Liem Koen Hian, Peranakan Tionghoa yang Jadi Pesakitan di Tiga Zaman

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Liem Koen Hian. Pada zaman kolonial dia pernah ditahan. Rezim Orde Lama juga memenjarakannya. Sedangkan Orde Baru melenyapkan namanya dari catatan sejarah (Dok Intisari)
Liem Koen Hian. Pada zaman kolonial dia pernah ditahan. Rezim Orde Lama juga memenjarakannya. Sedangkan Orde Baru melenyapkan namanya dari catatan sejarah (Dok Intisari)

[EDISI IMLEK]

Pada zaman kolonial dia pernah ditahan. Rezim Orde Lama juga memenjarakannya. Sedangkan Orde Baru melenyapkan namanya dari catatan sejarah.

Penulis: Cahyo Widyasmoro untuk Majalah Intisari edisi Februari 2022

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Acara di Monash University, Melbourne, yang digelar 1-3 Oktober 2019 itu bertajuk International Conference of Chinese Indonesian. Sesuai namanya, acara berisikan diskusi panel oleh sekitar 50 pembicara dari berbagai negara itu fokus membicarakan tentang peranakan Tionghoa dari berbagai perspektif: sejarah, budaya, politik, ekonomi, dsb.

Konferensi itu jadi menarik karena di sela-sela perhelatan ada penyampaian petisi dari para sejarawan Indonesia kepada Pemerintah RI yang diwakili Dirjen Kebudayaan, Dr. Hilmar Farid. Isinya permintaan agar pemerintah merevisi buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) khususnya pada bagian peran golongan Tionghoa pada Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

SNI yang notabene buku sejarah resmi pemerintah, pada edisi 1 dan 2 (tahun 1975 & 1977) kalimat tentang keberadaan empat orang wakil golongan Tionghoa di BPUPKI masih tercantum. Merekalah wakil etnis Tionghoa dari 63 orang anggota BPUPKI. Selain Tionghoa, ada juga satu wakil dari etnis Arab dan satu wakil keturunan Belanda.

Akan tetapi sejak SNI edisi 4 (1984) cetakan ke-8 (1993), nama-nama tersebut lenyap. Bahkan kalimat pengganti pada baris kalimat itu malah mengaburkan sejarah karena diganti menjadi “4 orang wakil dari golongan Arab”. Sedangkan keberadaan golongan Tionghoa sama sekali tidak disebut.

Kenyataan ini membuat kaum keturunan Tionghoa prihatin. Apalagi pembelokan sejarah ini rupanya masih tetap berlangsung hingga SNI edisi revisi (1993), bahkan SNI edisi Reformasi Cetakan IV (2010) yang disebut-sebut memiliki semangat pelurusan sejarah era Orde Baru.

Bertahun sejak petisi disampaikan, nasibnya belum jelas. Didi Kwartanada, salah satu sejarawan yang hadir di Monash, mengaku belum mendengar lagi kelanjutannya.

“Apalagi sejak pergantian kabinet, menteri pendidikan menghapuskan direktorat sejarah,” kata Didi. “Ditambah pandemi pula.”

Bagi kaum peranakan Tionghoa, keberadaan empat nama wakil di BPUPKI merupakan bukti sejarah peran golongan Tionghoa dalam mendirikan NKRI. Mereka adalah Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Mr. Tan Eng Hoa.

Dari keempat nama, Liem Koen Hian jadi sosok paling menonjol. Keterlibatannya dalam pergerakan kebangsaan sudah dimulai sejak dia mendirikan Partai Tionghoa Indonesia pada 1932.

Rasa nasionalismenya banyak dipengaruhi dari pergaulannya dengan tokoh-tokoh pergerakan bumiputera seperti dr. Tjipto Mangunkusumo, Amir Sjarifuddin, Mohammad Yamin, Sanoesi Pane, dll.

Berpindah-pindah media

Karakter Liem sudah menonjol sejak masih bersekolah di Hollandsch-Chineesche School (setingkat Sekolah Dasar) di Banjarmasin. Dia memang dikenal sebagai anak yang teguh berprinsip.

Karena sikap itu pula suatu kali dia menantang gurunya berkelahi. Hasilnya Liem dikeluarkan dari sekolah.

Kiprah Liem sebenarnya lebih banyak di dunia jurnalistik. Namun sebelum jadi wartawan dia sempat bekerja menjadi juru tulis di kantor Shell, Balikpapan.Karier jurnalistiknya baru dimulai di surat kabar Penimbangan yang terbit di kota kelahirannya.

Sepanjang karier, Liem banyak malang melintang di beberapa media massa di berbagai kota. Menjelang Perang Dunia I tahun 1914, dia masuk majalah Tjhoen Tjhioe yang terbit di Surabaya.

Bahkan pembimbingnya adalah Tjan Kiem Bie, jurnalis senior saat itu. Pada 1917 Liem keluar dan mendirikan Soe Liem Poo yang kemudian malah bangkrut.

Setelah sempat tinggal di Aceh untuk berdagang, Liem akhirnya jadi pemimpin redaksi di Sinar Soematra di Padang, sejak Desember 1918. Di koran inilah sikap kritis Liem terhadap pemerintah kolonial Belanda mulai tumbuh.

Dia mengkritik pemerintah yang selalu menyatakan bahwa warga Tionghoa adalah pengikut Belanda.

Sikap kritis Liem kala itu sangat dipengaruhi gerakan nasionalisme dr. Sun Yat Sen yang antara lain menyatakan bahwa orang Tionghoa di luar negara adalah warga negara Tiongkok. Dia juga terlibat dalam aksi protes yang dimotori koran Sin Po, berisi tanda tangan 30 ribu warga Tionghoa.

Sikap kritis Liem berlanjut saat dia pindah ke Surabaya dan jadi pemimpin redaksi Pewarta Soerabaia, pada 1921. Dengan dukungan sang pemilik, The Sian King, tulisan-tulisan Liem semakin tajam menyerang pemerintah.

Namun akibatnya koran itu malah sepi iklan dari perusahaan-perusahaan Belanda.

April 1925 Liem bergabung dengan surat kabar Soeara Poebliek di mana dia direktur pertamanya. Sampai tahun 1929 baru Liem pindah ke Sin Jit Po atau “harian baru”.

Sayangnya koran ini berperkara masalah penghinaan dan tidak sanggup bayar denda. Namanya pun berubah jadi Sin Tit Po atau “harian independen”, di mana Liem jadi pemimpin redaksi sampai 1932.

Bikin partai

Selama pengembaraannya di berbagai media, sikap kritis Liem juga kian terasah. Saat di Soeara Poeblik dia mulai mengembangkan gagasan Indisch Burgerschap yang berarti Hindia Belanda adalah tanah air peranakan Tionghoa.

Di Sin Tit Po gagasannya direvisi jadi Indonesierschap atau nasionalisme Indonesia.

Meski awalnya lebih condong ke Tiongkok, perlahan-lahan rasa nasionalisme Liem mulai mengental terhadap Indonesia. Sikap itu tumbuh terutama karena kedekatannya dengan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang dianggap sebagai guru politiknya.

Gagasan Indonesierschap pun terus digulirkannya di Sin Tit Po, bahkan lewat penulis dari berbagai etnis. Salah satunya Abdurrahman Baswedan yang keturunan Arab.

Liem terus menggelorakan semangat nasionalisme meski dia harus berseberangan dengan tokoh-tokoh di golongannya sendiri. Misalnya dengan Sin Po yang dianggapnya hanya memperjuangkan peranakan Tionghoa agar sama kedudukannya dengan bangsa Eropa.

Begitu pula dengan Chung Hua Hui, organisasi pedagang peranakan dan kaum intelek Tionghoa yang berpendidikan Belanda.

Pertentangan itulah yang memunculkan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Liem menggagasnya saat memberi ceramah umum tentang politik peranakan di Surabaya, 23 Agustus 1932. Ada pro-kontra, terutama karena ketakutan peranakan Tionghoa bakal terlibat dalam perang politik.

Partai pertama peranakan Tionghoa itu berdiri sebulan kemudian. Liem ketuanya. Meski eksklusif hanya untuk peranakan Tionghoa, partai bertujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Perkembangannya juga pesat. Enam bulan, sudah ada 11 cabang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sayangnya pada 1939, PTI pecah gara-gara pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat).

Liem berniat maju mencalonkan diri. Sementara Ko Kwat Tiong yang sudah menjabat sejak 1935 tidak dicalonkan kembali.

Karena perseteruan ini keduanya malah sama-sama tidak terpilih. Liem yang mutung keluar dari PTI dan bergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang dipimpin Amir Sjarifuddin.

Didi Kwartanada mencatat, masuknya Liem ke Gerindo tak lain karena cuma partai kecil itu yang mau menerima golongan peranakan. Partai-partai kebangsaan saat itu hanya eksklusif untuk bumiputera.

“Dari kurun waktu 1908 sampai 1942 ketika Jepang datang, hanya tiga organisasi yang membuka pintu bagi peranakan, yaitu Indische Partij, Partai Komunis Indonesia, dan Gerindo,” tutur sejarawan independen ini.

Tatanan politik itulah yang akhirnya membagi golongan peranakan Tionghoa menjadi tiga aliran. Pertama, aliran “Sin Po” yang pro-Tiongkok. Kemudian Chung Hua Hui yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda. Serta PTI yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Ditahan gara-gara sepakbola

Bukan hanya lewat ketajaman pena, perjuangan Liem juga diwujudkan dalam aksi di lapangan. Betul-betul di lapangan!

Tepatnya lapangan sepak bola Pasar Turi Surabaya, yakni turnamen sepak bola bumiputera dan peranakan. Menariknya, acara yang digelar 13-16 Mei 1932 itu adalah acara tandingan dari Stedenwedstrijden atau turnamen sepakbola pemerintah kolonial.

Kenekatan Liem dipicu tulisan Bekker, seorang wartawan olahraga di D’Orient edisi 2 April 1932. Didasari sikap rasis, Bekker menulis kalau sepakbola sesungguhnya adalah hak istimewa orang kulit putih.

Parahnya, sebagai pengurus organisasi sepakbola Belanda, dia juga melarang wartawan bumiputera dan peranakan meliput Stedenwedstrijden karena pasti hanya akan ditulis yang jelek-jelek saja.

Merasa direndahkan, Liem membalas dengan ajakan memboikot turnamen dan menggelar turnamen sendiri. Rupanya surat kabar Soeara

Oemoem milik Persatuan Bangsa Indonesia yang dipimpin dr. Soetomo, menyambutnya.

Surat kabar peranakan Arab, Al Jaum juga ikut menyebarkan isu boikot. Ajakan ini bahkan diumumkan juga di surau-surau.

Liem sendiri bergerak di Nan Yang Societeit, sebuah gedung pertemuan yang sekaligus pusat hiburan, arena permainan judi, sekaligus kursus keterampilan para pemuda setempat. Dalam rapat-rapat di Nan Yang, hadir 48 organisasi pemuda dan pergerakan di Surabaya.

Turnamen akhirnya sukses digelar, diikuti enam kesebelasan yakni SIVB (cikal bakal Persebaya Surabaya), Indonesische Marine XI, PIVB XI, Chineesch XI, Arabisch XI, dan Poetra Maloeka XI. Sementara turnamen sepakbola kulit putih malah sepi penonton. Panitia merugi.

Aksi nekat ini yang membuat Liem berurusan dengan Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda. Acara turnamen belum kelar, dia masuk tahanan.

Namun berkat telegram dari PBI dan Presiden Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia, Hoesni Thamrin, kepada pemerintah Hindia Belanda, Liem bebas dua hari kemudian.

Sejak aksi yang disebutnya “kemenangan bangsa kulit berwarna”, Liem merasa arah perjuangannya sudah tepat. Dia berharap, kerukunan antargolongan selama turnamen, jangan cuma sementara.

