Siapa Sosok di Balik Konsep Dwifungsi ABRI yang Membuat Tentara Punya 2 Peran Sekaligus?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Abdul Haris (AH) Nasution mempunya andil besar terhadap munculnya konsep Dwifungsi ABRI. Karena dianggap bermasalah, konsep ini dihapus di masa Gus Dur (Wikipedia Commons)
Abdul Haris (AH) Nasution mempunya andil besar terhadap munculnya konsep Dwifungsi ABRI. Karena dianggap bermasalah, konsep ini dihapus di masa Gus Dur (Wikipedia Commons)

Siapa sosok di balik Dwifungsi ABRI yang membuat tentara punya dua peran sekaligus, dialah Abdul Haris Nasution alias AH Nasution. Karier militer Nasution merentang sejak masa Perang Dunia II.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Meski telah dihapuskan sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dwifungsi ABRI terlihat mau muncul lagi (atau dimunculkan lagi?).

Apa saja indikatornya? Kita bisa melihatnya dari adanya perwira-perwira aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil di pemerintahan Indonesia saat ini.

Baca Juga: Dalam Kekaryaan ABRI, Makna Konsep Dwifungsi ABRI Adalah Berikut Ini

Lalu siapa sosok di balik Dwifungsi ABRI yang memungkinkan tentara punya dua peran sekaligus itu?

Mengutip Kompas.com, Dwifungsi ABRI merupakan sebuah konsep dan kebijakan politik yang mengatur tentang fungsi ABRI (sekarang TNI) dalam tatanan kehidupan bernegara. Dwifungsi ABRI memiliki arti bahwa ABRI memiliki dua fungsi: sebagai kekuatan militer Indonesia dan fungsi sebagai pemegang kekuasaan dan pengatur negara.

Kebijakan Dwifungsi ABRI berlaku pada masa pemerintahan Orde Baru. Dalam buku Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI (1984) karya Arifin Tambunan dan kawan-kawan, pada masa Orde Baru ABRI berperan ganda sebagai penggerak dan penstabil kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penerpan konsep Dwifungsi ABRI tidak dapat terlepas dari sejarah perkembangan organisasi militer Indonesia. Setelah proklamasi, para perwira militer merasa memiliki hak yang sama dengan masyarakat sipil dalam hal penentuan kebijakan dan pelaksanaan bina negara.

Dalam "Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial Politik tahun 1966-1998" (2016) karya D.W Firdaus, konsep Dwifungsi ABRI pada masa pemerintahan Orde Baru berawal dari gagasan A.H Nasution yang disebut dengan konsep jalan tengah.

Konsep jalan tengah merupakan sebuah konsep yang menginginkan militer berperan sebagai alat pertahanan keamanan negara sekaligus berpartisipasi dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Pada perkembangannya, konsep jalan tengah A.H Nasution diterapkan oleh Soeharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI. Kebijakan Dwifungsi ABRI sebenarnya telah diterapkan pada awal Orde Baru, namun baru dilegalkan oleh Soeharto pada tahun 1982 melalui Undang-Undang nomor 20 tahun 1982.

Penerapan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia.

Melalui kebijakan Dwifungsi ABRI, ABRI berhasil melakukan dominasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif Orde Baru. Mulai tahun 1970-an, banyak perwira aktif ABRI yang ditunjuk sebagai DPR, MPR maupun DPD tingkat provinsi.

Selain itu, para ABRI juga menempati posisi yang penting dalam pengendalian arah politik dari organisasi Golkar.

Pada perkembangannya, pelaksanaan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru mengalami penyimpangan oleh Soeharto dan beberapa oknum militer. Keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik yang semakin mendalam mengakibatkan militer berubah menjadi alat kekuasaan rezim untuk melakukan pembenaran atas kebijakan pemerintah.

Dibubarkan Gusdur

Masih menurut Kompas.com, TNI yangturut memegang kekuasaan negara membuat demokrasi terkikis. Namun dalam kekuasaan yang dipegang militer ini kerap terjadi pelanggaran HAM serhingga sering terjadi kerusuhan.

Militer yang memegang senjata dianggap terlalu keras saat mencampuri urusan sipil negara. Dwifungsi ABRI perlahan mulai dihapuskan seiring dengan runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto.

Akhirnya, Dwifungsi ABRI dihapuskan pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan cara mereformasi TNI. Hingga pada rapat pimpinan ABRI di tahun 2000, para pemimpin sepakat untuk menghapus dwifungsi ABRI yang perlahan mulai diberlakukan pada Pemilu 2004 dengan harapan semuanya sudah selesai pada Pemilu 2009.

Sosok di balik Dwifungsi ABRI

Berbicara tentang sosok di balik Dwifungsi ABRI berarti berbicara tentang Abdul Haris (AH) Nasution. Nasution lahir di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Sumatera Utara, pada 3 Desember 1918.

Dia adalah anak kedua dari pasangan H. Abdul Halim Nasution dan Hj. Zaharah Lubis. Ayahnya adalah seorang pedagang tekstil, karet, kopi, dan merupakan anggota dari Sarekat Islam.

Jadi jangan heran bila Pak Nas, panggilan akrabnya, tumbuh dalam keluarga yang sangat taat beragama Islam. Sewaktu kecil, dia mengenyam pendidikan dasar di kampung halamannya di Hutapungkut.

Ayahnya sebenarnya ingin Nasution kecil belajar di sekolah agama, sementara sang ibu ingin dia belajar kedokteran di Batavia. Namun dua keinginan orangtua itu tak tercapai, Nasution mendapat beasiswa untuk belajar mengajar di Sekolah Raja Bukittinggi (sekarang SMAN 2 Bukittinggi) pada 1932.

Tiga tahun kemudian, 1935, Nasution pindah ke Bandung dan melanjutkan sekolahnya. Awalnya, Nasution memang memiliki keinginan untuk menjadi guru.

Tapi seiring berjalannya waktu, keinginan tersebut kian lama kian menghilang. Nasution justru tertarik mengabdi sebagai prajurit. Kendati begitu, Nasution tetap menjadi guru setelah lulus pada 1937. Dia sempat mengajar di Bengkulu serta Palembang.

Perjalanan karier Nasution di militer dimulai pada1940, ketika Jerman Nazi menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima rakyat pribumi.

Nasution pun ikut bergabung, karena ini merupakan kesempatan baginya bisa mendapat pelatihan militer. Dia lalu dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk memulai pelatihan.

Berkat kepiawaiannya, pada bulan September 1940, Nasution dipromosikan menjadi kopral dan tiga bulan setelahnya menjadi sersan. Lalu, ia menjadi seorang perwira di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).

Pada 1942, ketika Jepang menduduki Indonesia, Nasution ditugaskan di Surabaya untuk menjaga pelabuhan di sana. Setelah proklamasi, Nasution bergabung ke dalam militer Indonesia yang dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Setahun kemudian, tepatnya pada 1946, Nasution diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang bertugas menjaga keamanan di Jawa Barat. Karier Nasution di bidang militer pun terus mengalami perkembangan.

Dua tahun kemudian, Nasution kembali naik pangkat menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Pada 23 Maret 1946, terjadi peristiwa Bandung Lautan Api yang menjadi wujud nyata pejuang Indonesia melawan Sekutu. Dalam peristiwa ini, Nasution juga ikut terlibat dengan memerintahkan masyarakat untuk segera mengosongkan Kota Bandung.

Tujuan Kolonel AH Nasution memerintahkan rakyat mengosongkan dan membumihanguskan Kota Bandung adalah agar pasukan Sekutu tidak bisa memanfaatkan fasilitas dan sarana di Kota Bandung.

Pada 23 Maret 1946, pukul 21.00 WIB, gedung pertama yang dibakar adalah Bank Rakyat. Selanjutnya pembakaran tempat-tempat seperti Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegalega, serta asrama Tentara Republik Indonesia (TRI).

Meskipun hanya sebagai wakil, Nasution banyak berperan dalam mengambil keputusan, karena saat itu Jenderal Soedirman kerap jatuh sakit. Salah satu hal yang pernah dia lakukan adalah ketika Peristiwa Madiun terjadi pada September 1948.

Ketika itu Madiun diambil alih oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Kabar ini pun terdengar sampai ke markas TKR di Yogyakarta. Kemudian, diadakanlah sebauh pertemuan untuk mengatasi peristiwa ini.

