Intisari-Online.com - "Ibu beruntung, enggak punya anak kayak gini". Ungkapan itu keluar dari seorang bapak yang datang berkonsultasi dengan anak perempuannya. Sejak usia 3 tahun, anak itu didiagnosa autisme. Sekarang dia bertumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Rambutnya panjang. Wajahnya imut. Serasi dengan kacamatanya.
Saya terkejut mendengar ungkapan sang ayah. Ternyata si bapak tidak siap memiliki anak yang 'menderita kelainan.' 'Mau jadi apa, Bu?' itu katanya berulang-ulang. 'Anak kayak gini, mau jadi apa?' Ekspresi wajahnya bercampur antara putus asa, merendahkan, juga kecewa.
Saya katakan pada bapak itu, mau jadi apa anak itu tergantung pada bagaimana orangtuanya memperlakukan dia. Kalau orangtuanya memperlakukan tidak baik dan beranggapan bahwa anak itu beban, ya anak itu tidak akan jadi apapun.
Memang semua orangtua menginginkan mempunyai anak yang sehat, sempurna, normal, taat pada orangtua, prestasinya bagus, kelakuannya baik, tidak mengecewakan orangtua, rajin, mandiri, punya rasa tanggungjawab, tidak membuat malu, tidak membuat susah orangtua. Hmmm... itu anak atau robot?
Impian yang aneh bin ajaib. Anak itu manusia. Orangtua juga manusia. Pasti ada kelebihan dan kelemahan.
Orangtua punya banyak keinginan, punya banyak harapan terhadap anak-anaknya, tapi apakah mereka bersedia meluangkan waktu-tenaga-pikiran untuk mendidik anaknya?
Klien lainnya datang dengan keluhan anaknya, laki-laki, remaja awal, tidak menunjukkan sikap bertanggungjawab. Tidak mengerjakan tugas sekolah, bahkan tidak peduli akan kalender akademik. Waktunya libur sekolah, ujian, dan sebagainya, anak tidak tahu.
Pertanyaan saya sederhana, "Apa tugas anak di rumah? Siapa yang mengganti galon air di rumah? Siapa yang bertugas mengunci pintu rumah di malam hari? Siapa yang bertugas mengganti tissue? Mengisi bak mandi? Merapikan tempat tidur?"
Jawabannya sudah bisa saya duga. Bahkan untuk membeli baju pun, bukan si anak yang melakukannya. Lalu bagaimanakah bisa orangtua berharap anak memiliki sikap bertanggungjawab, peduli pada orang lain, dan mandiri?
Bermula pada Paradigma
Paradigma, cara berpikir orangtua terhadap kehadiran anak menentukan bagaimana orangtua memperlakukan anak-anaknya. Kalau orangtua menganggap anak sebagai:
- Beban
Maka orangtua akan mengeluh tiap kali ada uang yang dikeluarkan untuk anaknya, orangtua tidak dengan senang hati mendidik anaknya, lebih senang menghabiskan waktu di tempat pekerjaan daripada bertemu anak-anaknya, mudah putus asa kalau anaknya mengalami masalah, dan masih banyak lagi.
- Pengganggu
Maka orangtua akan berusaha 'menyingkirkan' anak, tentu saja dengan cara yang halus. Mengabaikan anak terutama ketika anak sakit, memukuli, tidak mempedulikan kebutuhan psikologis dan spiritual anak, menjadikan anak sebagai pelampiasan kemarahan terhadap pasangan, kasar secara verbal (mengata-ngatai), dan sebagainya.
- Pembawa sial/penyebab masalah dalam relasi suami istri
Maka orangtua yang mendidiknya saat ini akan sering berkata kasar, memaki anak, menyalahkan anak untuk tiap kejadian tidak enak yang dialami, menginginkan anaknya 'mati' baik secara verbal maupun non verbal, membedakan perlakuan dengan anak lainnya, mempermalukan anak di hadapan siapapun.
- Penyebab rasa sakit melahirkan (biasanya para ibu yang mengalami)
Maka para ibu ini kurang punya relasi dekat dengan anak, lebih tidak sabaran ketika menghadapi perilaku 'nakal' si anak, cenderung memukul membabi buta kalau anak dianggap bersalah (dengan dalih 'biar kapok'), kurang memperhatikan anak. Ibu lebih senang menghabiskan waktu bersama anaknya yang lain, memberikan beban tugas lebih banyak pada anak itu dibandingkan dengan saudaranya dengan dalih 'mendidiknya supaya bertanggungjawab.'
- Aset atau Properti
Maka orangtua cenderung memaksakan kehendaknya pada anak. Mereka ingin mencetak anak-anaknya agar bisa menjadi 'piala' yang dapat dibanggakan. Konflik pun akan terjadi ketika anak memilih karir atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan orangtua. Bukan itu saja, memilih teman bermain pun akan menjadi topik konflik. Orangtua akan menentukan kriteria teman bermain/bergaul yang levelnya sama, untuk mencegah jangan sampai 'propertinya' rusak atau turun level pergaulan.
Dibutuhkan kejujuran pada diri sendiri untuk mengetahui apa sesungguhnya paradigma orangtua terhadap anak-anaknya. Karena dari sanalah bermula semua cara membesarkan anak-anak.
Semoga bermanfaat.
Penulis: Psikolog Naftalia Kusumawardhani
(kompas.com)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR