Intisari-Online.com – Ini salah satu gambaran bagaimana interaksi antarzat gizi, yang kita konsumsi bersamaan, dapat membuat penyerapannya tidak optimal. Interaksi antarzat gizi ataupun dengan zat non-gizi memang bisa berdampak positif, tapi bisa juga negatif. Pemahaman tentang hal itu agaknya kita perlukan mengingat produk suplemen makanan yang menawarkan nilai gizi makin marak di pasaran.
Kita mafhum, untuk hidup sehat atau untuk tumbuh dan berkembang diperlukan zat-zat gizi dalam jumlah cukup. Jika tidak cukup, kita mungkin menambahinya dengan food suplement, seperti suplemen vitamin, mineral, atau serat. Namun, masalahnya bukan pada zat gizi apa yang mesti disuplementasi, melainkan berapa lagi tambahan zat gizi atau non-gizi yang harus dimakan. Hal ini dimaksudkan agar zat-zat gizi yang telah dikonsumsi dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal. Karena itu, perlu keseimbangan (jumlah dan mutu) di antara berbagai zat gizi itu.
Mengonsumsi suplemen gizi atau non-gizi dalam beberapa hal dapat memberi keuntungan. Misalnya minuman suplemen, selain mengandung gula sebagai sumber energi, juga mengandung vitamin B yang akan digunakan sebagia pemacu metabolisme energi.
Namun, jika suplemen gizi atau non-gizi itu mengandung berbagai zat gizi sekaligus atau kadarnya sangat tinggi, kita perlu hati-hati. Sebab, pada proses metabolisme di dalam tubuh akan terjadi interaksi di antara zat-zat gizi itu. Bahkan lebih gawat lagi, beberapa dari zat yang terdapat dalam suatu produk pangan dapat berubah menjadi racun!
Interaksi dapat terjadi antara suatu zat gizi dengan yang lain, atau dengan zat non-gizi. Yang dimaksudkan zat gizi adalah karbohidrat (gula), protein, lemak, vitamin, dan mineral. Semua dibutuhkan tubuh untuk tumbuh dan berkembang. Artinya, jika salah satu dari zat gizi itu tidak ada dalam tubuh, makan akan terjadi gangguan. Sedangkan zat non-gizi adalah zat selain zat gizi yang ada dalam bahan makanan, biasanya tidak dapat dicerna dengan jalur metabolisme biasa di dalam tubuh.
Interaksi zat gizi atau non-gizi dapat terjadi pada tiga tempat. Pertama, dalam bahan makanan (produk pangan). Kedua, dalam saluran pencernaan, dan ketiga, dalam jaringan, sistem transpor, dan jalur ekskresi tubuh. Masing-masing interaksi dapat bersifat positif (sinergis), negatif (antagonis), dan kombinasi di antara keduanya. Interaksi disebut positif jika membawa keuntungan. Sebaliknya, disebut negatif jika berakibat merugikan.
Numpang lewat
Dalam bahan makanan, suatu zat gizi – misalnya mineral – dapat berinteraksi negatif dengan zat non-gizi. Asam fitat dalam sayuran, serealia, atau umbi-umbian dapat mengikat mineral besi (Fe), seng (Zn), atau magnesium (Mg). Akibatnya, mineral-mineral itu tidak dapat diserap oleh tubuh. Begitu juga dengan serat, tanin, dan oksalat yang juga dapat mengganggu penyerapan kalsium (Ca). Zat-zat pengikat mineral itu umumnya banyak ditemukan dalam bahan makanan nabati.
Meskipun zat-zat non-gizi itu dapat mengganggu penyerapan beberapa mineral, bukan berarti tidak berguna sama sekali. Kita ketahui, serat mampu menurunkan kadar koleserol darah. Begitu juga dengan polifenol pada teh, dipercaya dapat mencegah terjadinya kanker karena berperan sebagai antioksidan.
Masalahnya sekarang, berapa jumlah serat atau teh yang mesti dikonsumsi kalau konsumsi berlebihan ternyata akan mengganggu penyerapan beberapa mineral. Serat, misalnya, dapat mengikat Fe, Ca, dan Zn. Sementara itu untuk teh tampaknya perlu diwaspadai. Ada dua jenis teh: teh hitam dan teh hijau. Pada teh hitam senyawa polifenol yang berperan sebagai antioksidan ternyata telah mengalami oksidasi, sehingga dapat mengikat mineral seperti Fe, Zn, dan Ca, serta dapat menyamak protein. Untungnya, pada teh hijau senyawa polifenolnya masih banyak, sehingga kit amasih dapat meningkatkan peranannya sebagai antioksidan.
Meskipun dalam daftar komposisi bahan makanan terlihat kandungan mineral pangan nabati cukup tinggi, kita harus bertanya dulu, apakah mineral itu dapat dimanfaatkan semuanya oleh tubuh. Hal ini dapat diperhatikan karena kalau mineral-mineral itu terdapat dalam bentuk terikat dengan zat antigizi, tentu tubuh tidak dapat menyerapnya dengan baik. Artinya, di dalam tubuh mineral-mineral itu hanya akan “numpang lewat”.
Lalu, bagaimana agar sayuran atau serealia yang kita makan masih bermanfaat meskipun mengandung beberapa zat non-gizi? Ada beberapa cara dapat dilakukan, misalnya membuatnya menjadi tepung (menggiling), mengecambahkan (untuk serealia atau kacang-kacangan), atau dengan fermentasi seperti dalam tempe.
Di samping melakukan cara-cara itu, “penyelamatan” zat gizi dapat dilakukan dengan mengatur konsumsi bahan makanan tertentu. Misalnya teh. Kita punya kebiasaan minum teh bersamaan dengan saat makan nasi. Ini kekeliruan gizi yang harus diubah. Seperti telah dijelaskan, teh mengandung tanin yang dapat mengikat mineral. Untuk itu sebaiknya minum teh tidak dilakukan bersamaan dengan waktu makan, tetapi sekitar 2 – 3 jam setelah makan.
Interaksi dalam saluran pencernaan
Sebagian besar interaksi zat gizi terjadi di dalam saluran pencernaan. Interaksi itu dapat menguntungkan atau merugikan. Interaksi antara vitamin C dengan Fe merupakan contoh yang menguntungkan, karena vitamin C dapat meningkatkan kelarutan Fe, sehingga Fe lebih mudah diserap tubuh. Peningkatan penyerapan Fe juga dapat dibantu vitamin A dan vitamin B.
Dalam berbagai penelitian telah diperlihatkan pula, protein hewani dapat meningkatkan ketersediaan biologis Fe, khususnya Fe dalam bentuk nonheme (jenis Fe yang banyak terdapat dalam bahan makanan nabati). Penelitian oleh Cook dan Menson (1976), Hallberg (1980), dan Latifuddin (1998) yang mempelajari pengaruh berbagai jenis protein terhadap tingkat penyerapan Fe nonheme memperlihatkan, protein dari dagin sapi, daging ayam, ikan, dan telur dapat lebih efektif dalam meningkatkkan ketersediaan biologis Fe.
Itu berarti, jika kita mengonsumsi makanan itu bersama dengan daun singkong atau bayam (sebagai sumber Fe nonheme), misalnya, maka jumlah Fe yang akan diserap dan ditahan tubuh menjadi lebih besar. Peningkatan penyerapan ini karena adanya Meat, Poultry and Fish Factors (faktor MPF) yang membuat Fe menjadi lebih larut, sehingga lebih mudah diserap tubuh.
Konsumsi protein yang relatif tinggi dapat meningkatkan Ca dan Zn,, meskipun eskresi Zn dalam urine menjadi meningkat. Vitamin D juga dapat meningkatkan penyerapan Ca dengan cara mempercepat laju pembentukan “alat transpor” Ca.
Sementara itu, vitamin B1 dan beberapa vitamin B-kompleks lainnya sangat diperlukan dalam proses metabolisme energi. Vitamin C dan E secara bersama-sama memberikan efek sinergis sebagai antioksidan dalam tubuh. Itulah sebabnya sering dikatakan, mengonsumsi vitmain C dan E (atau antioksidan lain seperti betakaroten) dapat membuat kita awet muda, karen amereka mampu mengatasi serangan radikal bebas yang dipercaya mempercepat ketuaan.
Pada sisi lain, interaksi antara beberapa mineral justru dapat merugikan tubuh. Khusus untuk mineral, ada dua tipe interaksi yang terjadi, yaitu kompetisi dan koadaptasi. Interaksi yang bersifat kompetisi ditentukan oleh kemiripan sifat fisik dan kimia mineral itu satu sama lain. Interaksi ini terjadi pada waktu penyerapan di dalam usus. Beberapa contoh mineral yang berinteraksi secara kompetisi adalah Fe dengan Zn, Fe dengan Cr, Zn dengan Cu, dsb.
