[EDISI IMLEK]
Koran ini menjadi simbol perjuangan dan inovasi pada masanya. Pemerintah Hindia Belanda bahkan menyebutnya sebagai koran “Ultra–Nasionalis” yang dapat membahayakan kolonialisme Belanda. Ironisnya, kuburan koran ini bukan di tangan pemerintah kolonial tapi di tangan bangsa sendiri.
Penulis: Wentina Magdalena S untuk Majalah Intisari edisi Februari 2022
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Tidak banyak buku yang membahas pers Tionghoa di Indonesia. Beberapa sumber penulisan tentang topik ini juga terbatas.
Dua buah buku penting untuk membahas topik ini di antaranya karya Leo Suryadinata yang berjudul Peranakan Chinese Politics in Java (1976) dan buku Ahmat Adam The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1995).
Dan baru-baru ini terbit juga buku karya Isnaini Nur Amalina berjudul Pewarta Soerabaia: Surat Kabarnya Masyarakat Tionghoa di Surabaya (2021). Namun terlepas dari karya-karya itu, bisa dibilang kajian terhadap pers Tionghoa masih belum banyak dilakukan.
Padahal, seperti dikutip dalam buku Tionghoa Dalam Keindonesiaan yang disunting Leo Suryadinata dan Didi Kwartanada, partisipasi orang Tionghoa peranakan di dunia pers berbahasa Melayu sudah dimulai tahun 1869 ketika Lo Tun Tay menjadi editor surat kabar dwimingguan Mataharie, yang diterbitkan percetakan Bruining & Wijt di Batavia.
Sebelumnya, orang-orang Tionghoa tercatat sudah terlibat aktif dalam menulis surat atau mengirim artikel kepada editor dari surat kabar yang dikelola orang Belanda. Rata-rata orang Tionghoa kala itu memanfaatkan surat kabar untuk mempromosikan barang jualan mereka, selain juga memperoleh kabar terbaru mengenai harga barang-barang di pasaran.
Mereka juga memanfaatkan surat kabar untuk memperoleh kabar terbaru mengenai situasi yang terjadi di kampung halaman mereka di Tiongkok. Lambat laun, masyarakat Tionghoa menyadari surat kabar juga memiliki fungsi sebagai media untuk menyalurkan aspirasi dan kritik mereka terhadap berbagai kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang dianggap diskriminatif.
Asal muasal pers Tionghoa peranakan
Menjamurnya pers Tionghoa di Indonesia masa kolonial, sejatinya, tidak dapat dipisahkan dari kehadiran perkumpulan Tionghoa bernama Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang didirikan pada 17 Maret 1900 di Batavia.
Perkumpulan ini didirikan oleh para pedagang dan jurnalis Tionghoa yang bertujuan untuk mempromosikan ajaran Konfusianisme sekaligus budaya-budaya Tionghoa.
Pendirian perhimpunan ini secara tidak langsung mempengaruhi nasionalisme para priyayi Bumiputera akan identitas mereka sehingga membentuk wadahnya sendiri, yakni seperti Budi Utomo dan Serikat Dagang Islam.
Dalam Skripsi berjudul “Peranan Pers Tionghoa Peranakan di Surabaya Dalam Pergerakan Nasional 1902-1942” yang ditulis Saripa Haini Junita Asmadi, keberadaan perhimpunan ini mendorong pendirian sekolah–sekolah berbahasa Tionghoa (Tiong Hoa Hak Tong) di seluruh Jawa.
Kemudian disusul dengan munculnya surat-surat kabar Tionghoa peranakan dalam bahasa Melayu Tionghoa yang dikelola oleh orang Tionghoa peranakan seperti Li Po (Sukabumi), Chabar Perniagaan (Batavia), Pewarta Soerabaia (Surabaya), Djawa Tengah (Semarang), dan Sin Po (Batavia).
Dicatat dalam Tionghoa dalam Keindonesiaan, Li Po didirikan oleh Tan Ging Tiong dan Ijoe Tjai Siang pada 1901, yang memuat banyak artikel tentang ajaran Khonghucu. Setahun kemudian, di Surakarta Tan Soe Djwan mendirikan mingguan Sien Po.
Pada tahun yang sama Sie Dhian Ho mendirikan Taman Pewarta dan Lo Swie Tek mendirikan Loen Boen. Tahun 1903, surat kabar Pewarta Soerabaia muncul di Surabaya, kemudian Chabar Perniagaan di Batavia, dan Ho Po di Sukabumi.
Setahun kemudian Tjoa Tjoe Kwan dari Surakarta meluncurkan mingguan Ik Po.
