Tak jauh dari Savoy Homann kita akan melihat Sungai Cikapundung. Seorang teman pernah bilang, inilah sungai terpanjang di dunia. ”Lo, bukannya Sungai Amazon di Brazil sana?” sergah teman lain. ”Amazon ’kan hanya mengalir di benua Amerika. Kalau Cikapundung mengalir di dua ’benua’, Asia dan Afrika. Nah, lebih panjang ’kan?” kata teman tadi. Senyatanya, Sungai Cikapundung mengalir melintasi Jln. Asia- Afrika.
Sungai Cikapundung sendiri menjadi salah satu alasan mengapa Deandels memindahkan ibukota yang lama ke alun-alun. Sungai bersejarah ini merupakan sumber bagi warga dalam mencari sumber air. Pada zaman prasejarah, saat Danau Besar Bandung masih ada, sungai ini berada 30 m di bawah permukaan danau. Manusia prasejarah yang tinggal di perbukitan utara biasa menyeberangi danau sebelum tiba di selatan Bandung untuk suatu urusan.
Penjara yang tergusur
Sampailah kita di alun-alun, yang berjarak sekitar 1 km dari Grand Preanger. ”Bandung itu sebenarnya satu-satunya kota di Jawa Barat yang tidak memiliki alun-alun,” protes Goerjama, salah seorang peserta yang juga anggota Paguyuban. Memang, jika Anda membayangkan alun-alun adalah tanah lapang berumput luas, siap-siap saja kecewa melihat alun-alun Bandung.
Alun-alun dianggap sebagai taman publik pertama di Bandung. Konsepnya sama dengan beberapa kota di Jawa lainnya, yakni Catur Gatra. Di sebelah selatan ada Rumah Pendopo sebagai pusat pemerintahan, sebelah barat ada tempat peribadatan monumental (Mesjid Agung), di sisi timur ada pusat aktivitas komersial (Palaguna dan beberapa bioskop), serta di sisi utara didiami rumah penjara (Banceuy).
Banyak yang telah berubah jika mengacu ke awal konsep itu diterapkan. Kondisi alun-alun kini sedang porak-poranda direnovasi, menyusul Mesjid Agung yang telah megah berubah. Mesjid pertama di Bandung yang dibangun tahun 1812 ini telah mengalami delapan kali renovasi. Aslinya dirancang bergaya lokal, beratap genteng bersusun tiga, yang mengambil bentuk bawang. Tahun 1955 diubah menjadi Bale Nyungcung (bahasa Sunda untuk bangunan lancip). Kini atapnya berbentuk kubah dengan menara kembar (dulunya lebih rendah dari atap) setinggi 86 m. Ubahan terakhir bisa dikatakan rekonstruksi, bukan lagi renovasi.
Pusat aktivitas komersial pun berubah seiring zaman. Dulu ada tiga buah bioskop: Elita, Varia, dan Oriental. Berdekatan dengan Rumah Pendopo ada bioskop Radio City (kini bioskop Dian). Bioskop Elita, yang dulu megah dengan patung garudanya, kini menjadi bangunan kotak berkaca. Pusat komersial pun kini ada di sebelah utara menggusur penjara Banceuy.
Penjara yang dibangun tahun 1877 itu diruntuhkan tahun 1984. Sebagai penanda bahwa di sini pernah dibangun sebuah penjara, disisakanlah sebuah menara pengawas di pinggir jalan (benar-benar di pinggir jalan) berpagar besi dan rantai. Itu yang tampak dari luar. Sedangkan di dalam kompleks pertokoan kita bisa melihat ruang sel contoh (meminjam istilah rumah contoh pengembang) - yang kebetulan dulu ditempati Soekarno, presiden pertama RI. Tentu tidak ketinggalan prasasti batu sebagai penanda.
Di pojok alun-alun dekat penjara Banceuy kita akan melihat dua buah bangunan yang masih tampak wajah aslinya: Kantor Pos Bandung dan Gedung Bank Mandiri yang dipisahkan oleh Jln. Banceuy. Kantor Pos yang dibangun pada 1928 ini masih difungsikan seperti dulu, Posten Telegraf Kantoor. Bangunan bergaya geometric art deco ini merupakan rancangan J. Van Gent. Sedangkan Gedung Bank Mandiri awalnya adalah Bank Escompto. Inilah bank pertama di Bandung yang melayani warga maupun tuan tanah Parahyangan. Menara uniknya di sisi barat diberi aksen dua jam bundar kecil.
Gerimis mulai turun lagi seiring matahari yang mulai muncul saat kami mau menuju Jln. Braga. Dari kompleks penjara yang kemudian menjadi ruko serta sebuah department store ini ke arah Jln. Braga kita bisa melihat Bank Jabar. Inilah contoh lain bangunan streamline art deco hasil rancangan A.F. Aalbers. Bangunan yang didirikan tahun 1925 ini ditujukan bagi Boer, kelompok pemberontak asal Afrika Selatan, yang menggunakannya sebagai kantor perdagangan mereka. Di dekat sini ada sumber mata air yang dianggap keramat oleh warga Bandung, yakni Sumur Bandung.
Macam langgam di Gedung Sate
Sinar matahari mulai menampakkan kehangatannya. Waktu menunjukkan lepas dari angka delapan ketika kami sampai di Braga.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR