Intisari-Online.com – Kisah penumpang pesawat yang mendarat darurat ini merupakan pengalaman HA Kadir Bakri yang ditulis oleh Budi Arti dan pernah dimuat di Intisari edisi Mei 1972. Judul asli tulisan tersebut adalah Suasana Menghadapi Maut.
--
Peristiwa ini sudah lama berlalu kira-kira tahun 1956, tapi biar bagaimanapun juga merupakan pengalaman yang sangat berharga. Baik para penumpang maupun para kru Garuda Indonesia (GIA).
Pada hari itu saya bersama isteri bertolak dari Medan ke Jakarta. Tanpa menemui kesulitan, pesawat yang kami tumpangi akan mendarat. Penumpang sudah bersiap-siap. Tapi aneh pesawat tidak segera mendarat melainkan berkeliling di atas kota. Mula-mula saya sangka atas kebaikan hati penerbangnya kami dapat melihat keindangan pemandangan dari udara. Tetapi ketika sudah berlangsung kira-kira 20 menit, timbullah kecurigaan di hati saya. Lebih-lebih karena kru memperlihatkan aktivitas yang aneh-aneh. Berkali-kali pramugari mondar-mandir antara kokpit dan ruang belakang.
Kecurigaan itu pecah tatkala seorang pramugari mengumumkan pada penumpang bahwa pesawat mengalami sedikit kerusakan. Walaupun suaranya dibuat tenang, tapi isi pengumuman itu sendiri tidak dapat dipulas dengan kata-kata halus. Sebenar lagi pasti segalanya sudah beres, harap saudara-saudara semua tenang. Wajah para penumpang berubah, kepanikan mulai membayang.
Kerusakan yang bagaimanapun kecilnya kalau sampai mengganggu kelancaran landing berarti bencana bagi penumpang. Berbagai macam kelakukan penumpang kami lihat dalam menghadapi keadaan yang mencemaskan ini. Ada yang ke WC, ada yang melelehkan air mata tapi ada juga yang berpura-pura bersikap tenang sambil bersiul, tapi sebagian besar duduk terpaku sambil berdoa.
Kemudian pramugari muncul lagi dengan mengatakan bahwa akan dilakukan pendaratan di laut. Antara lain pramugari itu menerangkan bagaimana cara membuka jendela sesudah pesawat menyentuh air. Dan yang lebih penting ia memperlihatkan sebuah perlengkapan yang akan kami pakai selama berada di laut nanti. Ia mengajari bagaimana caranya memakai. Pakaian itu mirip ransel dengan pelampungnya plus sejenis topi. Sekiranya sampai cuaca gelap belum juga datang pertolongan, tekanlan tombol ini, kata sang pramugari, yang disertai peragaan. Sebuah lampu pada topi menyala. “Nyala lampu ini gunanya mempermudah regu penyelamat mencari kita.”
Bisa Anda bayangkan betapa menakutkan kata-kata itu. Pada waktu itu jam belum menunjukkan 10 pagi. Tapi pramugari sudah membayangkan cuaca malam. Jadi akan berapa lami kami harus terapung di lautan nanti? Berkali-kali gadis itu menanyakan pada kami apa sudah jelas, tapi tidak pernah ada jawaban. Bahkan seorang penumpng diminta tampil untuk mengenakan pakaian tersebut, tapi gagal mengikuti petunjuk pramugari tadi.