Intisari-Online.com – Sebagai pengait dua tepian pakaian, kancing sudah sejak berabad lewat diakrabi nenek moyang kita. Bahkan, sejak sebelum manusia mengenal tulisan. Waktu itu bentuknya memang masih berupa potongan kayu. Barulah pada zaman Kerajaan Persia kancing bundar, seperti yang ada sekarang, mulai diperkenalkan.
Orang Eropa mulai memanfaatkan kancing pada abad XVIII, terutama yang terbuat dari kulit kerang atau mutiara. Pada masa itu kancing benar-benar menjadi tren baru pelengkap busana, sehingga perusahaan kancing maju pesat. Sampai-sampai Kota Birmingham di Inggris pada awal abad XIX itu dijuluki pusat industri kancing di Eropa.
Uniknya, pada saat itu sebagian besar pengguna kancing justru laki-laki. Biasanya kancing dari kulit kerang itu dilapisi emas, lantas direkatkan pada lempengan kuningan. Kancing istimewa ini umumnya dipakai untuk pakaian olahraga. Kalau yang dari tulang umumnya disematkan pada pakaian dalam dan perlengkapan rumah tangga, seperti sarung bantal.
Pada saat bersamaan membanjir kancing dari bahan tanduk dan gading. Bahkan, ada juga kancing yang dibuat dari butiran-butiran kacang corozo yang hanya tumbuh di Amerika Selatan dan Afrika. Orang menamakannya kancing vegetable ivory alias kancing “gading (yang terbuat dari kacang) sayur”.
Kemudian muncul kancing dari bahan “baru”, yakni logam. Sayang, kancing yang kokoh dan awet ini harganya lebih mahal. Selain itu, juga gampang berkarat dan sulit dibersihkan kembali agar sebagus sediakala. Ketika plastik mulai dikenal di dunia industri, giliran kancing plastik yang menyodok minggir kancing-kancing dari bahan lain, termasuk “kancing kacang” yang waktu itu amat disukai wisatawan sebagai oleh-oleh.
Cerita soal kancing, konon pada awalnya kancing pria maupun wanita sama-sama berderet di sisi belahan pakaian sebelah kiri. Belakangan, hanya kancing wanita yang tetap di kiri, sedangkan yang pria dipindahletakkan di kanan. Alasan kenapa sampai kancing laki-laki pindah posisi ini ternyata muncul di Abad Pertengahan.
Masa itu ada acara ritual adu pedang bagi para pria. Sayangnya, banyak peserta yang kerepotan menarik pedang yang tergantung di pinggang kiri dan tersembunyi di balik mantel. Lantaran tangan kanannya meski membuka dulu kancing mantel, sebelum akhirnya berhasil menghunus pedang. Maka muncullah ide memindahkan deretan kancing ke sisi kanan agar bisa dibuka dengan tangan kiri. Hingga tangan kanan bisa dengan cekatan menarik pedang.
Sementara kenapa kancing wanita dipasangkan di kiri ternyata ada juga versinya. Katanya, ini lantaran kebanyakan para ibu lebih sering menyusui bayinya dari payudara kiri, sambil menyanggakan tangan kirinya. Untuk melindungi bayinya selama menyusui, si ibu biasanya lantas menyelimutkan belahan kanan mantelnya. Untuk itulah maka kancingnya dipasang di kiri, agar mudah dibuka dengan tangan kanan dan bayi lebih terlindung.
Adakah fungsi kancing di lengan jas selain sebagai hiasan? Sekarang mungkin tak ada: tapi kalau dulu, ada. Ketika memerintah Prusia pada 1700-an, Kaisar Frederik Agung kerap kali kesal setiap kali melakukan inspeksi ke medan perang. Gara-garanya, ujung lengan seragam para serdadunya kebanyakan pada kusam dan kotor. Usut punya usut ternyata lantara sering dipakai untuk mengelap muka!
Untuk mencegahnya, sang kaisar lantas mewajibkan setiap serdadu memasang sederet kancing di ujung lengan seragamnya. Kalau masih ada yang nekat memakainya untuk mengelap muka, pasti bakal ketahuan bekasnya. Wajah mereka baret-baret tergores kancing! Deretan kancing ini sampai sekarang tetap tersemat di ujung lengan jas dan blazer, sebagai aksesori. (Intisari)