Soedirman sendiri ingin menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa ada kekerasan. Dia pun mengirim Letnan Kolonel Soeharto untuk menegosiasikan kesepakatan bersama Amir dan Musso.

Setelah selesai, Soeharto melapor kepada Soedirman dan Nasution bahwa kondisi saat itu sudah terbilang aman. Namun, Nasution masih merasa curiga, sementara saat itu Soedirman sedang sakit.

Sebagai hasilnya diamemutuskan mengambil tindakan keras dengan mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan di Madiun, Jawa Timur. Akhirnya, tanggal 30 September, pasukan Divisi Siliwangi berhasil merebut kembali Madiun.

Masih di tahun yang sama, tepatnya tanggal 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II terjadi di Yogyakarta. Akibatnya, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan Perdana Menteri Syahrir ditawan oleh Belanda.

Dalam situasi pelik ini, Nasution mengumumkan pembentukan Pemerintahan Militer Indonesia, yang menjadi cikal-bakal lahirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Nasution diberi posisi sebagai Komandan Angkatan Darat dan Teritorial Jawa selama pemerintahan sementara ini berlangsung. Setelah Belanda bersedia mengakui kedaulatan Indonesia, PDRI mengembalikan kekuasaan mereka kepada Presiden Soekarno dan Hatta.

Nasution pun kembali ke jabatan semula sebagai Wakil Panglima Jenderal Soedirman.

Pada 1 Oktober 1965, terjadi peristiwa penculikan tujuh perwira Angkatan Darat yang disebut sebagai Gerakan 30 September atau G30S. Nasution pun menjadi salah satu target untuk diculik oleh para pelaku yang juga tentara.

Yang bertugasmemimpin penangkapan Nasution adalah Letnan Doel Arief dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil. Pukul 04.00 pagi, mereka berusaha masuk ke kediaman rumah Nasution secara diam-diam.

Sekitar 15 tentara dikirim masuk ke dalam rumah. Mereka mengira Nasution pasti sudah terlelap. Namun, ternyata ia masih terjaga bersama istrinya.

Nasution sendiri tidak mendengar ada suara apapun. Sementara istrinya mengatakan bahwa ia mendengar ada suara pintu yang dibuka paksa. Istri Nasution pun segera bangun untuk memeriksa.

Begitu dia membuka pintu kamar, ia melihat tentara Cakrabirawa sudah berdiri di sana dan mengarahkan senjata siap menembak. Otomatis sang istri langsung menutup pintu sembari berteriak.

Nasution pun langsung mencoba melarikan diri bersama sang istri melalui pintu lain dan menyusuri koridor pintu samping rumahnya. Selama Nasution berusaha menyelamatkan diri, beberapa peluru sudah ditembakkan.

Hasilnya seluruh penghuni rumah ikut terbangun dan ketakutan mendengar suara tembakan tersebut. Ibu dan adik Nasution, Mardiah, yang juga tinggal di dalam rumah tersebut langsung berlari ke kamar tidur Nasution.

Mardiah berlari dengan membawa putri Nasution yang masih berusia lima tahun bernama Irna. Keduanya mencoba untuk bersembunyi di sebuah tempat yang aman, tetapi saat sedang berlari seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya.

Irma pun terkena tembak sebanyak 3 kali di bagian punggungnya. Lima hari kemudian, Irma dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit. Sementara itu, Nasution berhasil lolos dari kejaran para tentara yang hendak menangkapnya.

Nasution langsung bergegas mengambil tindakan untuk mengatasi hal ini. Pada akhirnya, pukul 06.00 tanggal 2 Oktober 1965, G30S berhasil diatasi.

Setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dia memerintahkan penangkapan 15 menteri yang dianggap sebagai loyalis Soekarno pada 18 Maret 1966. Akibatnya, posisi ketua MPRS yang sebelumnya dipegang Chairul Saleh mengalami kekosongan, karena ia ikut tertangkap.

Nasution pun ditunjuk untuk menduduki posisi tersebut pada periode 1966-1972.

Abdul Haris Nasution wafat pada 6 September 2000 di Jakarta setelah menderita penyakit stroke dan koma. Jasadnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Untuk mengenang jasanya, AH Nasution diberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Baca Juga: Peranan ABRI pada Masa Kepemimpinan Soeharto, Punya Dwifungsi

Artikel Terkait