Intisari-Online.com -Oktober 1965 bisa disebut sebagai masa kelam bagi dunia pers Indonesia, juga buat seluruh masyarakat Indonesia. Media-media cetak kala itu, yang dipelopori media milik pemerintah militer ramai-ramai memuat kekejaman peristiwa penculikan enam jenderal yang kelak disebut sebagai Pahlawan Revolusi, salah satunya adalah aksi pencungkilan mata dan pemotongan penis. Padahal, bukti forensik menunjukkan tidak ada pencungkilan mata dan pemotongan penis para jenderal.
Berita yang ditulis oleh dua corong militer, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, berefek domino, koran-koran lain di luar dua koran itu, terutama yang memiliki sentimen besar terhadap komunisme Indonesia, turut mengutip berita-berita tersebut. Lantas menyebarkannya ke masyarakat luas.
Imbasnya bisa dipastikan, kemarahan rakyat meluap dan membutuhkan pelampiasan-pelampiasan. Lalu muncul arus pembantaian terhadap massa partai komunis atau yang diduga komunis yang tak kalah ganasnya. Kabarnya, angka kematian akibat kemarahan ini mencapai angka 1,5 juta jiwa.
Lalu benarkah “pencukilan” itu benar adanya? Tim forensik secara bernas memang mengatakan para korban mendapat perlakuan cukup kejam di luar batas kemanusiaan. Tapi ada fakta lain yang mengejutkan, tidak ada pencukilan mata dan pemotongan penis para korban.
Dalam kondisi saat itu, tidak mudah bagi para para ahli forensik mengatakan hal yang sebenarnya. Seolah ada ketakutan, kalau menuliskan apa adanya, kemungkian mereka dicap sebagai PKI sangat besar. Oleh karena itu, visum et repertum melaporkan seperi apa yang dimuat di Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata.
Kesaksian oleh tim forensik
Cerita “pencungkilan” mata dan “pemotongan” penis sejatinya sudah terlebih dahulu terdengar di masyarakat sekitar. Tepatnya setelah para korban G30S ditemukan di dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur, 4 Okotober 1965. Tujuh mayat jenderal itu lantas dibawa ke RSPAD guna diotopsi. Hasil visum tim forensik yang mengotopsi mayat para jenderal korban Gerakan 30 September 1965/Intisari
Untuk menangani mayat-mayat tersebut, dibuatlah tim yang terdiri dari dua dokter RSPAD, yaitu dr Brigjen. Roebiono Kartopati dan dr. Kolonel. Frans Pattiasina; lalu ada tiga dari Ilmu Kedokteran Kehakiman UI, Prof. dr. Sutomi Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay. Mereka bekerja delapan jam dari sore 4 Okotber sampai 5 Okober 1945 dini hari di kamar mayat RSPAD.
Sesuai perintah, tim ini mengidentifikasi korban dan melakukan autopsi bagian luar jenazah. Dari identifikasi itu, tim berkesimpulan, para jenderal tersebut mendapat penyiksaan sebelum dibunuh dan dikubur dalam sumur tua di Lubang Buaya. Tapi, ada fakta baru, tidak ditemukan sama sekali bukti bahwa mereka dicungkil matanya dan dipotong penisnya.
Penemuan itu bukan berita baik tentunya bagi tim tersebut, justru membuat mereka tertekan. Sebelum mengeluarkan laporan, mereka terlebih dahulu melakukan pembicaraan khusus guna menentukan sikap, menulis yang benar atau melaporkan seperti yang berkembang di masyarakat. Lalu muncul ketakutan, jika menulis apa yang ada, mereka akan dicap pro-PKI. Dilematis memang.
Dikisahkan, setiap anggota tim mengemukakan pendapat, termasuk dr. Lim Joe Thay, yang saat itu termuda, berusia 39 tahun. "Kita dipertemukan Tuhan di sini, sehingga saya yakin Tuhan pasti mau yang terbaik. Kita juga disumpah sebagai dokter, jadi kita tulis saja apa adanya," kata Lim seperti diceritakan kembali oleh dr. Djaja Surya Atmadja, dokter ahli forensik FKUI. Bagi Djaja, sikap bekas gurunya itu sangat mengesankan. (Intisari)