Film Sumala (2024), meskipun berlatar masyarakat Jawa era 1940-an, adalah masih menjadi cerimanan sebagian masyarakat Indonesia kita saat ini.
Intisari-Online.com -Sumala (2024) menjadi salah satu film yang paling populer di Netflix Indonesia saat ini. Film horor ini bercerita tentang sepasang suami-istri yang kesulitan punya keturunan yang kemudian minta bantuan dukun.
Artikel ini akan mencoba menjelaskan kenapa beberapa masyarakat atau orang Indonesia sangat percaya kepada dukun.
Baca Juga: Kok Bisa Bantal Digunakan untuk Mengusir Setan seperti di China?
Sumala disutradarai oleh Rizal Mantovani dan dibintangi oleh Darius Sinathrya (sebagai Soedjiman) dan Luna Maya (sebagai Sulastri). Seperti disebut di awal, film ini bercerita tentang sepasang suami-istri yang bertahun-tahun tak dikaruniai seorang anak.
Kondisi itu membuat keduanya tertekan. Sulastri yang hampir putus asa lalu berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan momongan. Di antaranya dengan minum jamu dan melakukan pijat tradisional, tapi sayang semua itu tak berhasil.
Soedjiman sendiri sangat mendambakan seorang anak yang bisa meneruskan usaha dan mewarisi hartanya.Soedjiman pun menekan Sulastri untuk segera mengandung. Jika Sulastri tak kunjung hamil, Soedjiman mengancam akan menikah lagi demi mendapatkan keturunan.
Sulastri yang mulai khawatir dengan ancaman sang suami diam-diam pergi ke seorang dukun dan melalukan perjanjian dengan iblis untuk dapat buah hati. Dia pun menjalankan ritual.
Dia pun membuat berbagai sesajen sebagai salah satu syaratnya. Dan benar saja, Sulastri pun akhirnya hamil. Soedjiman tentu bahagia istri berbadan dua.
Singkat cerita, Sulastri akhirnya melahirkan putri kembar yang cantik, yang ternyata salah satu di antara mereka adalah keturunan iblis, namanya Sumala. Tapi dia langsung dibunuh oleh ayahnya yang takut melihat wajah Sumala.
Kembaran Sumala adalah Kumala yang tumbuh dengan keterbelakangan mental. Ternyata itu sebagai akibat dari tindakan Soemadji yang melanggar syarat perjanjian dengan iblis yang akhirnya membawa malapetaka.
Kumala yang tumbuh harus menghadapi berbagai cemoohan dari ornang-orang sekitar. Dan ketika dia beranjak dewasa, kejadian misterius datang satu per satu.
Selain itu, Kumala juga sering melakukan kegiatan-kegiatan yang terbilang aneh. Di antaranyasetiap hari terjadi kematian seorang anak dengan cara tragis.
Sumala juga muncul kembali dengan wujud yang mengerikan,menghantui mereka yang terlibat dalam penderitaan saudaranya. Penduduk desa mulai ketakutan dan mempercayai Kumala sebagai sosok yang membawa petaka.
Soedjiman disalahkan atas kekacauan yang diakibatkan oleh Kumala. Namun Kumala membela diri dengan mengatakan bahwa teror kematian yang terjadi dilakukan oleh kakaknya, Sumala.
Kumala dirasuki Sumala, balas dendam pun tiba. Satu persatu, mereka yang menyakiti Kumala dibunuh dengan cara yang keji, termasuk ibu dan ayahnya sendiri.
Secara garis besar, kejadian demi kejadian aneh yang terjadi dalam Sumala diawali oleh perjanjian Sulastri dukun. Pertanyaannya kemudian, kenapa masyarakat Indonesia masih banyak yang percaya dukun?
Dua faktor
Menurut Prof. Koentjoro, psikolog sosial dari UGM,banyak orang yang mempercayai dukun karena karena cara berpikir masyarakat Indonesia masih bersifat materialistis. Di mana kita sangat mudah terpengaruh oleh pencapaian orang lain.
Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang turut memicu orang memiliki keinginan untuk tampil seperti mereka yang memperlihatkan simbol-simbol kepemilikan material. Untuk mewujudkannya orang akan berusaha dengan berbagai cara, termasuk dengan jalan pintas menemui dukun.
Dia melanjutkan,masyarakat Indonesia masih terikat dengan simbol-simbol status sosial. Status sosial itulah yang menjadikan seseorang diakui dan dihormati.
"Bagi orang berpengaruh, berbakat, maupun terdidik yang jadi korban itu karena serakah, ingin mendapatkan kekayaan lebih. Mereka ingin diakui dan dihormati lewat memamerkan simbol-simbol status sosial," papar dia.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini menyampaikan ada dua faktor yang menyebabkan masyarakat mudah percaya dukun. Pertama, korban terkena hipnotis gendam atau magic. Kedua, ada orang tertentu yang mampu memengaruhi, meyakinkan bahkan memikat para korban untuk memercayai iming-imingan yang disampaikan.