Sedangkan informasi perkembangan pers Tionghoa peranakan di luar Jawa masih terbatas. Di Manado, Sulawesi Utara, sekitar tahun 1920-1940-an ada dua surat kabar yang dikenal kala itu, Tong Pao dan Keng Hwa Po. Di Ambon ada Baba Ong Kie Hong yang mendirikan Penghentar.
Di Padang, Sumatera Barat, Lie Bian Goan menerbitkan Sinar Terang. Kemudian masih ada lagi surat kabar lainnya seperti Hoa Po, Radio, Warta Perniagaan, serta Seng Po yang rata-rata memberitakan perubahan di Tiongkok.
Di masa-masa kehadiran media pers Tionghoa peranakan, ada tiga golongan besar orientasi yang mempengaruhi dinamika pers kala itu yang tertulis dalam Tionghoa Dalam Keindonesiaan. Yaitu:
- Mereka yang berorientasi pada nasionalisme Tiongkok seperti Sin Po, Keng Po, atau Li Po.
- Berorientasi pada pemerintah Hindia Belanda seperti Chabar Perniagaan.
- Berorientasi pada nasionalisme Indonesia, seperti Sin Tit Po.
Dalam “Peranan Pers Tionghoa Peranakan di Surabaya Dalam Pergerakan Nasional 1902-1942” oleh Saripa Haini Junita Asmadi, Sin Tit Po menjadi corong suara dari Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang berorientasi pada nasionalisme Indonesia.
PTI menginginkan tiap individu Tionghoa peranakan tetap mempertahankan etnisnya tetapi secara politik terasimilasi ke dalam masyarakat pribumi.
Mereka menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan menanamkan dirinya sebagai Indonesier (Orang Indonesia), menuntut persamaan hak dan kewajiban dengan orang pribumi, mau berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, dan percaya nasib mereka terikat dengan nasib orang pribumi.
Rasa senasib ini dituliskan juga oleh salah satu jurnalis Sin Po, Ang Yan Goan, “Setelah aku terjun dalam bidang pers, aku baru menyadari bahwa warga Tionghoa dan warga Indonesia sama-sama mengalami perlakuan tidak adil dan diskriminasi. Kami seharusnya bersimpati dan tolong-menolong,” seperti dikutip dalam Memoar Ang Yan Goan.
Koran baru
Dari keseluruhan media yang hadir, salah satu surat kabar yang cukup terkenal dan memainkan peranan penting dalam perpolitikan di Indonesia kala itu adalah Sin Po.
Nama Sin Po dicetuskan oleh dua orang Tionghoa peranakan bernama Yoe Sin Gie dan Lauw Giok Lan.
Menurut Ravando Lie, sejarawan yang menempuh pendidikan S3 Sejarah di University of Melbourne, secara harfiah Sin Po bermakna “koran baru”. Sebagaimana maknanya, kemunculan koran ini diharapkan dapat memberikan terobosan penting bagi mayoritas pers Tionghoa kala itu yang dianggap menjadi alat propaganda pemerintah kolonial Belanda.
Sin Po pertama kali terbit pada 1 Oktober 1910 dalam bentuk mingguan. Proses penerbitannya dilakukan di Percetakan Kho Tjeng Bie Batavia, hingga beberapa tahun kemudian Sin Po mampu membeli percetakan sendiri di Asemka, Glodok.
Sin Po hadir sebagai media yang berani menantang kebijakan dan diskriminasi pemerintah kolonial kala itu. Media ini berulangkali mengkritik para kaum elite Tionghoa yang dianggap hanya dimanfaatkan pemerintah kolonial Belanda untuk menindas bangsanya sendiri, demi melanggengkan kekuasaan rezim kolonial kala itu.
“Sin Po ini muncul sebagai antitesis dalam mendobrak tradisi dan diskriminasi yang sudah telanjur mengakar kuat,” jelas Ravando.
Atas keberanian dan sikap kritisnya tersebut, Sin Po berulangkali dilabeli oleh pemerintah kolonial sebagai koran ultra-nasionalis atau koran ekstremis. Berbagai artikel pedas yang ditulis wartawan Sin Pomembuat banyak pihak jengah.
Dalam buku Tionghoa dalam Keindonesiaan,Sin Po tercatat berulangkali terkena delik pers atas tudingan penyebaran kebencian hingga enam kasus.
Pada awal kemunculannya, Sin Po mampu menarik perhatian para pembacanya. Selain artikel-artikel yang kritis, cerita bersambung “Sam Kok” menjadi rubrik andalan Sin Po yang kerap dinanti oleh para pembacanya.
“Selain itu penggunaan bahasa Melayu rendah juga membuat Sin Po mampu menembus sekat-sekat masyarakat Indonesia yang kala itu sangat hierarkis,” ujar Ravando yang saat ini menulis disertasi mengenai sejarah dan pemikiran Sin Po.
