Kerajaan Mataram Kuno yang Terpecah Dapat Disatukan Kembali pada Masa Pemerintahan Raja Bijaksana Ini

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Selain berhasil menyatukan kembali kerajaan Mataram Kuno yang terpecah, Rakai Pikatan juga memprakarsai pembangunan kompleks percandian yang sekarang dikenal sebagai Candi Prambanan (Wikipedia Commons)
Selain berhasil menyatukan kembali kerajaan Mataram Kuno yang terpecah, Rakai Pikatan juga memprakarsai pembangunan kompleks percandian yang sekarang dikenal sebagai Candi Prambanan (Wikipedia Commons)

Artikel ini tentang Kerajaan Mataram Kuno yang terpecah dapat disatukan kembali pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, raja keenam Medang. Semoga bermanfaat.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Sebagaimana yang berlaku pada kerajaan-kerajaan di nusantara lainnya, Kerajaan Mataram Kuno alias Kerajaan Medang yang berbasis di sekitar Jawa Tengah sekarang juga pernah mengalami perpecahan.

Untung saja, Kerajaan Mataram Kuno yang terpecah dapat disatukan kembali pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, raja keenam Medang. Bagaimana ceritanya?

Baca Juga: Faktor Penyebab Pada Masa Rakai Pikatan, Kerajaan Mataram Kuno Bersatu Kembali

Mengutip Intisari Online, Kerajaan Mataram Kuno merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara yang menganut agama Hindu-Buddha. Kerajaan ini didirikan di wilayah Jawa Tengah bagian selatan sekitar abad ke-8, lalu berpindah ke wilayah Jawa Timur sekitar abad ke-10.

Di Jawa Tengah, lokasi Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berada di Bhumi Mataram (nama lama untuk Yogyakarta). Pusat pemerintahan kerajaan ini mengalami beberapa kali pergantian hingga akhirnya sampai ke Jawa Timur.

Kerajaan Mataram Kuno juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan Medang. Pendiri Kerajaan Mataram Kuno adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya yang memerintah antara 732-760 masehi.

Kerajaan Mataram Kuno berdiri sejak tahun 732 masehi dan runtuh sekitar tahun 1007 masehi. Selama kurang lebih tiga abad memerintah, ada tiga dinasti yang bergantian berkuasa, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra (masih jadi perdebatan) dan Dinasti Isyana ketika Medang pindah ke Jawa Timur.

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno dapat ditelusuri dari prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Balitung, Prasasti Klurak, Candi Gedong Songo, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Plaosan, Candi Prambanan, dan banyak lagi.

Pada pertengahan abad ke-8, Raja Sanjaya meninggal dan digantikan oleh anaknya, Rakai Panangkaran. Setelah Rakai Panangkaran meninggal, Kerajaan Mataram Kuno mengalami perpecahan menjadi dua.

Dinasti Sanjaya memerintah Kerajaan Mataram Kuno yang berhaluan Hindu di Jawa Tengah bagian utara. Sedangkan Dinasti Syailendra memerintah Kerajaan Mataram Kuno yang berhaluan Buddha di Jawa Tengah bagian selatan.

Beruntung, pada akhirnya, Kerajaan Mataram Kuno dapat disatukan setelah Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya) menikah dengan Pramodawardhani (Dinasti Syailendra). Pramodawardhani merupakan putri dari Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa sejak 792 hingga 835 M.

Sayangnya, pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak disukai oleh Balaputradewa, anak Samaratungga dari Dewi Tara. Akibatnya, terjadi perang antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa yang saling berebut kekuasaan kerajaan.

Perang ini pun berakhir dengan kemenangan di pihak Rakai Pikatan, sehingga dia meneruskan kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Dengan demikian, penyatuan Kerajaan Mataram Kuno berhasil dilakukan di bawah pemerintahan Rakai Pikatan.

Sosok Rakai Pikatan

Seperti disinggung di awal, Rakai Pikatan adalah raja keenam Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa antara 840-856 M. Masa pemerintahannya menandai bersatunya Dinasti Sanjaya (Hindu) dan Dinasti Syailendra (Buddha), yang sebelumnya saling bersaing.

Rakai Pikatan juga dikenal sebagai raja yang mengawali pembangunan Candi Prambanan.

