Jatuh Bangun Bisnis Orang-orang Tionghoa di Tanah Hindia Belanda

Tim Intisari

Editor

Meski sejak lama merupakan minoritas, orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia ternyata terkenal jeli mencari peluang bisnis. Apakah ini, salah satunya, disebabkan keterbatasan mereka mencari penghidupan di sektor lain? (FOTO: DIGITALCOLLECTIONS.UNIVERSITEITLEIDEN.NL)
Meski sejak lama merupakan minoritas, orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia ternyata terkenal jeli mencari peluang bisnis. Apakah ini, salah satunya, disebabkan keterbatasan mereka mencari penghidupan di sektor lain? (FOTO: DIGITALCOLLECTIONS.UNIVERSITEITLEIDEN.NL)

[EDISI IMLEK]

Meski sejak lama merupakan minoritas, orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia ternyata terkenal jeli mencari peluang bisnis. Apakah ini, salah satunya, disebabkan keterbatasan mereka mencari penghidupan di sektor lain?

Penulis: Aufannuha Ihsani, untuk Majalah Intisari edisi Februari 2022

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Berbicara sejarah keturunan Tionghoa di Indonesia, rasanya tak mungkin melewatkan kenyataan bahwa komunitas ini lekat sekali dengan dunia perdagangan.

Kedekatan mereka dengan usaha dagang sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum datangnya orang-orang Eropa mencari rempah-rempah.

Nawiyanto dalam artikelnya “Peran Historis Tionghoa dalam Perekonomian” menulis, sebelum kedatangan bangsa Barat, orang-orang Tionghoa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perdagangan di Asia kuno.

Dia mencatat, ketika pusat-pusat kekuasaan Hindu-Budha di Nusantara terbentuk, orang Tionghoa telah turut aktif dalam perdagangan antarnegara.

Seiring berjalannya waktu, terbentuklah komunitas-komunitas Tionghoa yang kuat di Jawa dan Sumatera pada awal abad ke-15. Bersamaan dengan semakin berkembangnya komunitas ini, mereka kawin-mawin dengan penduduk bumiputra dan berasimilasi dengan tradisi lokal.

Mulai ramainya komunitas orang Tionghoa itulah yang kemudian turut mewarnai dunia perdagangan di Nusantara. “Meski secara proporsional merupakan minoritas, etnis Tionghoa memainkan peranan penting dalam perkembangan perekonomian Indonesia,” tutur Nawiyanto.

Pilihan yang terbatas

Di masa kolonial, seperti ditulis Mely G. Tan dalam Etnis Tionghoa di Indonesia, sejak pertengahan abad ke-17, orang-orang Tionghoa selalu berperan sebagai perantara ekonomi.

Mereka “Membeli hasil tanam dari penduduk bumiputra, orang-orang Tionghoa kemudian menjualnya kepada orang-orang Belanda, yang mengirimkannya ke Eropa,” tulis Tan.

Selain karena terlatih sejak lama, sebenarnya terjun di dunia bisnis merupakan satu di antara pilihan yang terbatas bagi mereka. Meski kebijakan pemerintah kolonial yang rasis itu menempatkan mereka di atas kaum bumiputra, orang-orang Tionghoa makin lama makin dibatasi hak-haknya sebagai warga negara.

Pada 1860, ketika mulai berlakunya Undang-undang Agraria, orang-orang Tionghoa dilarang memiliki tanah. Di saat yang hampir bersamaan, mereka juga dilarang mengikuti ujian untuk menjadi pegawai negeri.

“Dengan demikian, sebagai sumber penghidupan dan pemasukan, orang-orang Tionghoa hanya memiliki sedikit alternatif di luar perdagangan dan bisnis. Sebagai dampak peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa kolonial, mereka menjadi terampil dalam aktivitas ekonomi. Orang-orang Tionghoa secara berkelanjutan mendominasiperdagangan hasil bumi sekaligus mengontrol distribusi domestik dan pasar eceran,” papar Tan.

Begitulah, tak memiliki tanah bukan berarti mereka tak mampu terjun dalam bisnis pertanian. Kendati telah ada pembatasan mengenai kepemilikan lahan, orang-orang Tionghoa masih mampu membeli hasil bumi atau menyewa tanah dari kalangan bumiputera.

Di masa Tanam Paksa (1830-1870) mereka melakukannya, begitu pula di masa ekonomi liberal setelahnya. Seperti ditulis Nawiyanto, dalam dua masa ini, orang-orang Tionghoa mampu menangkap peluang-peluang ekonomi yang tersedia.

Di masa Tanam Paksa, Nawiyanto mencatat, sejumlah orang Tionghoa yang menjadi pemilik pabrik gula. Setelah dapat dari para petani, mereka memproses tebu sebelum disetorkan kepada pemerintah kolonial sebagai komoditas ekspor.

“Pada periode ini, orang-orang Tionghoa adalah pemilik modal swasta yang utama di Hindia Belanda,” tulisnya.

Di masa ekonomi liberal, saat perusahaan-perusahaan swasta diizinkan menyewa lahan dari para petani untuk menanam hasil bumi yang menguntungkan, orang-orang Tionghoa ikut terlibat. Banyak di antara mereka mendapatkan hak erfpacht, hak guna atas tanah, untuk mengelola dan mengambil untung dari sana.

Masa guna hak erfpacht sendiri dapat mencapai maksimal 75 tahun, sehingga tak jarang hak itu diwariskan secara turun-temurun.

Berdasarkan data yang dia kumpulkan, Nawiyanto menulis, pada 1892 ada 73 tanah erfpacht yang dikelola orang Tionghoa. “Sebelas di antaranya dikelola dengan mempekerjakan orang Eropa!” tulis Nawiyanto.

Untuk soal usaha eceran, orang Tionghoa juga bermain di sana. Mely G. Tan menuturkan, para pedagang eceran ini biasanya terkonsentrasi di kota-kota kecil hingga pedesaan.

Mereka biasanya menjual kebutuhan sehari-hari dan merupakan kepanjangan tangan dari distributor-distributor besar.

Tan juga menerangkan bahwa toko-toko ini gampang dikenali sebagai toko orang Tionghoa. Sebab bangunannya yang bertingkat memadukan antara toko di bawah dan tempat tinggal di lantai atasnya terlihat begitu mencolok dibanding bangunan lain.

“Ruko-ruko ini biasanya terletak di jalanan utama di kota-kota, memberikan kesan bagi penduduk bumiputra akan kehadiran bisnis orang Tionghoa yang tersebar di mana-mana,” tuturnya.

Memasuki abad ke-20, dunia perdagangan menjadi pekerjaan mayoritas orang-orang Tionghoa dan keturunannya di Hindia Belanda. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930, seperti yang dipaparkan Nawiyanto, 58 persen orang Tionghoa di Jawa berkecimpung dalam sektor ini!

Dari batik hingga kretek

Bisnis orang-orang Tionghoa di masa kolonial tak hanya sebatas agrikultura, namun merambah juga dalam bidang industri. Dua hal yang layak mendapat sorotan adalah industri batik dan rokok kretek.

Batik yang telah lama menjadi bagian dari kebudayaan Jawa, direngkuh juga oleh orang Tionghoa sebagai satu komoditas dengan nilai ekonomi tersendiri. William Kwan Hwie Liong menceritakan hal ini dalam “Peranakan dalam Industri Batik”.

Seturut William, setidaknya sejak abad ke-17, orang-orang Tionghoa telah terjun dalam bisnis batik. Akan tetapi, mereka saat itu hanya berkutat pada soal pemasarannya, bukan produksi.

Barulah ketika suplai kain dari India menurun pada akhir abad ke-18 dan orang-orang di Hindia Belanda melihatnya sebagai satu kesempatan untuk menggantinya dengan kain-kain lokal, industri batik pelan-pelan ikut meningkat.

Orang Jawa, Arab, dan tak terkecuali Tionghoa, segera ambil bagian dalam memproduksi batik. Pusat-pusat produksi batik pun segera menjamur terutama di Pekalongan, Cirebon, dan Lasem.

“Produk yang dihasilkan berupa kain batik tulis, yaitu kain panjang, kain sarung, dan kain selendang, dengan pewarnaan menggunakan bahan pewarna alami; kulit akar mengkudu, nila atau indigo, kayu Teheran, kayu tinggi, dan kayu jambal,” tulis William.

Dia juga mencatat, pertumbuhan industri batik ini turut mengembangkan corak batik bikinan orang Tionghoa sendiri. Sepanjang abad ke-19, motif-motif layaknya bang-bangan, biron, dan bang biron, menjadi satu ciri khas batik yang mereka produksi.

Setelah ditemukannya teknik cetak dan pewarnaan sintetis, produksi batik secara umum meningkat di Jawa pada akhir abad ke-19. Orang-orang Tionghoa pun tak ketinggalan mengikuti perkembangan teknologi ini.

Puncaknya, memasuki abad ke-20, para pengusaha Tionghoa yang berkecimpung dalam industri batik di Jawa semakin bertambah banyak jumlahnya. Pada 1928, jumlahnya mencapai 757 orang, sekitar 17 persen dari total keseluruhan pengusaha batik.

Di sektor industri rokok kretek, mereka mulai menekuninya pada awal abad ke-20. Hanya beberapa dekade setelah rokok dengan campuran cengkeh ini menjadi populer di tengah-tengah masyarakat.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, saat itu, perusahaan-perusahaan rokok kretek milik orang Tionghoa mulai menjamur.

Hendri F. Isnaeni, yang tulisannya termuat dalam bunga rampai Tionghoa dalam Keindonesiaan bersama-sama dengan William, turut menyoroti perkembangan industri ini. Dalam catatan Hendri, pesatnyaperkembangan usaha rokok kretek orang-orang Tionghoa sampai mengarah pada kerusuhan antaretnis di Kudus pada akhir 1918.

Setelah kerusuhan itu mereda, industri rokok kretek baik yang dikelola kalangan bumiputera maupun orang Tionghoa mulai berjalan beriringan. Meski, dalam hemat Hendri, keduanya ada dalam dua level yang berbeda.

“Pengusaha kretek bumiputera memiliki perusahaan-perusahaan kecil dan menengah, sementara pengusaha Tionghoa mengimbangi sebagai pemilik perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan lebih banyak, jika bukan yang terbesar, hasil,” tulis Hendri.

Hendri juga mencatat nama-nama pengusaha Tionghoa yang sukses berkecimpung dalam industri rokok kretek di masa kolonial.

Di antaranya Tjoa Kang Hay di Pati dengan perusahaannya Nojorono, Ong Siang Tjoen di Solo dengan merek Marikangen, Ong Hok Liong di Malang, Tan Eng Siang di Banyumas, dan tentu saja Liem Seeng Tee di Surabaya – belakangan berubah nama menjadi PT HM Sampoerna.

Pada akhir masa kolonial, perusahaan yang terakhir disebut ini mampu memproduksi tiga juta batang rokok kretek tiap minggunya!

Hendri melanjutkan, kesuksesan itu ternyata dibarengi dengan tanggung jawab sosial dari para pemiliknya. Ambillah contoh Ong Siang Tjoen yang memulai usaha rokok kreteknya pada 1931. Bersamaan dengan usahanya yang meningkat pesat, Ong ternyata tak lupa memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya.

Berdasarkan laporan jurnalistik sezaman, Hendri mencatat bahwa perusahaan Ong mencatat dengan detail tiap-tiap karyawan lengkap dengan keluarganya. Tujuannya, ketika mereka nanti punya hajat atau sedang tertimpa kemalangan, perusahaan bisa langsung memberikan bantuan keuangan.

Para karyawan juga diatur dengan prinsip-prinsip moralitas yang tinggi. Mereka dilarang mengganggu kehidupan rumah tangga rekan kerjanya, dan akan langsung diberhentikan jika kedapatan berbuat begitu.

Kenyamanan mereka saat bekerja pun menjadi perhatian Ong. Perusahaan memisahkan tempat kerja antara karyawan laki-laki dan perempuan, dan menyediakan radio di masing-masing ruang kerja untuk hiburan.

“Pada 1939, tercatat pabrik memberikan payung secara cuma-cuma bagi seluruh karyawannya sebagai antisipasi musim hujan,” papar Hendri.

Antara persaingan dan krisis ekonomi

Cobaan datang bagi dunia perdagangan di Hindia Belanda ketika krisis ekonomi berlangsung pada dekade 1930-an. Dampaknya terasa bagi semua pedagang eceran, tak terkecuali para pedagang Tionghoa.

Yang mengherankan, para pedagang Jepang justru mampu menarik pembeli lebih banyak dari pedagang-pedagang lain. Alexander Claver turut menceritakan hal ini dalam bukunya Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java: Colonial Relationships in Trade and Finance, 1800–1942.

Claver mencatat, keberhasilan pedagang-pedagang Jepang ditanggapi dengan rasa takut sekaligus penasaran oleh para pesaingnya dari kalangan Tionghoa dan Belanda.

Saking penasarannya, Internationale Crediet- en Handelsvereeniging “Rotterdam”, sebuah bank yang memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan besar, sampai mengirim dua orang pegawainya, E.F.J. Nater dan W. Folkers, untuk melakukan penyelidikan.

Nater dan Folkers akhirnya menyelesaikan investigasi mereka pada pertengahan 1933. Dalam laporannya, mereka menulis bahwa di mata banyak orang, toko-toko orang Jepang lebih banyak menarik pengunjung daripada pesaing Tionghoa mereka.

Selain memperbanyak varian produk yang dapat dipilih, mereka juga mematok harga pas yang murah, sementara orang-orang Tionghoa masih melanggengkan tradisi tawar-menawar.

Orang-orang Jepang juga lebih aktif mencari apa yang pelanggan mereka inginkan, sementara para pedagang Tionghoa secara pasif menanti pembeli untuk datang. Itulah kenapa, catat Claver, toko-toko orang Jepang lebih menarik dipandang mata dibanding toko-toko milik orang Tionghoa.

“Kebanyakan ruko orang Tionghoa agak berantakan, tidak terawat, dan hampir tidak menarik. Di dalam, kekacauan tampak jelas saat produk ditumpuk sembarangan, membuat pelanggan tidak bisa bergerak bebas dan melihat barang dagangan sebelum memutuskan apa yang akan dibeli,” papar Claver.

Strategi bisnis yang demikian bukannya tidak disadari oleh orang-orang Tionghoa. Secara logis dan rasional, mereka paham betul apa yang membuat produk jadi laku dan untung menggunung.

Tetapi masalahnya, kesadaran itu tidak lantas membuat mereka berbenah diri, kecuali beberapa orang saja.

Salah satu dari beberapa orang itu adalah Tan Tiong Ie, seorang pengusaha kopi dari Semarang. Claver mencatat bahwa usaha kopi yang dirintis Tan baru dimulai pada 1928, hanya beberapa tahun sebelum permulaan depresi.

Tetapi, strategi pemasaran yang dia terapkan membuatnya mampu bertahan di tengah-tengah kelesuan ekonomi. Seperti para pedagang Jepang, dia membuat varian dari merek-merek kopi yang dia jual.

