Mati dengan Ketenangan Hati

Birgitta Ajeng

Editor

Mati dengan Ketenangan Hati
Mati dengan Ketenangan Hati

Intisari-Online.com - Di sebuah kerajaan yang aman sejahtera, memerintarlah seorang raja yang mempunyai tiga orang putra. Ketiga-tiganya sama cerdas, pandai, ahli tata negara, ahli perang dan mahir menggunakan senjata. Lagi pula mereka tampan dan rupawan. Namun baginda juga kebingungan menentukan dan menetapkan siapa yang pantas menjadi putra mahkota yang bakal menggantikannya. Maklumlah raja ingin sedikit mengubah tradisi kerajaan yang menyatakan bahwa putra sulunglah yang berhak menjadi putra mahkota.

Untuk menentukan pilihan itu raja memanggil ketiga putranya, lalu masing-masing diberi seekor anak ayam yang baru menetas, dengan perintah, “Bunuhlah anak ayam ini tanpa ada seorang manusia pun yang mengetahuinya.” Dengan anak ayam itu mereka pergi ke tempat dan arah yang berbeda-beda.

Setelah sepuluh hari berlalu, datanglah putra sulung menghadap ayahandanya, melaporkan dengan menunjukkan bangkai anak ayamnya, katanya. “Perintah ayahanda telah hamba laksanakan. Anak ayam ini telah hamba bunuh di puncak gunung yang terjal dan terpencil, pasti belum pernah diinjak orang. Jadi tidak mungkin ada orang yang melihatnya.”

“Baik,” kata raja kepadanya. “Beristirahatlah sejenak sambil menunggu kedatangan adik-adikmu.”

Beberapa hari kemudian, datanglah putra kedua menyerahkan bangkai anak ayam sambil berkata, “Anak ayam ini hamba bunuh di tengah laut yang sepi. Niscaya tidak seorang pun yang melihatnya.” Jawab ayahanda raja, “Bagus sekali. Engkau telah melaksanakan perintahku dengan baik. Beristirahatlah sambil menunggu kedatangan adikmu, si bungsu.”

Setelah nyaris sebulan, datanglah si bungsu membawa seekor ayam yang masih segar bugar. Bertanyalah raja, “Mengapa tidak kau bunuh anak ayam itu sehingga ia telah menjadi seekor ayam?” Jawab si bungsu, “Maaf ayahanda, hamba tidak sampai hati membunuh makhluk hidup yang tidak berdosa dan lemah ini. ini tindakan tidak adil. Padahal raja harus melindungi dan membela yang lemah. Bagaimana kata orang nanti kalau perbuatan hamba diketahui oleh orang lain.”

Raja berkata, “Kau kan dapat melakukan di tempat sunyi tanpa diketahui orang!”

Jawabnya, “Itu tidak mungkin ayahanda sebab hamba adalah manusia. Hati nurani hamba melarang menganiaya makhluk yang lemah tak berdosa.”

Tanya sang raja, “Tahukan kamu risiko tidak melakukan perintah raja. Hukuman mati menantimu?”

Si bungsu menjawab, “Hamba rela menerima hukuman itu. lebih baik mati dengan ketenangan hati daripada berkuasa dikutuk suara hati sendiri.”

(Sumber: Buku NATO: No Action Talk Only karya Yustinus Sumantri)