Intisari-Online.com – Setelah sebelumnya dijelaskan bahwa pijatan erotis dan pijatan seks dapat memberikan variasi dalam hubungan seks, kini sentuhan swalayan bagian dari pijatan erotis yang dapat digunakan sebagai variasi dalam hubungan seks. Diistilahkan “swalayan” karena pemijatan ini dilakukan oleh diri sendiri, yakni di saat kita tidak sedang bersama pasangan. Sentuhan diri sendiri bukan berarti kita sedang rindu untuk dibelai.
Dengan sentuhan terhadap diri sendiri secara teratur diyakini dapat membantu dalam memelihara kehangatan seksualitas, serta dapat meningkatkan kualitas hubungan kita dengan pasangan. Namun, ini bukan masturbasi, karena banyak cara untuk memberi sentuhan terhadap tubuh. Jangan pernah merasa aneh, karena Anda melakukannya untuk mencintai tubuh Anda dan memenuhi kebutuhan Anda sendiri.
Untuk Pria
Tangan dan lengan
Jelajahi seluruh permukaan tangan, mulai dari bawah pundak menuju ke lengan. Gunakan usapan yang cukup bertenaga naik-turun, lalu remas dengan menggunakan pergelangan tangan. Angkat sikut Anda untuk memudahkan jangkauan.
Dada dan puting
Buat gerakan memutar di dada dengan telapak tangan untuk mengelilingi puting, tapi tanpa menyentuhnya. Rasakan kenyamanan ini untuk beberapa saat, baru menyasar ke puting, dan menyentuhnya dengan memuntir perlahan-lahan. Sebagian orang akan merasakan geli, tapi jika dilakukan dengan penuh perasaan, dapat menambah kenikmatan.
Abdomen
Usaplah permukaan abdomen dari mulai pinggang sampai ke arah pangkal paha. Gunakan kombinasi gerakan dan kekuatan usapan untuk merasakan perbedaan dari setiap gerakan.
Paha
Lakukan usapan pada paha, dimulai dari lutut ke arah genital, baik pada paha bagian luar maupun dalam. Jangan sentuh alat vital terlebih dulu.
Betis
Dengan jari lakukan usapan pada dekat engkel menuju ke lutut. Pengusapan dilakukan pada seluruh permukaan betis baik depan maupun belakang. Anda mungkin akan menemukan bahwa kawasan ini ternyata sangat sensitif, dan berguna untuk informasi pasangan Anda.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR