lawan jenis dan berusaha mendapatkan calon suami yang sempurna, agar pengalaman lawas ibunya tak terulang.
"Dampak paling parah, kehati-hatian itu bisa berubah menjadi perasaan takut menikah. Ya, mungkin menunggu calon yang perfect. Padahal, mana ada manusia yang sempurna?" tanya Adriana.
Perlu kompromi
Luasnya dampak buat buah hati, mestinya menjadikan orangtua lebih berhati-hati sebelum menjatuhkan talak.
Minimal, kalaupun terpaksa bercerai, harus "dirancang" agar perpisahan berjalan mulus di mata putra-putri. Misalnya, jangan sekali-kali membawa anak-anak, apalagi jika masih di bawah umur, mengikuti proses cerai di pengadilan.
Kalau ingin mengadakan atau mengubah perjanjian yang harus melibatkan anak dan Pak Hakim, sebaiknya tunggu sampai anak-anak besar.
Perceraian "sempurna" buat anak adalah yang dicapai lewat kesepakatan kedua belah pihak.
"Enggak usahlah ada acara culik- menculik anak atau berebut harta. Kalau tujuannya memberikan yang terbaik untuk putra-putri, hanya ada satu kata yang mesti mereka ingat, kompromi," tegas Adriana.
Setelah itu, berikan penjelasan sebaik-baiknya, mengapa perceraian terjadi. Katakan, mereka masih bisa menelepon atau menginap di rumah bapaknya.
"Anak umur lima atau enam tahun sudah layak diberi tahu. Mereka sudah pintar kok," tambahnya.
"Pokoknya, sedapat mungkin jujur ke anak. Bukan berarti harus bilang, 'Nak, bapakmu sudah punya pacar lagi, jadi dia tinggalinibu.' Tapi jelaskan dengan diplomatis. Misalnya, 'Ayah-ibu sudah enggak cocok lagi', dan sejenisnya," imbuh Adriana.
Kalau usia anak belum memungkinkan menerima penjelasan yang berat, misalnya umur dua atau tiga tahun, gunakan penjelasan yang lebih masuk akal.
Misalnya, bapak sedang pergi ke luar kota atau luar negeri. Setelah dia tumbuh besar, segera jelaskan masalah yang sebenarnya. Yang penting, jangan sampai keduluan bibi atau sepupu.
(Baca juga:Jangan Sampai Hubungan Rumah Tangga Rusak Gara-Gara Beda Pilihan Politik)
Berilah waktu adaptasi yang cukup buat anak. Sama seperti orangtua, mereka pun harus bersiap diri menghadapi perubahan konstelasi.
Mentang-mentang permohonan cerai sudah disetujui pengadilan atau KUA, si bapak jangan langsung mengambil langkah seribu.
Temani anak minimal satu bulan, sembari menjelaskan di mana nantinya bapak, ibu, dan dia sendiri bakal tinggal. Ajak dia jalan-jalan ke calon tempat tinggal barunya.
Perhatian lebih perlu diberikan pada anak yang mempunyai karakter tertentu, seperti pendiam, terlalu sensitif, cerewet atau cuek. Siapa tahu, di masa adaptasi, orangtua justru sadar, yang dibutuhkan anak bukan ayah atau ibu.
Tapi ayah dan ibu. Batal deh acara cerainya! (Intisari)