Rehabilitasi Pecandu Narkoba Bagaikan Merajut Benang yang Kusut

K. Tatik Wardayati

Editor

Rehabilitasi Pecandu Narkoba Bagaikan Merajut Benang yang Kusut
Rehabilitasi Pecandu Narkoba Bagaikan Merajut Benang yang Kusut

Intisari-Online.com – Seorang pencandu narkoba yang sembuh fisik, belum berarti pulih total. Masih banyak aspek yang perlu diselaraskan. Rupanya ada pendekatan komprehensif untuk menuntun mereka kembali ke jalan yang benar. Merehabilitasi para pecandu narkoba bagaikan merajut benang yang kusut.

--

Tatapan mata Rini (nama disamarkan, 18) tertancap ke whiteboard. Seluruh dirinya menyerap pembahasan "Menyayangi & Menyembuhkan Inner Child" yang disampaikan Surya (bukan nama sebenarnya, 28), di ruang kerja Keluarga David. Bersama tiga gadis sebayanya, siswa sekolah menengah itu merasa tengah menguliti diri-sendiri. Yang disampaikan Surya sungguh sesuai dengan apa yang pernah mereka alami.

Surya, sebagaimana ketiga "murid"-nya, tampil santai, berkaus, dan bercelana pendek. Mahasiswa sebuah PTS yang mantan pencandu narkoba berat ini, siang itu tengah memberi pencerahan pada empat gadis remaja peserta program pemulihan dari kecanduan.

Sementara di ruang perpustakaan, di sayap kanan rumah, sang nyonya rumah, Joyce Djaelani Gordon, tenggelam dalam komputernya. Psikolog alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu juga konsultan dan trainer masalah HIV/AIDS, adiksi, dan kesehatan reproduksi. Bulan Mei 1999, bersama beberapa teman ia mendirikan Yayasan Harapan Permata Hati Kita (Yakita).

Sudah ratusan pecandu ia pulihkan. Artinya, ia hidupkan kembali harapan ratusan keluarga yang selama ini dikoyak kehadiran pecandu di dalam rumah mereka. Ia sendiri berharap, bisa membantu ribuan – bahkan puluhan ribu – lagi pecandu untuk mengubah hidup mereka.

Khusus rehabilitasi wanita pencandu, ia memanfaatkan rumahnya yang nyaman penuh cericit burung di Kawasan Kebon Pedes, Bogor. Sedang kaum pria ditempatkan di Villa Pandawa, Ciawi. Ketujuh wisma dalam vila seluas 6.500 m2 itu diberi nama keluarga Pandawa (Arjuna, Srikandi, Yudhistira, Bhisma, Sadewa, dan Iain-lain). Alasannya, ia membayangkan kaum pencandu aktif sebagai kaum Kurawa, yang kelak dikalahkan kaum Pendawa.

Kembali pada Rini dan kawan-kawan. Saat makan malam bersama Joyce dan suami, David Djaelani Gordon, tak jarang gadis belia berkulit bersih dan berwajah manis ini meneteskan air mata. "Kehangatan seperti ini tak pernah saya temui di rumah," isaknya.

Apa yang diungkapkan Rini seolah prakata dari entah berapa ribu kisah remaja yang hidupnya dikendalikan NAPZA (narkotik, alkohol, psikotropika, zat adiktif lainnya). Kian hari jumlah mereka kian bertambah, bagai bola salju yang menggelinding.

Joyce pun melakukan langkah kecil untuk itu, "Kami harus memulihkan empat aspek secara komprehensif, yakni aspek fisik, mental, emosional, dan spiritual.”

Bila sakaw berlalu

Reza (nama samaran, 30), mahasiswa arsitektur tingkat skripsi yang kenal narkoba pada 1986, ketika kelas 2 SMP hingga tahun 2002, misalnya, langsung masuk ruang isolasi untuk Program Detoksifikasi alamiah. la disupervisi dan dimonitor secara medis. Bahkan, menu makannya sebanyak tiga kali sehari pun diawasi. Penggunaan narkoba diputus sama sekali. Bila sakaw agak berlebihan, ia mendapat aspirin atau ponstan. Maka, rasa sakit sekujur badan mereda. Ia merasa dimanja, selama 24 jam diawasi peer (kawan sebaya), yakni senior yang mantan pencandu. Semua yang dia inginkan selalu didapat, kecuali drugs. Badan pegal, ya dipijat.

Sebulan di Wisma Yudhistira, ia dinyatakan clean. Lalu melanjutkan ke Program Pemulihan Dasar selama lima bulan di Wisma Arjuna. Program yang sama untuk penderita wanita dilakukan di Wisma Srikandi.

Di sini Reza menjalani behavior modification. Bangun pagi, membereskan tempat tidur, lalu mandi. Morning meeting dijalaninya pukul 08.30 - 09.00 untuk membahas masalah antarresiden (residen ini istilah untuk penghuni tempat rehabilitasi YAKITA - Red.) atau soal wisma. Dilanjutkan makan pagi dan membereskan wisma. "Gile, di rumah mana pernah gue nyapu, ngepel," keluh Reza. Tapi, melihat teman-temannya bisa, ia tergerak juga.

Pernah ada temannya yang susah melepas kebiasaan malas mengepel. Peer pun datang memotivasinya. "Lu harus sanggup melakukan kalo mau berubah, dan memang lu harus berubah." Eh, temannya itu ternyata jadi pengepel terajin dan terbersih.

Sesi pagi selama dua jam dimulai pukul 10.00. Ada tujuh modul selama enam bulan perawatan inap itu, semuanya psikologi. Antara lain Dunia Pencandu dan Adiksi; Kisah Hidup, Sejarah Hidup & Psikologi; Psikologi Pikiran, Hidup & Kehidupan; Hubungan dengan Keluarga, Teman dan Masyarakat; Komunikasi - Seni Berbagi dan Bahasa; Program 12 Langkah Narcotics and Alcoholics Anonymous; Psikologi Transpersonal & Spiritualitas.

Ketujuh modul itu dicacah lagi dalam topik mingguan, yang dibahas rinci setiap hari dengan judul berbeda-beda. Misal, Kepribadian Ganda Seorang Pencandu (Kamis) dan Bayang-bayang Gelap Dunia Adiksi (Jumat).

--

Pernah dimuat di Intisari edisi Januari 2004. Ditulis oleh Dharnoto dengan judul asli "Merajut Benang yang Kusut".