Menurut Ravando, anggota redaksi koran ini paham betul bagaimana memenuhi keinginan dan kebutuhan pembaca. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengubah frekuensi penerbitan Sin Po dari mingguan menjadi harian, terhitung sejak 1 April 1912.
Tidak hanya itu, Sin Po juga membuat berbagai terobosan penting lainnya dengan meluncurkan beberapa terbitan lainnya. Pada 12 Februari 1921, Sin Po menerbitkan Sin Po Chineesche Editie (Sin Po Edisi Mandarin) dan menjadikan Sin Po sebagai koran Tionghoa pertama di Batavia yang memiliki terbitan dalam bahasa Mandarin.
Kemudian ada juga Bin Seng, yang diterbitkan dengan harga lebih murah daripada Sin Po, namun dengan kualitas artikel yang sama. Sayang koran ini tidak mampu bertahan lama.
Sin Po juga turut mengeluarkan edisi mingguan yang dikenal dengan Sin Po Wekelijksche Editie (Sin Po Edisi Mingguan) pada 7 April 1923 sebelum akhirnya dibredel oleh pemerintah Jepang pada awal 1942. Kemudian ada juga Sin Po Oost-Java Editie (Sin Po Edisi Jawa Timur) yang merupakan cikal bakal dari harian Sin Tit Po di Surabaya.
Meski dimodali dan dimotori oleh orang–orang Tionghoa namun pada awalnya Sin Po dipimpin oleh seorang Indo-Eropa bernama J.R. Razoux Kuhr, mantan controleur dan pengusaha terkemuka di Batavia.
Kebijakan tersebut dikarenakan seorang Indo maupun Eropa memiliki posisi yang lebih tinggi dalam hukum kolonial kala itu ketimbang orang Tionghoa. Bila suatu koran terkenal masalah, proses hukumnya akan jauh lebih runyam bila orang Tionghoa yang pasang badan.
Barulah 27 April 1916, Sin Po memiliki direktur Tionghoa pertama bernama Kwee Hing Tjiat. Posisi tersebut tercatat hanya berganti dua kali hingga tahun 1950-an, yang mana Sin Po sempat dipimpin oleh Tjoe Bou San dan kemudian Ang Yan Goan.
Mencatat sejarah
Keberhasilan Sin Po ini semakin terlihat dari perkembangan jumlah keuangan yang mereka miliki. Sin Po yang pada 1912 hanya memiliki modal 100 ribu gulden, hanya dalam tempo satu dekade mampu berkembang menjadi 300 ribu gulden.
Menurut Ravando ini tak lepas dari ide brilian Ang Yan Goan dalam melihat potensi pasar.
Koran Sin Po tercatat sebagai pelopor comic strip pertama di Indonesia dengan komiknya yang bernama Put On. Pembuatnya, Kho Wan Gie, pertama kali menerbitkan komik strip tersebut dalam harian Sin Po edisi 17 Januari 1931.
Kemunculan Put On pun menjadi daya tarik tambahan bagi Sin Po, lantaran komiknya yang bersifat jenaka dan sarat dengan kritik sosial. “Kritikan tersebut semakin kencang dalam berbagai kesempatan, seperti ketika Perang Tiongkok-Jepang II hingga konfrontasi dengan Malaysia,” jelas Ravando.
Selain itu, terhitung sejak Mei 1925, Sin Po mulai mempopulerkan penggunaan kata “Hindia” guna menggantikan kata “Hindia Belanda”, hingga kemudian berganti sepenuhnya menjadi “Indonesia” setahun berselang.
Menurut Ang Yan Goan, dengan menggunakan kata “Hindia Belanda” berarti sama saja mengakui bahwa Belanda berhak atas Indonesia. “Ini merupakan salah satu bentuk perlawanan Sin Po atas penjajahan Belanda, yang kemudian diikuti oleh koran-koran Tionghoa lainnya di Indonesia,” ujar Ravando.
Di samping itu, Sin Po juga mulai mempopulerkan penggunaan istilah “Bahasa Indonesia” guna menggantikan terminologi “Bahasa Melayu”, serta “Bangsa Indonesia” untuk menyebut “Inlander”.
Perubahan tersebut juga mendorong koran-koran Bumiputra untuk mulai menggunakan kata “Tionghoa” dan “Tiongkok” guna menggantikan kata “Cina”.
Ruang-ruang yang ada dalam Sin Po tidak eksklusif diperuntukkan bagi orang Tionghoa semata. Sedari awal berdiri, Sin Po menyatakan keterbukaannya untuk menerima naskah dari berbagai kalangan yang ingin menyampaikan kritiknya lewat Sin Po.
