Reco Lanang, Arca Terbesar yang Pernah Ditemukan di Indonesia

Tim Intisari

Editor

Reco Lanang yang setinggi 5,3 m dengan beiat 62 ton dianggap sebagai arca terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia (Dok Intisari)
Reco Lanang yang setinggi 5,3 m dengan beiat 62 ton dianggap sebagai arca terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia (Dok Intisari)

[ARSIP INTISARI]

Arca ini disebut Reco Lanang atau arca lelaki. Peninggalan purbakala berbentuk Buddha dalam sikap duduk ini dulu pernah jadi tempat meminta nomor buntut. Kini, ia sudah lebih terjaga. Tapi sayang, sang Buddha kini terkungkung dalam bangunan bercungkup dan berpagar besi, sehingga posisinya tidak lagi sesuai dengan falsafah Buddha yang sedang menuju pembebasan mutlak untuk memperoleh pengetahuan tertinggi.

Penulis:Nurhadi Rangkuti, arkeolog tinggal di Yogyakarta, untuk Majalah Intisari edisi Juni 1999

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Hujan lebat mengguyur undakan batu tangga. Kaki terus saja mendaki jalan licin itu.

Menjelang undakan terakhir, tampaklah sebuah sosok area Buddha. Batu yang masih berpahat kasar itu duduk dalam kesunyian, diselimuti kabut dan hawa sejuk pegunungan.

Letaknya tak jauh dari vila-vila di Trawas, sebuah tempat peristirahatan terkenal di Jawa Timur. Tepatnya di Desa Kemloko, Kabupaten Mojokerto.

Lega rasa hati melihat patung itu tak lagi jatuh terjengkang. Soalnya, kira-kira 10 tahun lalu, saya melihat area itu dalam posisi rebah ke belakang.

Wajahnya menengadah ke arah G. Welirang, kepalanya membelakangi Gunung Penanggungan. Keadaannya saat itu sungguh menimbulkan rasa iba.

Apalagi ketika area itu dijadikan media oleh para pemuja ketamakan untuk meminta nomor buntut dan kenikmatan hidup lainnya!

Syukurlah, ketika fakta itu dibeberkan dalam "Reco Lanang Peramal Buntut" (Kompas, 14 Juli 1988), arca yang memang oleh penduduk setempat disebut Reco Lanang itu lalu mendapatkan curahan kasih sayang yang hangat dari pemerintah dan masyarakat setempat.

Pemerintah pun menegakkan area yang rebah itu, setelah melakukan penggalian arkeologis dulu sekitar 1990 - 1991. Hanya dengan cara itu dapat dilakukan penelitian tentang si arca.

Namun, rasa lega itu lama-lama berganti iba kembali. Reco Lanang setinggi 5,3 m dengan bobot tidak kurang dari 62 ton (terbuat dari satu bongkah batu besar) itu kini seolah tak berdaya duduk dalam kungkungan pagar besi berujung runcing yang mengelilingi bangunan cungkupnya.

Meski dulu rebah ke belakang, dia masih menyatu dengan lingkungan sekitar karena tanpa pagar penghalang. Jadi, masih sesuai dengan falsafah yang melatari pembuatan area itu, yaitu Buddha yang sedang menuju pembebasan mutlak dengan memperoleh pengetahuan tertinggi!

Belum selesai

Reco Lanang adalah wujud Dhyani Buddha Aksobhya yang bersemayam di Timur. Perwujudan itu terlihat dari sikap duduknya atau mudra yang dikenal sebagai bhumisparsa-mudra.

Tangan kirinya menengadah di atas pangkuan, sedangkan tangan kanan menelungkup pada lutut kanan dengan jari-jemari menunjuk ke bawah.

Sikap tangan kanan yang menunjuk bumi melambangkan Sang Bodhisattva sebelum menjadi Buddha memanggil Dewa Bumi untuk menjadi saksi, saat Sang Bodhisattva menangkis semua serangan iblis Mara yang berusaha menggagalkan usahanya untuk memperoleh pengetahuan tertinggi yang akan membawa ke pembebasan mutlak.

Dilihat dari pahatannya yang masih kasar, Reco Lanang tampaknya belum selesai digarap. Beberapa bagian masih berupa garis besar patung saja, misalnya guratan tebal yang menyilang dari bahu kiri ke pinggang kanan.

Terlihat jelas, pahatan itu maksudnya untuk membuat upawita atau tali kasta. Begitu pula batu tebal kasar di balik tubuh, kemungkinan besar akan dijadikan sandaran duduk sang Buddha.

Malah lapik tubuh Buddha yang duduk bersila ini, masih kelihatan berupa bahan aslinya, padahal lapik biasanya ber-hias kelopak bunga teratai. Kompas menulis, patung ini bukan buatan baru, tetapi jelas buatan masa lalu (entah berapa abad yang lalu).

"Sewaktu diadakan penggalian, di sekitar kedudukah Reco Lanang ditemukan tatal-tatal batu gunung sejenis dengan batu Reco Lanang," kata Drs. Winston SD Mambo, arkeolog dari SPSP Jawa Timur, yang terlibat dalam penggalian.

Jelas artefak-artefak itu limbah produksi, yang memperkuat bukti bahwa area besar itu dibuat di tempat itu pula. Jadi, lokasi Reco Lanang yang sekarang itu memang lokasi aslinya.

Lalu logis saja timbul pertanyaan-pertanyaan di benak para arkeolog: apakah sumber bahan bakunya juga di lokasi itu?

Pada saat dibuat, apakah bakal area Reco Lanang dikerjakan dalam posisi rebah seperti saat ditemukan atau duduk tegak seperti yang terlihat kini?

Bagi para pemahat masa lalu mungkin lebih mudah menggarap bagian-bagian depan area dari kepala sampai kaki, bila bakal area itu dalam posisi rebah.

Bila demikian halnya, bagaimana menegakkannya setelah area seberat 62 ton itu rampung? Alat derek macam apa yang digunakan?

Sebaliknya, seandainya patung itu digarap dalam posisi duduk, diperlukan semacam tangga untuk menggarap area yang tingginya di atas 5 m. Pada bagian belakang yang akan dijadikan sandaran Buddha, sebagian memang tampak bekas diratakan dengan alat pahat.

Hal yang tidak dapat dikerjakan jika area itu rebah. Bila kemungkinan ini yang terjadi, mengapa area itu dalam posisi terjengkang saat ditemukan?

Apakah tanah longsor? Mengingat lokasinya di lereng, memang bisa saja longsor akibat erosi telah menumbangkan patung berbobot super-berat dan tiada bandingannya di Indonesia itu.

Dengan melewati berbagai pertimbangan, akhirnya disimpulkan posisi Reco Lanang yang benar adalah duduk tegak. "Diperlukan waktu sehari penuh hanya untuk menggeser kedudukan area 45° ke posisi sekarang," kata Winston lagi.

Gunung pindahan dari India

Sebenarnya Reco Lanang tidak kesepian sendiri. Tidak jauh dari tempatnya, masih ada area besar Dwarapala yang terjungkal dengan kepala di bawah.

Area yang lazimnya ditempatkan di pintu masuk candi itu sekarang malah berada di halaman sebuah kompleks vila mewah.

Pemilihan lokasi untuk Reco Lanang sendiri pasti tidak sembarangan. Desa Kemloko terletak pada lahan berlereng, pas di pertemuan kaki G. Welirang bagian utara dengan kaki G. Penanggungan bagian barat daya.

Selama ini G. Penanggungan (1.653 m) dikenal sebagai bentang artefak masa Hindu-Buddha dari abad ke-10 sampai masa Majapahit (abad ke-14 - 16).

Puncaknya dikelilingi oleh empat puncak gunung yang lebih rendah: G. Bekel, G. Gajah Mungkur, G. Sarahklopo, dan G. Kemuncup. Karena posisinya yang terkepung itu, ia dianggap replika G. Meru dalam mitologi India, gunung yang juga dikelilingi oleh delapan pegunungan lainnya.

Menurut legenda Jawa kuno, gunung itu dipindahkan dari India ke Jawa, namun di perjalanan sebagian patah, sehingga bagian puncak terpisah dari badannya. G. Penanggungan itulah patahan dari G. Meru.

Dua buah gapura paduraksa (tertutup) berdiri di kaki G. Penanggungan sebelah utara, yang dikenal dengan nama Candi Jedong. Gapura dengan tinggi 11,20 m dan 7,40 m ini diperkirakan berasal dari abad ke-14, berdasarkan goresan kuno yang ada pada salah satu pintunya.

Mungkin dulu tempat ini merupakan jalan masuk menuju G. Penanggungan yang dianggap suci. Memang, di bagian atas lereng gunung ini bertebaran banyak altar pemujaan.

Dua buah petirtaan, yaitu Jalatunda dan Belahan, masing-masing terdapat di kaki barat dan timur gunung ini. Pemandian suci Jolotundo yang terbuat dari batu gunung bertanggal 977 Masehi.

Sedangkan Belahan dibuat dari bahan bata. Diduga, pemandian ini merupakan tempat pemakaman Airlangga, raja Jawa dari abad XI yang menganut Siwa-Buddha.

Sebuah arca Wisnu mengendarai Garuda yang kini menjadi koleksi Museum Trowulan (Mojokerto, Jawa Timur) berasal dari pemandian ini.

Kedua pemandian suci itu berhubungan dengan Airlangga. Jolotundo yang diduga peninggalan raja Udayana dari Bali itu ayah Airlangga.

Airlangga ditahbiskan sebagai Wisnu, namun unsur buddhisme tetap terlihat dalam Prasasti Simpang (sekitar abad ke-13, rriasa Raja Kertanegara).

Dalam prasasti itu diberitakan perihal Airlangga menyuruh Mpu Bharada membagi dua kerajaan: Jenggala dan Daha (Kadiri). Prasasti Simpang ini terpahat di suatu area Buddha.

Prasasti Wurare menceritakan pentahbisan Raja Kertanegara yang telah mencapai Jina sebagai arca Mahaksobhya di pekuburan Wurare. Pentahbisan itu terjadi pada 21 Oktober 1289. Prasasti ini terpahat pada alas area Buddha Aksobhya, yang dikenal dengan arca Joko Dolog.

Reco Lanang yang ditempatkan di belakang G. Penanggungan, mungkin ada maksudnya. Dhyani Buddha Aksobhya adalah penguasa dunia masa lalu bersama-sama Wairocana (Sang Penguasa Tengah) dan Amoghasidi (Sang Penguasa Utara).

Penguasa dunia masa kini adalah Amithaba (Sang Penguasa Barat), yang nanti akan jatuh ke giliran Ratnasambhawa (Sang Penguasa Selatan). Boleh jadi, sebagai penguasa dunia masa lalu Reco Lanang ditempatkan di belakang gunung suci Penanggungan.

Wajah Reco Lanang yang menghadap ke G. Welirang menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan gunung itu simbol dunia di masa lalu.

Cungkup dan pagar

Sudah jelas, cungkup dan pagar besi berujung tombak yang mengurung Reco Lanang (yang notabene melambangkan upaya menuju pembebasan mutlak), semata-mata dibuat untuk melindungi benda cagar budaya itu.

Bangunan cungkup memang dapat melindunginya dari hujan dan terik matahari. Pagarnya yang terkunci membatasi ulah tangan-tangan jahil, sewaktu juru kunci tidak berada di tempat.

Agaknya, pembangunan cungkup dengan pagar besi atau kawat berduri sudah menjadi trend untuk melindungi benda-benda cagar budaya di Indonesia.

Banyak peninggalan arkeologis yang dibuatkan cungkup berikut pagarnya, tak peduli apakah ia berupa area besar, makam, sumur, kolam, candi kecil, atau sekadar sisa-sisa fondasi kuno. Entah di dalam kota, desa, hutan, atau perbukitan, cungkup dan pagar besi tak pernah ketinggalan.

Maka di pelbagai daerah di Indonesia terjadilah pemandangan yang seragam pada artefak dan situs yang telah mendapat predikat Benda Cagar Budaya. Mereka selalu ada dalam cungkup berpagar.

Ironisnya, keseragaman itu malah membungkus keragaman benda-benda cagar alam itu. Keseragaman yang mengaburkan keunikan identitas budaya yang terpancar dari artefak atau situs yang bersangkutan. Selain itu, cungkup dan pagar juga memisahkan mereka dari lingkungan sekitarnya.

Sebagai benda bisu, Reco Lanang tetap saja duduk termangu di dalam kurungan.

Sayang, belum ada orang yang mau memikirkan bagaimana dapat menyelaraskan cara pengamanan dan perlindungan benda-benda cagar budaya dengan latar budaya dan falsafah yang terkandung di dalamnya. Atau memang keseragaman itu yang menjadi tujuan?

Yang penting, asal benda cagar budaya itu sudah diamankan. Sungguh Sayang! (Nurhadi Rangkuti, arkeolog tinggal di Yogyakarta)

Artikel Terkait