[EDISI IMLEK]
Prosesi pemakaman Mayor Tan Tjin Kie (Mayor Tan) ditengarai sebagai salah satu yang termegah di Hindia Belanda. Nasib makamnya kini memprihatinkan.
Penulis: Mahandis Yoanata Thamrin untuk Majalah Intisari edisi Februari 2024
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -“Amper semoea roemah ada penoeh familie dan sobat-sobatnja jang dateng mondok dari djaoeh-djaoeh [...],” Tan Gin Ho bersaksi dalam memornya berjudulPeringetan dari Wafatnja Majoor Tan Tjin Kie. “[...] Di hotel-hotel banjak jang moesti tidoer di atas medja dan korsi, lantaran tida kebagian tempat.”
Di situ Letnan Tan Gin Ho mengisahkan riuh-rendah Kota Cirebon jelang pemakaman Mayor Cina Tan Tjin Kie. Orang-orang Cirebon lebih akrab dengan Babah Tjin Kie.
“Pendeknja kota Cheribon belon perna kadatengan orang begitoe banjak dari segala bangsa, seperti di waktoe djinazatnja Papa dikoeboer,” tulis Gin Ho.
Pada masanya, inilah suasana Cirebon paling ramai sepanjang ingatan warganya. Keramaiannya, ungkap Gin Ho, jauh melebihi pengunjung perayaan Sekaten atau arak-arakan Cap Go Meh.
Gin Ho merupakan putra bungsu Mayor Tan. Memoar itu sendiriditerbitkan oleh Druk en Cliche’s van G. Kol & Co. di Batavia pada 1919.
Kendati Mayor Tan meninggal pada Kamis, 13 Februari 1919, upacara pemakamannya baru digelar pada Rabu, 2 April 1919. Selama 1,5 bulan itu keluarga mempersiapkan upacara penghormatan terakhir nan akbar untuk sang mayor.
Biaya upacaranya mencapai ƒ70 ribu yang nilainya sepadan dengan sekitar 10 kilogram emas – sekitar Rp10 miliar jika diukur dengan nilai uang sekarang.
Tan Tjin Kie, yang wafat dalam usia 66 tahun, merupakan keturunan Tionghoa terkaya di Cirebon. Dia juga adalah seorang filantropis.
Kariernya melesat sejak menjabat letnan tituler pada 1884, lalu bergelar Kapitein empat tahun berikutnya.
Karena jasa-jasanya, Kekaisaran Manchu menganugerahinya gelar maharaja kelas II pada 1893, sementara Pemerintah Hindia Belanda memberinya penghargaan Bintang Emas untuk Pengabdian (Gouden Ster van Verdienste). Pangkat mayor titulernya sendiri disematkan pada 1913.
Mayor Tan punya pesanggrahan bergaya Hindia abad ke-19 di seantero Cirebon. Seperti Roemah Pesisir, Roemah Tambak, hingga Roemah Kalitandjoeng.
Namun, Gedong Binarong, dengan pilar-pilarnya yang anggun, merupakan istana termegahnya. Istana ini terletak di Ciledug, Kabupaten Cirebon bagian timur.
Mayon Tan juga punya Suikerfabriek Luwunggadjah, pabrik gula yang sekaligus menjadi pabrik uangnya.
Gin Ho meneruskan wasiat ayahnya untuk mendirikan masjid di kawasan pabrik gula itu. “...Sebab ini mesigit di nijat di bikin jang bagoes boeat bisa toeroet djadi perhiasan fabriek...”
Tan Tjin Kie memang sangat dihormati. Sekitar sepuluh tahun selepas pemakaman akbar itu, ahli sastra Jawa, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1899 –1988), mengungkapkan dalam Javaanse Volksvertoningen bahwa sang mayor memiliki koleksi wayang gedok, wayang yang yang mementaskan cerita Panji.
Dia juga punya koleksi manuskrip dan perhatian khusus kepada para dalang. Tak heran bila Pigeaud menjulukinya sebagai “een groot beschermer der Javaanse kunst” alias pelindung besar kesenian Jawa.
Gin Ho melaporkan pandangan matanya soal efek upacara pemakaman sang ayah. Sementara jalanan di Cirebon dan sekitarnya banjir pelayat, tidak demikian dengan pusat perbelanjaan.
“Pasar-pasar dalem kota semoea kosong, tida ada jang djoealan,” tulisnya. “Djangan lagi pasar-pasar di kota; pasar-pasar di loear kota [...] djoega djadi kosong.”
Peti jenazah diangkut keluar dari rumah duka oleh 60 orang Tionghoa berbusana dan topong serba putih. Kemudian dengan cepat peti yang berkilau itu diangkut ke atas kereta jenazah.
Kereta itu ditarik oleh 240 orang Tionghoa. “Perak-peraknja peti berkilat ketjorot oleh mata hari, lantas barisan militair kasih salvo,” tulis Tan Gin Ho.
Arak-arakan upacara pemakaman sang mayor terdiri atas sembilan kelompok yang panjangnya hampir satu kilometer. Mereka berjalan dari rumah duka hingga peristirahatan terakhirnya di Dukuh semar, Cirebon.
Sementara itu konvoi mobil pelayat, kereta, dan kahar yang berjalan dibelakang kereta jenazah itu panjangnya kira-kira hingga dua pal atau sekitar tiga kilometer lebih!
Jelas itu adalah hari yang sibuk dan panjang untuk polisi. Sepanjang jalan menuju pemakaman, setiap 20 meter tampak polisi berjaga di kanan dan kiri jalan.
Dalam arak-arakan, setiap 10 meter ada satu polisi yang bertugas. Menurut Gin Ho, setidaknya ada 600 polisi yang bertugas mengamankan upacara hari itu.
Tak hanya masyarakat umum, pemakaman Sang Mayor Cina ini juga dihadiri oleh orang-orang penting.
Keluarga Residen Cirebon C.J. Feith dan Asisten Residen A.J.H. Eijken terlihat di situ. Pemerintah Hindia Belanda juga mengirimkan dua peleton pasukan sebagai penghormatan terakhir.
Belum lagi kerabat keraton Cirebon, para amtenar bumiputera, hingga Letnan Arab dan keluarga besarnya juga turut melayat.
Sederet opsir Cina dari luar kota juga ikut mengantarkan jenazah Mayor Tan. Ada Kapiten Cina Khouw Oen Hoeij dari Batavia, Letnan Cina Thung Tjoen Ho dari Bogor, juga Sianseng Tan Tek Haij asal Lampegan.
Lalu Pangeran Ario Mangkudiningrat yang mewakili Susuhunan Pakubuwono dan Auw Yang Kee yang menjabat Konsul Jenderal Tiongkok juga datang memberi penghormatan.
Cirebon kebanjiran pelayat
Gin Ho menaksir ada 200 ribu orang yang hadir untuk melayat. Biaya sewa kahar atau kereta yang ditarik lembu atau kuda pun melonjak delapan kali lipat, sementara harga sewa mobil berlipat berjingkat-jingkat hingga empat kali.
Dari pengamatan Gin Ho, upacara pemakaman siang itu juga menjadi berkah untuk para penjual makanan. “Waroengan ada djoeal aer per kendi ƒ1,” catatnya. “Sepintjoek nasi jang harga bijasa tjoema 1 cent, di djoeal boeat 10 cent ka atas.”
Tak hanya pedagang makanan atau minuman yang menjaring untung di hari pemakaman Mayor Tan, tetapi juga pemilik tribun bambu yang didesain bertingkat khusus untuk menonton perhelatan akbar ini. Yang menyewa beraneka rupa: ada yang Tionghoa, ada Eropa, ada juga yang Bumiputera.
Meski begitu, banyak juga yang tidak kebagian tempat. Akhirnya, mereka menyaksikan iring-iringan dari loteng-loteng rumah atau memanjat pepohonan di tepi jalan.
“Boekan sadja toean-toean Europa tapi ada bebrapa njonja-njonja of [atau] nona-nona Eropa jang toeroet naek di poehoen-poehoen.”
Tatkala kereta jenazah lewat, suasana senyap dan takzim. Para pelayat tak berani bersuara keras. Mereka yang berada di tepian jalan pun menghormatinya.
Orang-orang Eropa membuka topi mereka, sementara nyonya-nyoya Tionghoa bersoja, memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dalam tradisi Konghucu.
“Maski orang ada begitoe banjak dan di antaranja ada banjak jang koerang makan dan koerang tidoer,” tulis Gin Ho. “Tapi dari kasihannja Toehan Jang Maha Kwasa semoeannja ada slamet, tida ada kedjadian katjilakaan sewatoe apa.”
Catatan wartawan Kwee Hin Houw
Wartawan Kwee Hin Houw pernah mewawancarai dua anak Mayor Tan Tjin Kie, Tan Gin Han dan Tan Gin Ho, pada 1950-an. Ketika itu keduanya masing-masing berusia 71 dan 83 tahun.
“Mereka masih sangat terang ingtannja,” tulis Houw. :”Dan oleh karena itu merupakan informan2 jang sangat berharga untuk mengenal susunan sosial orang2 Tionghoa di Tjirebon kira2 setengah abad berselang ...”
Catatannya tentang sosok Sang Mayor itu terbit di majalah tahunan Sin Tjun edisi 1957. Houw adalah putra Kwee Kek Beng, sastrawan dan jurnalis Tionghoa yang sohor, sekaligus pemimpin redaksi SinTjun.
Menurut catatan Houw, Keluarga Tan telah menetap selama delapan generasi di Cirebon. Oey Lwan, merupakan leluhur keluarga Tan asal Tiongkok, yang pertama datang ke Jawa. “Waktu itu sebelum zaman VOC, Tjirebon hanja desa penangkap2 ikan jang tak ada artinja,” tulis Houw.
Oey Lwan punya anak bernama Oey Pheng Lo. Kelak keturunan Pheng Lo inilah yang melahirkan opsir-opsir Tionghoa di Cirebon, yang bergelar kapitein, luitenant, dan majoor. Oey Pheng Lo adalah seorang kapitein, anaknya yang bernama Oey Tji Tjit pun mengikuti jejaknya sebagai opsir Tionghoa.
Houw mengungkapkan, pada generasi ketiga keluarga Oey, satu-satunya anak perempuan mereka menikah dengan seorang konglomerat bermarga Tan. Perkawinan itu melahirkan anak lelaki bernama Tan Tiang Keng, yang kelak menjabat kapitein. Tan Tiang Keng inilah ayah Tan Tjin Kie. “Majoor jang terachier dari orang2 Tionghoa di Tjirebon,” demikian tulisnya.
Sebagai mayor, tugas Tan Tjin Kie adalah melindungi dan membela kepentingan orang Tionghoa di daerahnya. Selain itu dia menjadi perantara antara pemerintah Belanda dan komunitasnya.
“Tetapi Majoor Tan Tjin Kie mempunyai kekuasaan yang lebih luas lagi,” tulis Houw. “Ia djuga mewakili golongan Arab di Tjirebon dan merangkap Konsol Djepang sebelum orang2 Djepang disamakan dengan orang2 Eropah.”
Sang Mayor juga dikenal sebagai filantropis. Houw mencatat, Tan Tjin Kie pernah menyumbang 10 ribu gulden untuk rumah sakit, mendirikan perkumpulan kematian Kong Djoe Kwan, serta turut memberantas perjudian di kelenteng Tiao Kak Sie.
Selain itu dia juga dikenal karena mendirikan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) meskipun sekolah THHK baru berdiri pada 1924 atau lima tahun setelah dia wafat.
Depresi Ekonomi 1930-an turut berdampak pada bisnis Sang Mayor. Houw melanjutkan tulisannya, ketika krisis itulah, “Pemerintah Belanda dengan sekonjong2 menjuruh keluarga Tan membajar padjak2 jang berdjuta2 gulden banjaknja, sehingga mulai saat itu hilanglah kekajaan keluarga Tan.”
Bagaimana kita mengenangnya?
Peristiwa pemakaman akbar itu terjadi lebih dari seratus tahun silam. Namun, apakah kota yang pernah dibangun Tan Tjin Kie juga mengenang dan merawat tinggalannya?
Sam Setyautama, seorang akuntan dan peminat budaya Tionghoa, memberi kesaksian soal kabar terakhir makam Mayor Tan Tjin Kie. Dalam buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, Sam mengisahkan safarinya ke Dukuh Semar, Kota Cirebon, awal 2004.
Menurut Sam, makam sang mayor berada di sekitar rumah susun dan Puskesmas Desa Dukuh semar. Sayangnya makam mewah itu telah diratakan pada 1990 dan kini telah menjelma menjadi pemukiman warga.
“Mereka tahu itu daerah bekas kuburan sang mayor. Nisannya ditemukan sudah menjadi pijakan melintas gorong- gorong,” tulis Sam. “Istana Binarong mungkin juga sudah lenyap pada 1922.”
Sirna sudah kenang-kenangan tentang keturunan Tionghoa terkaya di Cirebon awal abad 20. Dan Mayon Tan tak sendirian. Karena sebagian besar makam opsir-opsir Cina berbagai kota lainnya juga mengalami nasib serupa.
Bagaimana mungkin makam-makam itu lenyap bak ditelan Bumi?
Agni Malagina, ahli sinologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia berkomentar soal sedikitnya makam para opsir Cina yang selamat melintasi zaman.
Menurutnya, keturunan mereka tidak perhatian lagi lantaran garis keluarga sudah putus. Bisa juga karena banyak keturunan mereka yang tak lagi tinggal di Indonesia—mungkin terkait soal bisnis atau politik.
Jika sudah begitu, makam-makam bersejarah itu berangsur-angsur akan terbengkalai seolah tak bertuan. Ending-nya, tergusur warga pendatang yang sedang mencari tempat pemukiman.
“Makam-makam kapitein atau mayor itu biasanya (berlokasi) di dekat rumahnya atau dimakamkan di tempat pemakaman pribadi, bukan pemakaman umum,” ujar Agni.
Kompleks pemakaman itu, tambahnya, biasanya luas dan hanya berisi beberapa makam. “Ketika zaman kemerdekaan, makam-makam yang tanahnya luas dan cuma ada dua-tiga kuburan itu akhirnya diduduki warga.”
Azmi Abubakar, putra Aceh yang mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Serpong, pernah berkunjung ke situs makam Mayor Tan Tjin Kie di Dukuh Semar.
Dia merasa prihatin dengan situasi tapak makam sang mayor yang telah menjadi sepetak permukiman. Bahkan dia menduga, peti mati sang mayor juga masih bersemayam di bawah rumah warga.
Meski begitu, Azmi tak mau menyalahkan siapa pun. “Saya mengunjungi beberapa rumahnya yang saat ini menjadi sekolah,” kata Azmi. “Jejak-jejaknya menarik untuk ditelusuri.”
Dia teringat seorang peneliti budaya dan sastra peranakan Tionghoa bernama Claudine Salmon. Peneliti asal Prancis itu pernah singgah di museumnya beberapa tahun silam.
Salmon, yang saat itu berusia 80-an tahun, blusukan mengunjungi makam-makam Tionghoa di berbagai kota. Dia biasanya ditemani sahabatnya yang juga peneliti budaya Tionghoa di Indonesia, Myra Sidharta namanya. Kini kedua perempuan itu sudah sama sepuhnya. “Saya kira mereka sedang mengumpulkan data bongpai-bongpai itu menjadi suatu sumber informasi sejarah,” ujar Azmi.
“Kenapa orang kita tidak ada yang kayak begitu ya,” ujarnya heran. “Maksud saya, apakah kita menganggap itu tidak terlalu penting?”
Padahal, “Makam-makam tua merupakan catatan sejarah,” protesnya. “Tidak hanya bermakna sebagai penanda siapa yang meninggal di situ tetapi juga ada informasi (yang) kita bisa lihat kapan dia meninggal dan siapa saudaranya.”
Menurut Azmi, pembiaran dan penggusuran makam-makam Tionghoa itu karena “Kita tidak menganggapnya bagian dari keluarga besar kita, leluhur kita. Nah, cara berpikir itu yang penting sekali menjawab agar tidak terjadi penelantaran terhadap makam-makam Tionghoa.”
Dia menambahkan seandainya Tan Tjin Kie dianggap sebagai bagian sejarah bangsa atau bagian dari sejarah Cirebon, tentu makamnya akan selamat. Sayangnya, sampai hari ini Azmi belum melihat munculnyatanggung jawab bersama terhadap makam-makam tua itu yang terbengkalai itu.
“Seandainya itu bukan makam Tionghoa, mungkin beda perlakuannya,” tegasnya.
Makam-makam tua ibarat monumen yang menyimpan cerita tentang sejarah sosial sebuah kota. Kini, kita masih memiliki pekerjaan rumah untuk merawat makam-makam tua yang tersisa supaya kemegahan, pengetahuan, dan peradaban silam tidak berakhir mengenaskan.