Keontjoro menambahkan dari sisi pelaku kriminalitas, pelaku melakukan penipuan berkedok dukun untuk mendapatkan jalan uang dengan jalan pintas. "Biar tidak ditagih terus penggandaan uang yang dijanjikan, korban diajak melakukan ritual yang sebenarnya untuk menghabisi nyawa korban dan mereka percaya kalau itu bagian dari ritual," tutur dia.
Bagaimana menghindari perdukunan, salah satunya, menurutKoentjoro, adalah dengan pendidikan keluarga yang mengajarkan ketentraman dan kesejahteraan hidup bukan dari simbol status sosial. Namun, memaknai kebahagiaan dengan selalu bersyukur kepada Tuhan.
Dianggap orang pintar
Sementara menurut sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Sri Hilmi Pujihartati, dukun identik dengan label "orang pintar". Julukan itu muncul lantaran dia dianggap mampu mengatasi segala masalah.
"Karena dukun biasanya dianggap mampu menangani segala masalah yang dihadapi masyarakat, walaupun sering kali karena kebetulan saja," ujar Hilmi kepada Kompas.com, Minggu (7/8/2022).
Menurutnya, selama dukun masih dianggap bisa dapat mengatasi masalah, maka masyarakat akan tetap percaya. Sebaliknya, jika dukun dianggap gagal dan tak dapat menangani masalah, lambat laun kepercayaan masyarakat akan memudar.
"Karena sesungguhnya masyarakat ingin cepat mengatasi masalah dengan melalui dukun, walaupun sebenarnya dukun sendiri banyak (menggunakan) trik yang menipu," tuturnya.
Kemudian pakar antropologi UNS Nurhadi menuturkan, sebutan orang pintar pada dukun merupakan bentuk penghalusan dari istilah asli. Sebab di masyarakat modern, istilah dukun cenderung memiliki konotasi yang kurang baik.
"Dianggap orang yang pergi ke dukun itu orang yang tidak maju, masih kolot, atau masih percaya takhayul," ujar Nurhadi saat dihubungi Kompas.com, Minggu (7/8/2022). "Sehingga ketika ditanya mau ke mana kamu, dia jawab mau ke orang pintar."
Meski demikian, menurutnya, penyebutan pintar juga menimbulkan persoalan karena bersifat kualitatif. "Ini juga menjadi persoalan karena istilah pintar itu kualiatif dan tidak dapat diukur dengan cara-cara yang obyektif," kata dia.
Hal tersebut serupa dengan praktik perdukunan yang bersifat kualitatif dan tak dapat dibuktikan secara ilmiah.
Nurhadi menjelaskan, perdukunan merupakan bagian dari masyarakat yang sudah ada sejak lama. Di masa lalu, dukun dipandang sebagai sosok yang dapat mengatasi masalah dalam masyarakat.
Misalnya, masyarakat tradisional yang mengalami demam sementara pelayanan medis masih belum memadai. Maka, masyarakat akan mencari bantuan kepada orang yang dianggap memiliki kelebihan dibanding lainnya, yakni dukun.
"Itu terjadi dalam masyarakat yang masih kurang dalam hal yang sifatnya scientific," ungkap Nurhadi.
Sementara pada saat ini, Nurhadi menyampaikan, keberadaan dukun tetap eksis karena sebagian masyarakat masih menjadikan mereka sebagai sandaran untuk mengatasi masalah. "Jadi, manakala manusia dihadapkan dengan masalah mereka lari kepada tiga hal. Pertama, mengatasi masalah dengan kesenian," ujar dia.
Selanjutnya, manusia akan mengatasi masalah menggunakan nalar dan ilmu pengetahuan, baik milik sendiri maupun orang lain.
Akan tetapi, saat manusia tak mampu lagi mengatasi masalah dengan cara-cara di atas, maka jalan terakhir adalah melalui dukun. Sebagai pilihan terakhir, Nurhadi menyebut bahwa penggunaan jasa dukun juga kadang berkaitan dengan kemampuan ekonomi.
"Karena mungkin dia merasa jasa medis terlalu mahal, akhirnya mereka datang kepada dukun," ungkapnya.
Meski demikian, kepercayaan terhadap dukun tak hanya terbatas pada orang dengan tingkat ekonomi maupun pendidikan rendah. "Banyak yang ke sana karena merasa banyak hal yang tidak dapat mereka jelaskan, akhirnya mereka harus ke situ (dukun)," tutur Nurhadi.
Begitulah, Sumala, meskipun berlatar masyarakat Jawa era 1940-an, adalah masih menjadi cerimanan sebagian masyarakat Indonesia kita saat ini.
Baca Juga: Kuasa Gelap Film Horor Katolik Pertama di Indonesia, Bisakah Kesurupan Dijelaskan secara Ilmiah?