Advertorial

Perayaan Usang Tahun Baru

intisari-online
,
Leo Wahyudi S

Tim Redaksi

Berubah menjadi baru adalah inti perayaan tahun baru.
Berubah menjadi baru adalah inti perayaan tahun baru.

Intisari-Online.com - Pada saat menjelang akhir tahun, semua sektor formal selalu disibukkan dengan laporan-laporan tutup tahun.

Sesudahnya, libur Natal dan Tahun Baru semua orang disibukkan dengan acara untuk memeriahkannya.

Semua institusi sekular maupun religius bersiap menyambut kedatangan Tahun Baru dengan acara khusus.

Pemerintahan, departemen, lembaga swasta, kantor, rumah ibadah, organisasi, sampai perorangan seolah disibukkan dengan perayaan itu.

BACA JUGA:Inilah Gustave, si 'Monster' Buaya Raksasa Pembunuh 300 Manusia di Burundi

Apalagi pusat perbelanjaan, hotel, dan pusat hiburan. Perayaan Tahun Baru menjadi momen untuk menangguk untung sebesar-besarnya.

Segala daya dan upaya dikerahkan untuk menyajikan acara terbaik, termewah, termahal, dan paling spektakuler.

Semua dilakukan demi menangguk untung dari orang-orang yang tersihir oleh gemerlapnya Tahun Baru.

Perayaan hura-hura itu itu menjadi sebuah medan magnet luar biasa.

Salah-salah orang dapat tersedot, bergumpal dengan pusaran daya tarik magnet itu tanpa tahu arah.

Tak heran mereka yang berkantong tebal tak segan merogoh dompet sampai puluhan juta hanya untuk menikmati hiburan sesaat.

Setiap orang pun berdandan dan berpenampilan klimis, mengkilat. Seolah tampilan baru itu sudah mewakili kebaruan pada pergantian tahun itu.

Tanpa perubahan tampilan seakan dicap ketinggalan zaman. Ketinggalan tahun tepatnya. Orang berlomba-lomba untuk tampil beda.

Yang cukup mengherankan mengapa orang cenderung mengkotak-kotakkan waktu menjadi lama dan baru. Hakikat waktu tak kenal rupa dan bentuk. Waktu semua sama. Yang membedakan adalah pemaknaan atas perjalanan waktu itu.

Pemaknaan itulah yang memiliki dinamika perasaan yang berlainan. Dinamika perasaan itulah yang membuat waktu seolah berbeda.

BACA JUGA:BERITA POPULER SAINS 2017: Dulu Dicampakkan, Kini Buah Ceplukan Harganya Selangit

Ada masa senang. Ada masa sedih. Ada masa penuh penyesalan. Ada masa penuh optimisme dan harapan. Ada pula masa kegagalan.

Media berlomba menyajikan kaleidoskop tahun lama. Mereka memotret peristiwa-peristiwa menonjol dalam setahun. Para analis pun berlomba memprediksi bidang-bidang politik, ekonomi, sosial, budaya di tahun mendatang.

Tak terkecuali para peramal juga kebanjiran order untuk memaparkan hasil terawang spiritual mereka tentang apa yang akan terjadi.

Tak terhitung para aktris, aktor, penyanyi pun kebanjiran order untuk meramaikan panggung hiburan. Pundi-pundi mereka pun makin menggelembung.

Tapi apa yang sesungguhnya mereka sampaikan di awal tahun? Akankah itu membuat perbedaan dan mengubah perjalanan sang waktu?

Kalau dicermati, acara-acara wah untuk merayakan tahun baru itu memang sudah menjadi tradisi hedonis turun temurun. Artinya, ini sudah berlangsung lama. Lengkap dengan segala pemborosan dan gemerlapnya. Peristiwanya pun tak jauh beda dari tahun-tahun sebelumnya.

Kalau demikian, bukankah kita hanya mengulang sebuah perayaan? Merayakan kembali yang sudah usang dari hidup. Toh dekadensi moral tak akan serta merta menjadi lurus seiring bergantinya tahun.

Orang jahat tidak serta merta menjadi baik setelah tahun baru. Keterpurukan ekonomi juga belum tentu meningkat setelah memasuki tahun yang baru.

Orang bermental korup pun juga belum tentu mau berubah total seiring pergantian tahun. Resolusi akhir tahun juga akan selalu terulang setiap akhir tahun, tanpa hasil resolusi yang diimpikan.

Rentang tahun terlalu panjang untuk membuat suatu perbaikan. Tanpa dilandasi perubahan setiap detik dari hidup kita, mustahil perubahan setiap tahun akan terjadi.

BACA JUGA:Petir Terganas di Dunia Ada di Indonesia Lo! Ini Dia Lokasinya

Merayakan setiap detik untuk perubahan yang baru mungkin lebih aktual. Perayaan detik baru tidak harus identik dengan hura-hura, pesta, mabuk-mabukan.

Perayaan penuh kemeriahan justru lebih sering berakhir pada kehilangan kesadaran untuk berubah ke arah yang lebih baik. Waktu dan pola hidup yang lama akan terus terulang. Kecuali ada perayaan detik baru yang membawa kebaruan.

Apakah kita mau menjadi baru di setiap detik di depan kita? Yang lebih mendasar adalah bukan lama dan barunya tahun melainkan sikap hati dan kemauan untuk menjadi semakin baik setiap saat, setiap detik hidup kita. Itulah makna kebaruan sesungguhnya.

BACA JUGA:Dramatis! Wanita Ini Mati 37 Detik Setelah Melahirkan, Persis Seperti Firasat yang Membisikinya

Artikel Terkait