Advertorial
Intisari-Online.com – Madura, selain dikenal sebagai penghasil humor antar-suku, juga mungkin merupakan suku penghasil jago tusuk dan tukang bakar paling produktif.
Tapi urusan tusuk-bakar yang ini tidak ada hubungannya dengan tradisi carok, melainkan tukang tusuk dan bakar sate.
Di Jakarta saja tak terhitung jumlah orang Madura yang menyusuri gang-gang kecil di kampung-kampung sambil mengulang-ulang suara sengau, Teee.... Sateee.... ! Belum lagi warung sate kelas warung tenda dan kelas rumah makan.
Karena itu tak lengkap rasanya kalau bicara masakan Nusantara tapi melupakan sate madura.
Baca juga: Sate Maranggi, Jangan Hanya Menyantapnya tapi Baca Juga Sejarahnya yang Mengejutkan
Saking banyaknya penjual sate madura (ayam maupun kambing), tidak terlalu sulit bagi kita untuk menemukan sate yang rasanya membikin kangen. Bahkan mungkin saja salah satu favorit kita adalha sate yang dijajakan pakai gerobak dorong yang setiap malam lewat di depan rumah.
Banyak sate enak di Jakarta, tapi mungkin belum banyak sate enak yang kondang seperti sate madura di depan RS Pusat Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Di gerobaknya tertulis Satai H. Romli. Tapi di kalangan pelanggannya, warung ini lebih dikenal sebagai sate pertamina atau sate RSPP. Di warung sate yang telah berusia lebih dari 25 tahun ini kita bisa menikmati sate ayam yang rasanya betul-betul nyam-nyam. Baru mencium asapnya saja sudah terasa enaknya.
Pembeli yang baru pertama datang mungkin akan bertanya-tanya di mana tempat makannya. Pasalnya, di sini tidak ada meja. Yang ada hanya beberapa dipan kecil di sisi-sisi pinggir warung. Jumlahnya pun hanya enam buah.
Satu dipan hanya muat dipakai duduk tiga orang kurus atau dua orang gemuk. Karena terbatasnya tempat duduk, sebagian pembeli memesan sate dari dalam mobil, lalu menikmatinya di atas jok mobil. Sebagian lagi minta dibungkus, dibawa pulang.
Baca juga: Tempat Wisata di Jabodetabek untuk Anak dan Keluarga
Meskipun warungnya sederhana, jangan tanya soal jumlah pelanggannya. Sebagai gambaran, warung ini punya dua tungku pembakaran. Satu tungku muat untuk sekitar 100 tusuk.
Pada saat ramai seperti jam makan siang, dua tungku ini tak henti mengepulkan asap. Pada jam sepi, satu tungku selalu penuh.
Saking banyaknya pembeli, warung ini menerapkan sistem stok. Caranya, sate dibakar sampai setengah matang lalu disimpan di dalam ember. Jumlahnya ratusan tusuk.
Begitu pembeli datang, sate setengah matang ini tinggal dibakar sebentar, sementara Parjo, si peracik bumbunya, langsung mencampur bumbu kacang, kecap, dan jeruk nipis di piring. Dengan cara seperti itu, pembeli tak perlu berlama-lama menelan ludah.
Satu porsi standar berisi sepuluh tusuk sate plus satu lontong. Tak ada nasi di tempat ini. Tanpa lontong pun sebetulnya sepuluh tusuk sate pertamina ini sudah cukup mengenyangkan karena potongan dagingnya besar-besar.
Baca juga: Di Sate Bali Resto, Tum Tidak Terbuat dari Daging Babi, Seperti Apa Rasanya?
Begitu sate disantap, kesan pertama adalah empuk saat digigit. Empuknya merata di seluruh bagian dating. Bukan hanya bagian luarnya yang matng. “Satenya bisa empuk karena kami pakai daun pepaya,” kata Hasan, si tukang bakar, sambil menunjuk daging yang sedang dikekep (ditutup) dengan daun pepaya di sebelahnya.
“Enggak tahu gimana ceritanya, tapi dari dulu memang sudah gitu,” sambungnya. Baginya, penjelasan tentang enzim papain pengurai protein daging dari daun pepaya bukan urusan yang perlu diketahuinya.
Sama seperti sate ayam pada umumnya, bumbu sambalnya terbuat dari kacang, bawang merah, bawang putih, dan cabai merah. Tak ada yang khusus. Tapi begitu semua bumbu yang biasa itu teracik di piring, kelezatan sate sama sekali tidak bisa dibilang biasa. Dagingnya mak nyus, bumbunya mak nyem.
Di warung ini, sate dihidangkan tanpa sendok dan garpu. Pembeli harus makan dengan cara tangan kiri memegangi piring, sementara tangan kanan memegang sujen satu demi satu untuk dilolosi potongan daging panggangnya pakai mulut.
Sujen atau tusuk bambu yang telah kosong berfungsi sebagai garpu untuk menusuk lontong.
Baca juga: Kuliner Eksotis Asal Thailand Ini Sajikan Makanan Dari Bahan yang Tak Pernah Kamu Sangka Sebelumnya
Sembari menikmati sate, kita bisa melihat tukang bakar unjuk keterampilan. Tangan kiri membolak-balik seratusan tusuk sate di atas tungku, tanpa ada yang terjatuh, sementara tangan kanan mengipasi bara dengan kipas anyaman bambu.
“Dulu pernah pakai kipas angin, tapi dagingnya jadi alot, matengnya enggak rata,” kata Hasan sambil menyemprotkan minyak kacang ke atas sate. Wusssss!! Asap mengepul dari tungku. Tentu saja tambahan minyak kacang ini bukan sekadar atraksi.
Minyak ini berfungsi membuat sate matang lebih rata, juta tampak berminyak menggoda selera.
Dua shift
Di dinding warung terpampang tulisan yang sepintas kelihatan aneh: Satai ayam, Buka Pagi pukul 08.00 – 15.30, Sore Pukul 15.30 – 22.00. Antara jam buka pagi dan sore tak ada jeda, tapi ditulis terpisah.
Kata Hasan, ini pembagian jam kerja menjadi dua shift. Shift pagi dilayani oleh Parjo dan kawan-kawan. Sementara shift sore dilayani oleh Hanafi dan kawan-kawan. Baik shift pagi ataupun shift sore, cita rasa sate ayamnya sama enaknya.
Sebetulnya, warung ini juga menyediakan sate kambing. Rasanya juga tak kalah sedap. Daging dan gajihnya bisa membuat kita lupa urusan kolesterol. Tapi menu sate kambing tidak sepopuler sate ayamnya.
“Dalam sehari, paling ‘hanya’ laku sekitar 500 tusuk,” kata Hasan tentang jumlah pesanan sate kambing untuk shift siang.
Ia menyebut angka 500 itu dengan kata keterangan “hanya”. Padahal jumlah itu setara dengan 50 porsi. Maklum saja, pesanan untuk sate kambing tidak setara jika dibandingkan dengan pesanan sate ayam yang dalam sehari bisa mencapai belasan ribu tusuk!
Mereka memang jago tusuk dan tukang bakar profesional.
(Sumber: Yok Makan Enak di Jabodetabek - Intisari)
Baca juga: Pecel Semanggi, Kuliner Langka Surabaya Yang Datang Dari Benowo