Intisari-Online.com - Banyak orangtua khawatir anaknya menjadi korban bullying di sekolah. Tapi pernahkah terpikir, jangan-jangan anak kita yang justru jadi tukang bully di sekolahnya!
Menurut Pengamat Kejahatan Anak & Remaja, Lia Sutisna Latif, M.Psi., Psi., CGI, anak bisa melakukan bully karena ia merasa dirinya tidak memiliki kompetensi atau prestasi akademis yang bisa dibanggakan dan ditunjukkan ke teman, orangtua, atau gurunya.
“Untuk menutupi kelemahannya itu, si anak berusaha menjadi pihak yang dominan dan dikenal di lingkungannya. Dengan demikian ia mampu berkuasa di antara kelompoknya dan menjadi figur yang disegani di sekolah atau di rumah.”
Lalu, ciri anak tukang bully biasanya adalah ia merasa tidak nyaman di lingkungannya, merasa bosan dengan rutinitas dan aktivitas di sekolah atau rumah.
Selain itu, kondisi di rumah juga bisa menjadi penyebab, lo. “Kurangnya komunikasi dengan orangtua, membuat ia merasa dirinya tidak diperhatikan secara psikologis. Ketika anak merasa kecewa atau marah, tidak ada teman atau saudara yang bersedia mendengarnya atau menemani ketika merasa kesepian.”
Jadi, bisa saja penyebab anak menjadi tukang bully adalah perlakuan orangtuanya. Misal, ketika orangtua kurang memahami minat anak.
Misal, anak menyukai melukis, tapi orangtua kurang menyediakan fasilitas yang menunjang kemampuannya, seperti buku gambar, kanvas, alat melukis dan lainnya. Alhasil, si anak sibuk mencoret-coret buku adiknya dan senang menganggu adiknya di rumah.
Tak kalah penting, ciri anak tukang bully biasanya merasa kurang memiliki kemampuan penyelesaian masalah (problem solving skill) jika ia menemui kendala. Misalnya dia tidak bisa kompak atau merasa disepelekan dalam peer group-nya.
Setelah mengetahui ciri anak tukang bully, lantas bagaimana penanganannya?
1. Jika terjadi di sekolah, pihak sekolah perlu membuat peraturan mengenai tindakan bullying baik terhadap pelaku maupun korban. Dan setiap anak perlu mengetahui informasi terhadap peraturan ini.
2. Anak tukang bully alias pelaku bullying dianggap sebagai anak yang sebenarnya sudah mandiri dan memahami norma yang berlaku, namun dilanggar. Berarti pemberlakukan punishment juga merupakan bagian dari pembelajaran perilaku, dimana setiap perilaku memiliki konsekuensi.
Namun, pemilihan hukuman harus disesuaikan dengan usia pekembangan anak dan efek dari hukuman harus dimaknai oleh anak atau remaja sehingga ia bisa merefleksikan dirinya mengapa berbuat demikian terhadap anak lain.
“Hukuman dengan meminta anak menulis kalimat yang sama sebanyak 1.000 kali bukanlah solusi tepat, karena anak tidak memaknai dari hukuman ini.”
3. Orangtua dan pihak sekolah perlu menyalurkan keterampilan yang selama ini dimiliki anak. Misal, si anak jago bermain basket, tapi orangtua melarangnya latihan basket setiap sore karena ia harus ikut les tambahan. Anak tidak bisa melawan orangtua dan akhirnya melampiaskan kemarahannya ke anak-anak lain yang ikut eskul basket.
4. Berikan anak peran di lingkungannya. Pelaku biasanya merasa perannya di sekolah atau di rumah kurang diperhatikan, sehingga ia mencari kompensasi dengan menganggu anak lain dengan cara bully.
(Hilman Hilmansyah/tabloidnova.com)