“Biarlah akan tinggal terus juga di hari-hari yang akan datang, buat keselamatan bangsa berwarna sendiri,” tulisnya di Sin Tit Po.

Pilih mundur saja

Kiprah Liem selanjutnya adalah saat dia menjadi satu dari empat wakil peranakan Tionghoa di BPUPKI. Selain Liem, tiga nama lain adalah Oey Tiang Tjoei, pemimpin surat kabar Hong Po; Oei Tjong Hauw, ketua partai kaum peranakan Tionghoa Chung Hua Hui; dan Mr. Tan Eng Hoa, sarjana hukum asal Semarang.

Dalam rapat BPUPKI, pembicaran krusial adalah pembahasan Rancangan UUD soal status warga negara. Liem berpendapat, orang Tionghoa yang lahir dan tinggal di Indonesia saat negara Indonesia dideklarasikan, otomatis jadi warga negara.

Baru setelah itu mereka diberi kebebasan mempertahankan atau menolak status tersebut.

Liem juga kecewa karena definisi warga negara Indonesia di Bab IX Pasal 26 rancangan konstitusi: “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.”

Tentu saja pemikiran ini memicu perdebatan.

Salah satu perumus konstitusi yakni Supomo berpendapat, kalau semua penduduk Tionghoa dan Arab otomatis jadi warga negara, bisa terjadi kewarganegaraan ganda. Karena dia tidak bisa memastikan bagaimana sikap negara asalnya terhadap warganya yang merantau.

Liem bahkan ditentang rekan-rekannya sendiri, Oey Tiang Tjoei dan Oei Tjong Hauw.

Keduanya tidak setuju peranakan Tionghoa otomatis jadi warga negara karena masih banyak warga Tionghoa yang memegang teguh asal-usulnya. Peranakan Tionghoa harus diberi kesempatan mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok.

Merasa bertentangan dengan perjuangannya selama ini, Liem pilih mundur. Dia merasa adanya Pasal 26 di rancangan UUD, maka statusnya bukanlah rakyat Indonesia.

“Sebagai itu tidak selayaknya saya turut duduk dalam Badan Penyelidik, yang semestinya terdiri dari putra-putra Indonesia saja,” tulis Liem dalam surat bertanggal 16 Juli 1945.

Setelah dari BPUPKI, Liem masih aktif berpolitik. Antara lain mewakili Indonesia dalam perundingan Renville, Desember 1947. Liem masuk dalam delegasi yang dipimpin Amir Sjarifuddin.

Perjanjian Renville ditandatangani 17 Januari 1948. Akhir 1949, Konferensi Meja Bundar mengakui kedaulatan Indonesia.

Menariknya, perjanjian itu antara lain menyepakati bahwa orang Tionghoa yang lahir di Indonesia otomatis memperoleh kewarganegaraan Indonesia, kecuali menolaknya.

Batas akhir penolakan adalah 27 Desember 1951. Hasilnya 390 ribu orang Tionghoa tidak mau menjadi WNI.

Dalam situasi tak menentu itu, Liem tetap mempropagandakan semangat nasionalisme di kalangan peranakan Tionghoa. Dia membentuk partai politik Persatuan Tenaga Indonesia, bersama beberapa orang bumiputera, pada 26 Februari 1950.

Namun gagasan-gagasannya tidak laku di kalangan kaum peranakan Tionghoa karena situasi saat itu.

Menjadi martir

Peristiwa yang mengubah jalan hidup Liem justru terjadi setelah era Pengakuan Kedaulatan RI. Pada masa kabinet dipimpin Perdana Menteri Soekiman yang dikenal antikomunis, Liem terjaring dalam sebuah razia pada 16 Agustus 1951.

Tanpa pengadilan, Liem harus mendekam di Penjara Cipinang selama dua bulan sampai 29 Oktober 1951. Saat itu Liem bukan hanya menderita sakit secara fisik karena usia dan penyakit, dia juga sakit hati luar biasa.

Terutama saat dia mencoba meminta tolong sahabat-sahabat lamanya untuk menolong keluar dari penjara, namun ternyata tidak direspons.

Salah satu rekan yang dikontak adalah Achmad Soebardjo, kala itu menjabat menteri luar negeri pertama RI. Padahal Liem merasa sudah banyak membantu Soebardjo semasa perang. Baik saat melarikan diri, butuh pekerjaan, atau saat ada di dalam penjara.

“Dia merasa bahagia ketika dipenjarakan Belanda. Tapi saat dia dipenjara oleh bangsa yang dia perjuangkan eksistensinya, dia sakit hati sekali,” kata Didi mengutip perkataan dari keponakan Liem kepada majalah Tempo.

Akibat rasa sakit hatinya, Liem jadi semakin bersimpati kepada gerakan kiri. Apalagi setelah Republik Rakyat Tiongkok berdiri, 1 Oktober 1949.

Liem juga menerjemahkan Chungking dan Yenan buku yang bersimpati kepada Mao Zedong. Rumor yang berembus Liem sudah jadi warga negara RRT.

Perihal rumor ini, Didi mengutip surat Tjoa Tjie Liang, rekan kerja dan sahabat Liem di Sin Tit Po, kepada Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa tahun 1960-an. Tjoa bilang Liem hatinya jujur dan tidak suka diragukan niat baiknya.

Dia memang tempramental. Jadi dia jengkel ketika ditangkap tanpa diadili. Apalagi banyak rekannya di PTI belakangan banyak mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pemerintah.

Didi sendiri melihat, Liem memang agak nakal. Misal ketika negara RRT berulang tahun, bendera RRT dipasangnya di depan rumah. Pantaslah jika orang-orang heboh.

“Jadi kesimpulannya saya juga tidak tahu (soal warga negara itu),” tutur Didi dalam acara “Webinar Liem Koen Han: Bapak Bangsa Yang Ditolak” pada 17 Agustus 2020.

Meski jadi pertanyaan orang-orang sekitar, Liem selalu mengatakan jangan meniru-niru langkahnya. Kaum peranakan Tionghoa Indonesia sebaiknya tetap jadi WNI.

Cukup dia saja yang menjadi martir, karena sudah merasa berdarah-darah, tapi tidak diperlakukan layak di masa Indonesia merdeka.

Izin dari Soekarno

Setelah tidak lagi berpolitik, Liem menekuni bisnis obat-obatan dengan mendirikan apotek bernama Kalimantan. Kabarnya dia mendatangkan obat-obatan dari luar negeri untuk dikemas ulang dan dijual di berbagai tempat.

Jaringan bisnis Liem cukup besar, antara lain di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Banjarmasin. Bisnis Liem bisa maju karena hampir tak ada saingan.

Izin usahanya juga khusus diberikan oleh Presiden Soekarno agar Liem punya uang. Namun tetap saja menurut salah satu keponakan Liem, pamannya itu masih sering bokek. Tagihan listrik rumah, sering minta dibayari adiknya.

Kehidupan pribadi Liem malah jarang terekspos. Dia menikah dengan Sho Kiem Lian namun tidak ada anak kandung.

Didi mengungkap, ada anak angkat bernama Christine yang meninggal sekitar tahun 2018 di Panti Wreda Kristen Hana di Tangerang. “Sayangnya saya tidak sempat mewawancarainya,” kata Didi.

Sehari setelah berulangtahun ke-56, pada 4 November 1952, mendadak Liem meninggal dunia. Kala itu dia sedang berada di Medan untuk melihat salah satu apoteknya di daerah Kesawan.

Kabarnya dia meninggal setelah sempat berpesta dan minum wine. Tiga hari setelah meninggal, Liem dimakamkan di Pekuburan Kwang Tung di Jalan Dr. Sutomo, Medan.

Namun saat ini area pemakaman sudah tidak ditemukan. Masyarakat sekitar juga tidak ingat lagi di manakah letak persisnya makam tersebut.

Jejak Liem Koen Hian sudah benar-benar hilang.

Artikel Terkait