Intisari-Online.com - “Dokter, mata saya buram.”
Ratna menyerahkan kacamata yang dipegangnya kepada dokter spesialis mata yang sedang memeriksanya. “Ibu, kenapa ukuran kacamata ini tak sama dengan yang saya resepkan dulu?”
“Oh, tukang kacamata yang mengubah ukurannya, Bu. Katanya begini lebih baik.”
“Oh, Ibu membuat kacamata di tukang kacamata?”
”Ya Bu dokter, lebih murah,” kata Ratna, kerut-merut di seputar bibirnya merekah kala ia tersenyum.
Setelah cek sana cek sini, akhirnya Bu Dokter yang lemah-lembut itu berkata,
“Ibu, pandangan Ibu kabur karena kemunduran usia. Kan Ibu sudah 80 tahun. Dan kacamata yang keliru ukuran.” Ratna mangut-manggut. Pelan-pelan ia berjalan menuju pintu, hampir-hampir menabrak pintu kaca bening. Di tepi jalan, di bawah terik Matahari, ia menantikan angkot lewat.
Ratna tak habis mengerti. Dulu ia memilih membuat kacamata di tukang kacamata dengan pertimbangan harga. Ia tak mau membebani Dimas, cucunya, atau orang lain. Tapi kini tampaknya keputusan itu keliru. Padahal ia selalu tak mau merepotkan orang lain. Maka tadi ia pergi sendiri ke dokter diam-diam. Walaupun jalannya agak sempoyongan, dan uang di sakunya pas-pasan. Apalagi akhir-akhir ini Dimas semakin sibuk. Dan dirinya semakin lambat segalanya.
Ia melirik ke lengannya yang digendong dengan kain. Lupa kenapa.
“Ah, dunia ini semakin sibuk, semakin tak punya waktu untuk aku,” keluhnya sambil menghela napas panjang. Sekilas berkelebat gambaran Dimas kecil yang bermain di lantai, sementara ia dan suaminya berjualan di pasar untuk menyambung hidup. Dimas kecil yang malang, orangtuanya tewas dalam kecelakaan.
Entah kapan Tuhan akan mempersatukan kembali dirinya dengan suami tercintanya. Berkumpul lagi seperti dulu. Dengan Dimas, suaminya, Miranti, ibu Dimas dan Taryo suaminya. Masa lalu yang begitu sempurna.
Turun dari angkot, tak dinyana Dimas telah tiba duluan di atas motornya. Seorang gadis manis diboncengnya.
“Nek, ini Danar. Dari Yogya, mau wawancara kerja hari Senin. Boleh ya ia menginap di rumah kita? Biar dia tidur di kamar Nenek.”
Keesokan harinya,libur nasional Nyepi. Pagi-pagi kedua anak muda itu berjalan-jalan berdua, pulang membawa belanjaan, lalu memasak bersama. Tak banyak cakap, tapi kalau matanya masih awas, ia yakin dapat menangkap pendar cahaya mata mereka.
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, Ratna bisa berbagi dengan Dimas soal ukuran kacamatanya yang keliru. Bertanya lagi soal apa yang telah menimpa lengannya. Menikmati kehadiran Dimas, menikmati perhatiannya, dan berbagi cerita tentang kisah cinta cucunya.