[ARSIP HAI]
Maria Ulfah, perempuan Indonesia pertama yang bergelar Sarjana Hukum. Dia juga adalah wanita pertama Indonesia yang menjadi menteri.
Artikel ini pertama tayang di Majalah HAI edisi 30-IV-1980 dengan judul "Mariah Ulfah Subadio: Wanita yang Pertama Bertitel SH" oleh Sn Moenadi
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -"Ayah, saya akan membela kaum saya," begitulah janji yang dikeluarkan gadis 12 tahun kepada ayahnya. Namanya Maria Ulfah Subadio.
Janji itu dia ucapkan setelah hatinya tergetar melihat nasib seorang ibu. Ibu tersebut diceraikan suaminya, karena pasangan tersebut tidak dikaruniai anak. Kemalangan nasib ibu, menyentuh hati Maria kecil.
Ayah Maria adalah seorangBupati di tanah Jawa. Dia sendiri lahir di Kuningan, Jawa Barat, 18 Agustus 1911.
Maria Ulfah berasal dari keturunan 'menak',ningrat ala Tanah Pasundan.Ayahnya bernama Mohammad Achmad, bupati Serang, yang menjabat tahun 1923.
Maria adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Sebagai informasi, salah satunya adiknya yang bernama Ny. Priono adalah ibu dari sutradara kenamaan Ami Priyono.
Masa sekolahnya, dari tingkat dasar sampai atas, diselesaikan di Jakarta. Tetapi tingkat perguruan tinggi Maria Ulfah belajar di Universitas Leiden.
Maria berangkat ke negeri Belanda pada 1929 ketika usianya 18 tahun. Beruntungnya Maria lahir di keluarganya yang progresif dan berpandangan luas.
Ayah Maria Ulfah dalam mendidik anak-anaknya tidak membedakan pendidikan antara anak laki-laki dan wanita.
Mulanya sang ayah menghendaki agar Maria sekolah dokter atau apoteker. Alasannya, ayah tidak suka kalau Maria Ulfah menjadi pegawai pemerintahan.
Ayah menginginkan agar dia dapat berdiri sendiri tanpa tergantung dengan siapa pun. Maria menolak, sebab ia tidak berminat di bidang kedokteran atau apoteker.
Karena apoteker memerlukan waktu tujuh tahun. Kedokteran, segan, takut melihat darah. Sedangkan belajar di kuliah hukum waktunya cukup empat tahun.
Dengan waktu yang sesingkat itu, Maria tentu cepat bekerja, mencurahkan ilmunya demi kepentingan kaum wanita. Di negeri Belanda dia giat belajar.
Di sana dia ingin membuktikan kepada ayahnya bahwa dia sanggup menyelesaikan belajar tepat pada waktunya. Ternyata memang benar, dia berhasil menggondol sarjana hukum, tahun 1933.
Maria Ulfa adalahperempuanIndonesia pertama yang menyandang gelar SH.
Selama belajar di negeri Belanda, Maria menyewa kamar yang lumayan besar. Dua ruangan, satu ruangan untuk kamar tidur dan satunya digunakan sebagai tempat belajar.
Di tempat ini dia menabung, menyisihkan uang kiriman dari ayahnya yang tidak pernah telat. Soal makan terkadang dia masak sendiri, begitu juga mencuci ataupun menyetrika pakaian. Pokoknya semuanya dia atasi.
Teman belajar Maria Ulfah yang dari Indonesia di antaranya Siti Sundari adiknya Dr Sutomo, kakak kelasnya. Jarang orang Indonesia yang belajar di Universitas Leiden pada waktu itu. Hanya beberapa orang saja.
"Orang Indonesia yang belajar di Universitas Leiden angkatan saya dapat dihitung dengan jari. Dan kebetulan ketika mulai menjadi mahasiswa saya sempat dipelonco ratu Juliana." katanya kepada Hai.
Ada pengalaman unik sewaktu Maria Ulfah dipelonco ratu Juliana. Acara perpeloncoan diadakan di rumah Juliana, di Catwijk Anze.
Ketemu Juliana di rumah susah, padahal perlu minta tanda tangan. Tetapi Maria Ulfah bisa juga. Lewat jendela dapur.
Tapi lewat jendela dapur ternyata ada resikonya, dengan tidak sengaja Maria Ulfah kejatuhan piring, cangkir, termos yang mengakibatkan benda-benda di dapur pada berantakan semua. Dan tatkala Juliana berkunjung ke Indonesia, tahun 1971 kenangan manis itu teringat lagi.
Maria Ulfah dan Juliana saling bercanda mengingat peristiwa masa lalunya.
Berkenalan dengan Syahrir
Di negeri Belanda dia sering berbicara di depan mahasiswa, menentang pemerintah Hindia Belanda. Banyak juga teman-temannya yang menegur, agar hal itu jangan Maria lakukan. Apalagi dia anak seorang bupati.
Ini bisa dibayangkan, betapa sulitnya posisi ayahnya. Di satu pihak si ayah bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial, di pihak lain harus melindungi putrinya.
Ayah Maria tidak melarang apa yang dilakukannya, malah memberikan semangat. "Selama kamu dapat mempertanggung jawabkan, tidak apa-apa. Kamu sudah dewasa", kata Maria Ulfah mengingatkan kembali omongan ayahnya.
Di negeri Belanda dengan gigihnya dia berjuang untuk kepentingan bangsanya agar bisa merdeka. Sikap nasionalisme tumbuh pada dirinya dan dia sangat terkesan atas bukunya Bung Karno, berjudul Indonesia Menggugat.
Buku ini -- yang pada 1930-an dianggap sebagai buku teralarang -- dibeli di Belanda. Saking aktifnya berorganisasi, dia dapat kenal dengan tokoh pergerakan seperti Syahrir dan Bung Hatta.
Waktu kembali tahun 1933, Maria tidak langsung bekerja. Dia cuti dulu ke Kuningan, membantu ayah.
Tapi itu tidak lama, hanya empat bulan. Dia memulai karirnya bekerja sebagai guru bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Ketatanegaraan di Perguruan Rakyat dan Perguruan Muhammadiyah.
Di tempat inilah dia bertemu dengan mahasiswa-pelajar pergerakan nasional, antara lain Wilopo, Amir Sjarifudin, Muh. Yamin, hingga Juanda. Menjadi guru di zaman pergerakkan gaji kecil, tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Tapi hal itu bukan menjadi hambatan berjuang. "Masalah gaji terkadang tidak terpikir. Semuanya terpusat pada semangat pergerakan," katanya.
Tidak heranlah kalau Maria Ulfah ikut dalam Kongres Perempuan Indonesia ke-2 pada 1935.
Setelah Jepang masuk ke Indonesia, dia bekerja membantu Prof. Soepomo sebagai penterjemah perundang-undangan dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Inggris. Pada 1945, ketika Departemen Luar Negeri berdiri dia mendapat tugas sebagai perwira penghubung antara pemerintah RI dengan Sekutu.
Pekerjaan ini jelas berbahaya, apalagi dilakukan oleh seorang wanita. Terlebih karena Belanda masih bercokol di belakang Sekutu dan siap menembak siapa saja yang pro sama Republik Indonesia.
Pada kabinet Sjahrir kedua Maria Ulfah diangkat sebagai Menteri Sosial RI. Maria menjadi menteri perempuan Indonesia yang pertama.
Tugas sebagai menteri menyita segala tenaga, memikul tanggung jawab besar. Dia terjun langsung, mengeluarkan wanita dan anak-anak dari kamp tahanan Jepang.
Terkait perannya sebagai seorang menteri perempuan, dia teringat perkataan Sutan Sjahrir.
"Kenapa dia memilih saya sebagai menteri? Syahrir ingin membuktikan pada Belanda bahwa RI bukanlah republik boneka Jepang. Salah satu cara adalah dengan memperlihatkan bahwa wanita diberi kedudukan sama dengan kaum pria. Ini sesuai dengan UUD 45. Sebab pada pemerintah Jepang peranan wanita dalam pemerintahan tidak ada. Mulanya saya terkejut Sjahrir meminta kesediaan saya untuk menjadi Menteri Sosial, tapi penawaran itu toh akhirnya saya terima juga." Begitu cerita Maria Ulfah.
Zus Ice
Oleh teman-teman seperjuangan, Sjahrir, Bung Hatta, Juanda, dan Muh. Yamin, Maria Ulfah dipanggil Zus Ice. Bung Karno tidak begitu senang dengan nama panggilan itu, soalnya beraksen Belanda.
Bung Karno sering menyebut nama lengkap.
Seluruh hidupnya Maria Ulfah dicurahkan buat pergerakkan kemerdekaan. Meski begitu, Maria masih tetap berkeinginan untuk berkeluarga. Dia menikah saat usianya 25 tahun.
"Agak terlambat. (Suami) pertama Pak Santoso ... Saya ketemu Pak Santoso ketika jadi guru di Perguruan Muhammadiyah, begitu kawin saya di Yogyakarta dan Pak Santoso di Solo. Seminggu sekali giliran 'apel'," ceritanya.
Dengan Pak Santoso Maria mendapatkan anak satu yang kemudian jadi insinyur. Setelah Pak Santoso meninggal, Maria Ulfa menikah lagi untuk kali kedua.
Maria Ulfa juga punya pandangannya sendiri terkait Kartini. Dia bilang:
"Ide-idenya masih relevan. Coba kita bayangkan, anak gadis dari keluarga bangsawan yang dipingit punya pikiran maju. Dia memikirkan tentang kaumnya secara lurus. Kartini tidak menyetujui poligami, mencoba meningkatkan kehidupan para pengrajin, dan masalah keluarga berencana."
Di akhir-akhir masa tuanya, Maria Ulfa tetap tak bisa "diam". Di antaranya pernah menjadiKetua 5 Dewan Koperasi Indonesia. Di Dewan Koperasi Indonesia ini dia membawahi bidang hukum dan konsultasi.
Jabatan itu agak ringan, dibanding tahun 1958, sebagai ketua delegasi Indonesia pada Konferensi Wanita Asia Afrika di Colombo.
Di situ Maria Ulfah dianggap sebagai penyelamat konferensi yang hampir bubar — karena adanya sengketa antara Turki dan Taiwan. Karena berjasa menyelamatkan Konferensi Wanita Asia Afrika, maka dia ditawarkan oleh Sekretariat PBB-Unesco untuk dicalonkan sebagai ketua State of Women Commission di Eropa.
Tawaran itu dia tolak, sebab dia masih mementingkan keadaan di dalam negeri.