Nama Rakai Pikatan terdapat pada Prasasti Mantyasih yang memuat daftar para raja Mataram Kuno. Menurut Prasasti Argapura, nama aslinya adalah Mpu Manuku.

Sejarawan De Casparis meyakini bahwa Rakai Pikatan adalah putra dari Mpu Palar, keturunan Dinasti Sanjaya dan beragama Hindu Siwa. Namun pendapat ini ditolak oleh Slamet Muljana, karena berdasarkan Prasasti Gondosuli, Mpu Palar adalah seorang pendatang dari Sumatera dan semua anaknya perempuan.

Terlepas dari perdebatan asal-usulnya, Rakai Pikatan diketahui menikah dengan Pramodawardhani, putri Raja Samaratungga yang berasal dari Dinasti Syailendra dan beragama Buddha Mahayana. Pernikahan itu terjadi sebelum Raja Samaratungga turun takhta.

Pernikahan keduanya adalah momen bersatunya dua wangsa besar yang berbeda keyakinan. Tujuan Raja Samaratungga menikahkan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan adalah untuk menyatukan dua wangsa.

Setelah menikah dan mewarisi takhta Samaratungga, Pramodawardhani bergelar Sri Kahulunan. Dari pernikahannya, lahir Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.

Ternyata, seperti disebut di awal, pernikahanRakai Pikatan dan Pramodawardhani tidak disukai oleh Balaputradewa, putra Samaratungga dari Dewi Tara. Balaputradewa pun terlibat perang saudara dengan Rakai Pikatan untuk memperebutkan takhta Mataram Kuno.

Meski telah bertahan di Benteng Ratu Boko yang terbuat dari timbunan batu, Balaputradewa kalah dan memilih untuk menyingkir ke Sumatera, tanah kelahiran ibunya.

Pada akhirnya, Balaputradewa berhasil menjadi penguasa yang membawa Kerajaan Sriwijaya menuju puncak kejayaan. Namun terdapat perbedaan pendapat dari para ahli mengenai asal-usul Balaputradewa.

Menurut Slamet Muljana, Balaputradewa bukan adik Pramodawardhani, tetapi pamannya. Karena itulah kepergian Balaputradewa ke Sumatera bukan karena kalah berperang, tetapi memang dia tidak berhak atas takhta Mataram Kuno.

Perbedaan agama di antara Rakai Pikatan dan Pramodawardhani terbukti tidak menimbulkan masalah. Selama memerintah, keduanya sama-sama menjunjung toleransi beragama dan mendukung pembangunan candi bercorak Hindu maupun Buddha.

Pada 842, meresmikan Candi Borobudur yang dibangun sejak era pemerintahan Samaratungga. Karena Rakai Pikatan beragama Hindu, dia memerintahkan untuk membangun candi yang bercorak Siwa, yaitu percandian Rara Jonggrang di Prambanan, yang saat ini dikenal sebagai kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia.

Sedangkan candi kecil lainnya yang berada di kompleks Candi Prambanan dibangun pada masa raja berikutnya.

Untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak mengabaikan candi kerajaan yang dibangun oleh Rakai Panangkaran, yaitu Candi Plaosan Lor, dan untuk menjaga perasaan permaisurinya yang beragama Buddha, raja menambahkan sekurang-kurangnya dua candi perwara berupa bangunan stupa pada percandian itu.

Hal ini dapat dilihat dari tulisan pada dua bangunan stupa di kanan dan kiri jalan masuk ke candi induk sebelah utara.

Dari Prasasti Wantil diketahui bahwa masa pemerintahan Rakai Pikatan berakhir pada 856 M, dan setelah itu takhta jatuh ke tangan putra bungsunya yang bernama Dyah Lokapala.

Sebenarnya, Dyah Saladu lebih dulu diangkat sebagai putri mahkota. Akan tetapi, Dyah Lokapala yang akhirnya naik takhta karena kepahlawanannya dalam menumpas musuh ayahnya yang bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni.

Setelah turun takhta, Rakai Pikatan menjadi Brahmana dan setelah meninggal dia dimakamkan di Desa Pastika.

Begitulah ceritaKerajaan Mataram Kuno yang terpecah dapat disatukan kembali pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, raja keenam Medang. Semoga bermanfaat.

Baca Juga: Kini Jadi Ikon Wisata Yogyakarta, Ini Sejarah Candi Prambanan

Artikel Terkait