Mekanismenya, satu mineral yang dikonsumsi dalam jumlah berlebihan akan menggunakan “alat traspor” mineral lain sehingga akna terjadi kekurangan salah satu mineral itu. Misalnya, transferrin merupakan “alat transpor” bagi Fe. Transferrin ini ternyata dapat juga digunakan oleh Zn, Ca, dan Cr. Akibatnya, kita bisa kekurangan Fe (anemia).
Koadaptasi merupakan upaya adaptasi yang dilakukan usus dalam menyerap mineral tertentu. Sifat koadaptasi ini sering memberikan dampak negatif bagi tubuh. Koadaptasi dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, bila suplai atau persediaan mineral tubuh rendah, maka usus akan beradaptasi untuk meningkatkan efisiensi dan transfer suatu mineral. Akan tetapi, bila penyerapannya tidak spesifik, maka mineral lain yang serupa juga akan ditingkatkan penyerapannya.
Kalau yang diserap itu mineral yang tidak berbahaya, tentu tidak masalah. Namun, jika yang diserap itu berpotensi sebagai racun, justru itu yang berbahaya. Hal itu tanpa disadari mungkin pernah terjadi pada diri kita. Misalnya, pada kasus kekurangan Fe (anemia), kita biasanya mengonsumsi suplemen Fe kadar tinggi. Namun, penyerapan “besar-besaran” dari Fe ini ternyata juga meningkatkan penyerapan Pb (timbal). Mineral Pb merupakan suatu logam berat yang, jika terdapat dalam jumlah besar dalam tubuh, dapat berubah menjadi racun.
Bentuk koadaptasi ini terutama terjadi pada tubuh, yang memang sehat-sehat saja, ketika mengonsumsi suplemen gizi atau makanan diperkaya dengan zat gizi dalam kadar tinggi. Contohnya, susu kaya Fe dan Ca, atau suplemen Fe. Jika kadar Fe tubuh normal saja, suplementasi Fe justru akan menghambat penyerapan Zn. Hal ini telah dibuktikan oleh Kreb, dkk (1987) yang memberikan suplemen Fe pada 20 orang ibu hamil. Mereka menemukan adanya penurunan secara nyata kadar Zn pada para wanita itu selama hamil.
Contoh interaksi mineral yang juga memberikan efek negatif adalah antara Ca dengan Mg. Hasil penelitian Linkswiller (1980) menunjukkan, peningkatan konsumsi Ca dari 800 mg menjadi 2.400 mg per hari dapat menurunkan penyerapan Mg. Konsumsi Mg y ang rendah disertai Ca yang tinggi ternyata dapat menyebabkan timbulnya hipertensi, karena mengecilkan ukuran pembuluh darah arteri dan kapiler.
Menurut Altura, dkk. (1984), kadar Mg di luar sel yang rendah akan meningkatkan pergerakan Ca ke dinding pembuluh darah. Meningkatnya kadar Ca dalam sel mengakibatkan terjadinya penyempitan pembuluh darah, yang pada akhirnya menimbulkan hipertensi.
Adanya pengaruh positif dan negatif dari interaksi antarzat gizi atau dengan zat non-gizi pada akhinya harus kita cermati. Jumlah dan kualitas makanan yang kita konsumsi memang penting diperhatikan, tetapi yang lebih penting juga adalah cara kita mengonsumsinya. Untuk itu, pengetahuan tentang gizi makanan selayaknya sudah menjadi kebutuhan kita, agar kehidupan yang sehat dapat dicapai.
Selain itu, bila ingin mengonsumsi food suplement, sebaiknya periksa dulu isi kandungannya. Jika terdapat zat-zat yang berpotensi menimbulkan interaksi negatif, sebaiknya dikonsumsi secara bertahap (tidak sekaligus), misalnya menjadi dua atau tiga kali makan. Hal ini sebagai upaya untuk menurunkan dosis, karena jika suatu zat gizi atau non-gizi dikonsumsi dalam dosis tinggi sekaligus, peluang terjadinya interaksi yang tidak menguntungkan semakin besar.
Akhirnya, menganekaragamkan makanan merupakan salah satu cara untuk mencapai hidup yang sehat. (Rahasia Sehat Di Balik Makanan)