Tidak hanya itu, Sin Po bahkan menjadi media pertama yang mempublikasikan syair “Indonesia Raja” (saat itu masih berjudul “Indonesia” saja) yang muncul perdana di Sin Po Edisi Mingguan pada 10 November 1928.
Sang penulis lagu, W.R. Supratman, kebetulan merupakan kontributor aktif untuk Sin Po dan sangat dekat dengan Ang Yan Goan. Supratman sempat menawarkan lagu tersebut ke berbagai media Indonesia kala itu, namun tidak ada satu pun yang berkenan untuk memuatnya lantaran khawatir dengan konsekuensi berat yang akan diterima.
Supratman kemudian menawarkan syair tersebut ke Ang Yan Goan, yang kemudian langsung disetujui oleh sang direktur.
Polemik Sin Po
Sedari awal berdiri, Sin Po berulangkali mengalami polemik, bukan hanya dari koran-koran yang tidak sepakat dengan pemikiran Sin Po, hingga ancaman pembredelan dari pemerintah kolonial.
Sikap politik Sin Po tersebut semakin menguat ketika Jepang menginvasi Tiongkok pada tahun 1930-an.
Sin Po, misalnya, mengkritik keras koran Pertja Timoer yang dipimpin oleh Parada Harahap lantaran dianggap sangat pro-Jepang. “Polemik antar surat kabar seperti ini sangat lumrah di kala itu. Tulisan dibalas dengan tulisan, yang mana bisa berlangsung hingga berminggu-minggu lamanya,” ujar Ravando
Sikap politik Sin Po tersebut jelas memiliki konsekuensi yang tidak ringan. Lima perusahaan besar Belanda memboikot untuk memasang iklan di Sin Po.
Akibatnya, Sin Po hanya menerima pemasukan 40 persen dari iklan, di saat koran-koran lain bisa mendapatkan pemasukan hingga 60 persen.
Operasional Sin Po terpaksa dihentikan seiring dengan masuknya Jepang ke Indonesia. Mayoritas karyawannya kemudian diinternir, lalu kantornya di Asemka digunakan untuk menerbitkan koran propaganda Jepang bernama Kung Yung Pao.
Usai berakhirnya penjajahan Jepang, Sin Po kemudian lahir kembali pada 25 Oktober 1945 dan memainkan peranan penting dalam menyuarakan berbagai tindak kekerasan yang menimpa penduduk Tionghoa sepanjang 1945 hingga 1949.
Sikap tidak populer yang diambil Sin Po tersebut membuat koran ini berulangkali terlibat polemik dengan koran-koran Republik, seperti Merdeka misalnya. Harian Merdeka bahkan berulangkali melabeli Sin Po dengan sebutan “kaki-tangan NICA” dan “pengkhianat bangsa”.
Namun Sin Po tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk terus menyuarakan ketidakadilan yang menimpa golongan Tionghoa selama perang kemerdekaan. Sikap yang mana sangat berbeda bila dibandingkan dengan koran-koran Republik yang cenderung menutup-nutupi peristiwa kekerasan tersebut. Hal ini tentu tidak lepas dari situasi pelik kala itu.
“Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia tentu menggunakan segala cara, termasuk isu kekerasan terhadap orang Tionghoa untuk mendelegitimasi posisi Indonesia di dunia internasional. Namun Sin Po menunjukkan bahwa peristiwa kekerasan terhadap orang Tionghoa adalah sesuatu yang nyata dan serius,” pungkas Ravando.
Terlepas dari sikap Sin Po tersebut, koran ini nyatanya memiliki hubungan yang erat dengan para politisi Indonesia seperti Soekarno.Seperti dicatat dalam buku Tionghoa dalam Keindonesiaan, pada masa awal kemerdekaan, Ang Yan Goan diajak oleh dokter Kwa Tjoan Sioe untuk memenuhi undangan Soekarno dan Hatta.
Dalam perbincangan ini mereka sepakat bahwa baik orang Tionghoa maupun Indonesia memiliki kepentingan politik yang sama, yakni perjuangan mengusir imperialisme. Soekarno juga menyatakan bahwa setiap individu Tionghoa yang lahir di Indonesia merupakan bagian penting dari Indonesia.
Eksistensi Sin Po tetap terjaga hingga puluhan tahun ke depan. Koran ini sempat berganti nama menjadi Pantjawarta dan Warta Bhakti pada 1960, dan menjadi salah satu corong propaganda dari Soekarno. Setelah meletusnya peristiwa G-30-S, Warta Bhakti pun menjadi salah satu koran yang dibubarkan secara paksa.
Kontribusinya selama puluhan tahun dalam mengembangkan dunia pers Indonesia pun seperti dibiarkan menguap begitu saja.