Dia tidak suka diremehkan. Tidak suka ke dapur. Tidak suka kaumnya dihina, apalagi dimadu. Sujatin Kartowijono termasuk yang paling gigih memperjuangkan hak perempuan.
Artikel ini pertama tayang di Majalah HAI dengan judul "Sujatin Kartowijono" pada September 1986
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dalam urusan memperjuangkan hak-hak perempuan, sejak masa sebelum merdeka, hingga Orde Baru, mencuat tokoh yang gigih. Namanya: Sujatin Kartowijono. Siapakah dia?
Ada satu kota kecil. Mungkin sebuah desa di antara Yogyakarta dan Kroya di Jawa Tengah. Sumpiuh, nama tempat itu. Di atas tanah yang penuh dengan kebun tebu itulah Sujatin melewatkan masa kanak-kanak.
Ayahnya, Joyohadirono, seorang kepala stasiun. Kepada dialah Sujatin paling dekat. Bagaimana tidak, begitu lepas dari buaian ibunda, sang ayahlah yang langsung mendidiknya.
Bareng saudara-saudaranya, Sujatin tidak hanya diajari membaca dan olahraga.
Lebih dari itu, dia mendapat pegangan hidup yang mantap. Yang diberi ayahnya lewat dongeng-dongeng. Ini merasuk dalam jiwa Sujatin yang kontan menumbuhkan kebenciannya kepada ketidakadilan.
Karena itulah diaselalu tergerak membela orang yang dilanggar hak asasinya. Dan yang paling penting, dari ayahnya, dia dapat pandangan hidup atau sikap mulia: Tidak berpangku tangan menikmati hidup.
Cinta Kartini
Mengenyam pendidikan di bangku sekolah buat kaum pribumi di masa itu sungguh suatu angan-angan indah. Begitu pula yang dialami Sujatin. Betapa dia menantikan masa masuk sekolah.
Bertiga dengan saudara-saudaranya, dia dimasukkan ayahnya ke Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar melayu berbahasa pengantar Belanda di Karanganyar. Wow!
Betapa senang hatinya. Tidak hanya perjalanan ke sekolah naik kereta api yang menggelembungkan hatinya, lebih dari itu kegemarannya membaca buku makin mendapatkan wahana lebih luas.
Dia jadi bisa membaca buku-buku karya penulis-penulis dunia, macam Winnetou & Old Shatterhand-nya Karl May, atau cerita-cerita yang berisi petuah karya H.C. Andersen. Kapan dia berkenalan dengan Kartini?
Suatu hari, ketika Sujatin masih duduk di kelas tiga HIS, seorang kakaknya bercerita tentang saat kelahirannya, tahun 1907, di desa Kalimenur, Wates, Yogyakarta. Diceritakan, betapa dingin sikap ayahnya begitu tahu anaknya yang lahir perempuan lagi.
Padahal ayahnya sangat mengharapkan bayi laki-laki, setelah tiga orang anaknya, perempuan berturut-turut.
Cerita ini sungguh pilu di hatinya, tapi justru memacu semangatnya untuk berprestasi lebih tinggi dari kaum lelaki. Apalagi setelah Sujatin membaca buku Door Duisternis Tot Licht atau terjemahannya Habis Gelap Terbitlah Terang, yang berisi surat-surat Ibu Kartini, wah makin keras tekadnya membela kaum wanita yang tertindas.
Dia ingin meneruskan cita-cita Kartini yang terbengkalai.
Cinta Organisasi
Tahun 1922, ketika berusia 15 tahun, Sujatin masuk ke MULO di Yogyakarta. Nah, pada masa remaja inilah minatnya pada kegiatan organisasi mulai tumbuh.
Dia meniru kegemaran sang Ayah yang juga berorganisasi. Di Sumpiuh dulu, ayahnya pernah mendirikan Boedi Utoemo.
Sebagai permulaan, dia masuk dan jadi pengurus perhimpunan Jong Java bagian perempuan. Kemudian diangkat jadi penulis dan redaktur majalah Jong Java, lantaran hobinya menulis gagasan pikirannya kepada umum sering lewat tulisan.
Keberaniannya mengungkapkan kebenaran makin nampak. Ini terlihat ketika dia tidak mau menyembah di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dan pembesar Belanda, saat perhimpunan Jong Java mendapat hadiah pertama pada suatu pawai besar di Yogyakarta.
Sikap Sujatin yang dianggap radikal pada masa itu, mencerminkan kemuakannya pada perlakuan sewenang-wenang terhadap wanita dalam lingkungan keraton.
Dia berang melihat wanita di istana yang sering diperlakukan bak barang dagangan belaka. Boleh dijadikan selir, dan kalau sudah bosan bisa dihadiahkan kepada orang lain.
Tapi, yang lebih menjengkelkan dirinya, kok kaum wanita diam saja. Tidak ada usaha untuk melawan. Pasrah!
Cinta Pergerakan
Setelah belajar di MULO, Sujatin berhasrat melanjutkan sekolah ke Rechts School di Jakarta. Jebolan sekolah ini bakal jadi seorang ahli hukum.
Tapi sayang, impina itu tidak kesampaian. Biaya sekolah kelewat tinggi. Dia tidak tega membebani ayahnya yang sudah berangsur tua.
Akhirnya, Sujatin memilih ke sekolah guru. Dia berpikir, sebagai pendidik, usaha menjual' semangat Jong Java kepada generasi muda semakin meluas.
Ketika diadakan Kongres Perempuan Indonesia pertama, 22 Desember 1928 (peristiwa yang kemudian dijadikan sebagai Hari Ibu), Sujatin sudah menunjukkan bakat kepemimpinannya.
Dan makin nyata pula pada kongres serupa, Desember 1929 di Jakarta. Sujatin sampai kelabakan menenangkan histeris massa yang riuh memekikkan, "Merdeka! Merdeka!" Pada masa-masa inilah dia berkenalan dengan Bung Karno yang begitu dikaguminya.
Kegiatan pergerakan banyak menyita waktunya. Sehingga Sujatin pun rela putus pacaran dengan seorang tunangannya.
Namun pergerakan pulalah yang menemukannya dengan pemuda Pudiarso Kartowijono. Seorang murid Bung Karno dan penganut jalan pikiran Dr. Setiabudi.
Saat itu, pas acara peringatan Hari Kartini, tahun 1932, Sujatin jadi ketua peringatan. Nah, pemuda Pudiarso datang sebagai tamu, dan langsung menambat hatinya. Akhirnya kedua insan ini menikah tanggal 14 September 1932.
Cinta Kebebasan
Masa pendudukan Jepang dilewati Sujatin dengan mengajar di Sekolah Guru Kepandaian Putri daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Hingga Indonesia merdeka.
Perjuangan belum usai. Revolusi fisik meletus. Bareng perkumpulan WANI (Wanita Negara Indonesia) dia turut berjuang. Menghimpun rekan-rekannya sebagai petugas Palang Merah dan menyiapkan dapur umum di kubu-kubu pejuang Indonesia.
Keberanian Sujatin yang kadang di luar harkatnya sebagai wanita tidak hanya nampak di garis belakang. Dia juga sering terlibat langsung dengan pertempuran. Tak heran, bila namanya masuk daftar pejuang Republik yang dicari-cari pihak Belanda.
Bagaimana dengan niatnya yang hendak mengumpulkan wanita Indonesia supaya bersatu dalam satu wadah?
Di tengah revolusi fisik yang riuh, Sujatin tetap teguh dengan niatnya. Tanggal 7 Desember 1946 dia menyiapkan pembentukan organisasi PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia).
Di samping itu menyiapkan pula kongres wanita di Surakarta dan Madiun, guna membentuk federasi perkumpulan wanita se-Indonesia. Kemudian barulah tanggal 11 Juni, perkumpulan yang diberi nama KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) terbentuk di Madiun.
Di situ Sujatin ditunjuk jadi ketua umum-nya.
Debutnya dengan Perwari yang paling dahsyat yakni ketika 17 Desember 1953, dia berhasil mengumpulkan tak kurang 3000 wanita dari pelosok Jakarta, dalam rapat umum di lapangan Monas (sekarang).
Sujatin tampil sebagai pembicara yang mendesak pemerintah agar segera membentuk Undang-Undang Perkawinan dan mencabut Peraturan Pemerintah (PP) no. 19, yang isinya antara lain merugikan kaum wanita.
Tidak terbatas hanya rapat raksasa yang dilakukan Sujatin, kelanjutannya dia bersama empat temannya, jalan kaki menuju istana. Dia hendak menyodorkan petisi kepada Presiden Soekarno.
Ketika petisi itu disodorkan Sujatin, Bung Karno dengan baik menyambutnya. Tapi beberapa bulan kemudian (Tahun 1954) Bung Karno malah mengecewakannya. Bung Karno kawin lagi. Ibu Fatmawati dimadu dengan Hartini.
Meskipun dianggap sia-sia, Sujatin datang lagi ke Bung Karno. Protes keras Bung Karno berpoligami.
Semangatnya pun tidak kendur. Dia makin giat mengadakan demonstrasi antipoligami di daerah-daerah. Akibatnya, 1 Januari 1955, dia dipensiunkan dari jabatannya di pemerintah, sebagai Kepala Pendidikan Wanita Non-Formal.
Tahun 1953, Sujatin sudah mencetuskan dibentuk U.U Perkawinan, tapi baru 20 tahun kemudian (1974), undang-undang yang isinya antara lain menjamin kaum wanita tidak boleh seenaknya dimadu, diundangkan. Alhamdulillah, katanya.
Sujatin, sudah lelah. Tahun 1982, sekitar bulan Mei dia terbaring di rumah sakit, lantaran serangan bermacam penyakit. Penyakit gula di antaranya. Akhirnya, 1 Desember 1983, Sujatin dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa.
Ingatan pun langsung berkilas balik ke tahun 1982, saat dia berbaring sakit. Hari itu pas Hari Ibu, 22 Desember.
Dia, tentu saja tidak bisa ikutan merayakan di muka umum. Kepada wartawan Tempo, dengan lirih dia berkata, "Perayaan Hari Ibu sekarang seperti pameran saja, hanya untuk show. Sebaiknya perayaan-perayaan serupa itu diganti saja dengan bakti sosial — atau paling sedikit seminar untuk menilai perkembangan wanita Indonesia!"
Demikian Sujatin yang memegang penghargaan Satya Lencana Pembangunan 40 tahun dan medali emas Perintis Pendidikan Wanita.
-------------------------------------------
BOKS
Peran Sujatin dalam Kongres Perempuan I
Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda menginspirasi banyak kalangan, tak terkecuali para perempuan. Pada22-26 Desember 1928 di Yogyakarta, terselenggaralah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama.
Tapi sayang, tak banyakcatatan yang menjelaskan lebih rinci mengenai alasan atau sejarah terbentuknya Kongres Perempuan Indonesia.
Meski begitu, yang dapat diketahui adalah bahwa sebelum Kongres Perempuan Indonesia terlaksana, sudah ada beberapa nama perempuan yang melakukan pergerakan bagi bangsa dan lingkungannya.
Setidaknya ada tiga sosok yang dianggap sebagai penggagasKongres Perempuan Indonesia pertama ini. Mereka adalah Nyi Hadjar Dewantara, Ny Soekonto, dan Sujatin Kartowijono.
Nyi Hadjar dari Wanita Taman Siswa, Ny Soekonto dari Wanita Oetomo, dan Sujatin dariPoetri Indonesia.
1. Nyi Hadjar Dewantoro
Dalam Kongres Perempuan Indonesia, Nyi Hadjar Dewantara mewakili organisasi Wanita Taman Siswa. Dia lahir pada 14 September 1890 dengan nama Raden Ajeng Sutartinah.
Dia menjalankan pendidikannya di Europeesche Lagere School dan selesai tahun 1904. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru dan menjadi guru bantu di sekolah yang didirikan oleh Priyo Gondoatmodjo.
2. Ny Soekonto
Soekonto memiliki nama kecil Siti Aminah. Dia lahir pada 5 Agustus 1889 di Temanggung, Jawa Tengah.
Soekonto adalah kakak kandung dari salah satu mantan perdana menteri Indonesia, yaitu Ali Sastroamidjojo. Sewaktu kecil, Soekonto adalah seorang anak perempuan yang tidak pandai membaca dan menulis.
Dia baru bisa membaca dan menulis setelah menikah dengan suaminya, Dokter Soekonto, seorang lulusan STOVIA (sekolah dokter di Jawa).
Setelah menikah dan menetap di Yogyakarta, Ny Soekonto mulai aktif dalam organisasi perempuan pertamanya, yaitu Wanita Oetomo.
3. Sujatin Kartowijono
Ketika Kongres Perempuan Indonesia dilaksanakan, Sujatin Kartowijono masih berusia 21 tahun dan dia berprofesi sebagai seorang guru muda. Saat itu Sujatin sedang menjadi Ketua Poetri Indonesia yang anggotanya adalah wanita-wanita muda terutama guru.
Selain itu, dia juga sibuk menjadi pengurus Wanita Oetomo. Sujatin juga pernah menjadi ketua aktif dalam beberapa organisasi perempuan lainnya, seperti KOWANI dan PERWARI.
Atas perjuangan dan jasanya, Sujatin Kartowijono dianugerahi penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial tahun 1961 dan Satya Lencana Pembangunan tahun 1968.
Ada empat organisasi lainnya yang juga turut memprakarsai terlaksananya Kongres Perempuan Indonesia, yaitu:
- Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling
- Jong Java Dames Afdeeling
- Wanita Katholik
- Aisyiyah
----------------------------