Produk unggulannya yang paling mahal adalah kopi Tjap Margo-Redjo. Di bawahnya, dengan kualitas kopi di bawahnya, ada merek Tjap Pisau, Tjap Orang-Matjoel, Koffi e Sentoso, Koffi e Mirama, Koffi e Sari-Roso, dan yang paling murah Tjap Grobak Idjo.

Hal ini membuat para pelanggan, yang terdiri atas berbagai latar belakang ekonomi, jadi memiliki banyak pilihan. Dengan demikian, pasar dari perusahan kopi Margo-Redjo makin luas.

Saat itu, seperti yang ditulis oleh Claver, “Tujuan meningkatkan omzet dengan mencocokkan produk dan klien melalui upaya pemasaran bersama adalah sesuatu yang baru.”

Bertahan lintas generasi

Margo-Redjo, meski tak sesukses dulu di masa akhir kolonial, hingga kini masih memproduksi dan memasarkan kopinya dari Semarang.

Begitu pula dengan usaha rokok kretek yang pertama kali dirintis masing-masing oleh Tjoa Kang Hay dan Liem Seeng Tee, masih bertahan, bahkan menjadi taipan perusahaan rokok hingga hari ini.

Jangan lupa juga, orang-orang Tionghoa juga bermain di industri jamu. Theresa C.Y. Liong dalam “Industri Jamu dan Kosmetika” mencatat sejumlah perusahaan jamu milik keturunan Tionghoa yang bertahan lintas generasi.

Tiga di antaranya adalah Jamu Jago, Nyonya Meneer, dan Jamu Iboe. Ketiganya berdiri sejak awal abad ke-20.

Nyonya Meneer, yang didirikan oleh Lauw Ping Nio pada 1919, awalnya adalah industri rumahan yang dikelola langsung oleh sang pemilik. Meningkatnya permintaan membuatnya kewalahan bekerja sendirian. Seiring berjalannya waktu, dia pun mempekerjakan beberapa orang untuk membantunya meracik jamu.

Pada 1950-an, karyawannya meningkat menjadi 50 orang. Usaha jamu Lauw makin berkembang, bahkan setelah dia tutup usia pada tahun 1978.

Nyonya Meneer kemudian diteruskan oleh anak dan cucunya. Di masa jayanya, perusahaan jamu ini pernah mempekerjakan ribuan karyawan dengan 254 merek dagang.

Kuantitas produksi itu ternyata juga dibarengi oleh kualitasnya. Theresa mencatat, beberapa racikan jamu Nyonya Meneer sampai diuji secara klinis untuk diakui khasiatnya oleh pemerintah.

“Misalnya, jamu Rheumaneer memakan waktu empat tahun untuk tes klinis hingga diakui Menteri Kesehatan,” tulis Theresa.

Sayangnya, Nyonya Meneer telah berhenti berproduksi. Pada 2017 lalu, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan perusahaan ini pailit sebab tak dapat membayar utangnya yang mencapai ratusan miliar rupiah.

Sebagaimana diberitakan oleh Cnnindonesia.com, aset-aset Nyonya Meneer kemudian dibeli oleh Sido Muncul, perusahaan jamu lain yang berdiri sejak masa awal kemerdekaan.

Jamu Jago yang berdiri hampir berbarengan dengan Nyonya Meneer dan Jamu Iboe yang lebih dulu muncul beberapa tahun sebelumnya, tetap bertahan. Keduanya kini dikelola oleh generasi keempat dari masing-masing pendirinya dan sama-sama telah memasuki pasar internasional.

Jamu merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Nusantara. Namun, sebagaimana batik dan kretek, orang-orang Tionghoa ternyata yang justru lebih mampu menangkapnya sebagai peluang usaha.

Soal jamu, Theresa melihat keberhasilan ini sebagai bentuk penghayatan orang-orang Tionghoa atas kebudayaan lokal.

“Mereka membuat jamu memakai resep-resep yang tumbuh dan berkembang dari budaya Jawa yang mereka telah hayati secara turun- temurun,” pungkasnya.

Artikel Terkait