Yos Sudarso dan Lahirnya Seorang Pahlawan Aru yang Penuh Welas Asih

Tim Intisari

Editor

Yos Sudarso dikenal sebagai pemimpin yang sangat dekat dengan anak buahnya. Dia juga lebih banyak menyontohkan dibanding memerintah. Komodor Yos adalah pemimpin penuh welas asih dan jujur (Wikipedia Commons)
Yos Sudarso dikenal sebagai pemimpin yang sangat dekat dengan anak buahnya. Dia juga lebih banyak menyontohkan dibanding memerintah. Komodor Yos adalah pemimpin penuh welas asih dan jujur (Wikipedia Commons)

Yos Sudarso dikenal sebagai pemimpin yang sangat dekat dengan anak buahnya. Dia juga lebih banyak menyontohkan dibanding memerintah. Komodor Yos adalah pemimpin penuh welas asih dan jujur.

Dari buku Sketsa Tokoh karya Jakob Oetama

---

Intisari hadir di WhasApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Ini penuturan Letnan F.X. Suprapto, ajudan Komodor Yosephat Soedarso (Yos Sudarso).

"Saya sedang duduk di long room Motor Torpedo Boat (MTB, kapal cepat torpedo) KRI Matjan Tutul, jam 9 malam waktu setempat. Tak lama kemudian masuk Komodor Yos. Saya bangkit, tetapi ditahan, katanya, 'Mengasolah terus, masih jauh'."

"Masih berapa mil, Komodor?"

Jawabnya, "Kira-kira 90 mil, kapal bergerak 20 mil sejam. Masih ada waktu. Tidurlah dulu." Sebelum melangkah masuk kamar, dia berpaling, "Sudah sembahyang?"

Suprapto agak terkejut, "Memang ada apa, Komodor? Kan tidak ada apa-apa?"

"Ah, siapa tahu. Kalau ada apa-apa bagaimana?" Lalu dia masuk ke kamar, saya lihat dia bersembahyang. Saya pun mengikutinya.

Malam itu terang bulan. Sinarnya sebentar tenggelam sebentar muncul dari selimut kabut. Kira-kira 20 menit kemudian ada perintah siap.

Dua pesawat terbang jenis pembom Neptune dan pemburu jenis Firefly bermotor satu melintasi formasi ketiga MTB kami. Terbang tanpa lampu, hanya setinggi 3.000 kaki. Mereka balik mengelilingi pasukan Indonesia.

Pesawat terbang musuh. Disusul gema dua kapal yang tampak pada radar. Sebuah di belakang, sebuah lagi di lambung kanan belakang kapal Indonesia. Kebetulan sinar bulan terang. Pada cakrawala tampak bayangan dua kapal. Yang di belakang dua cerobong asapnya.

Cerobong asap di muka, puncaknya agak melengkung ke belakang. Tak ayal lagi itu pasti destroyer. Yang satunya lagi juga jenis destroyer, hanya berukuran lebih kecil, hanya punya satu cerobong asap.

Tanpa terduga, tiba-tiba kedua kapal perang Belanda tersebut menembakkan peluru suar dari meriam kaliber 12 cm. Disusul oleh nyala flares (cahaya) yang dijatuhkan dua pesawat terbang musuh.

Posisi ketiga kapal torpedo Indonesia menjadi terang benderang. Seketika itu pasukan Indonesia agak panik, menghadapi serangan mendadak. Suprapto melihat Komodor Yos terkejut sejenak. Tetapi segera tenang kembali dan menguasai keadaan.

Dia ambil oper pimpinan dari Kapten Wiratno, komandan kapal patroli yang berada sekapal dengan Komodor Yos di KRI Matjan Tutul. Segera dia perintahkan tembakan balasan dan komando, "Kobarkan semangat pertempuran."

Keteladanan, bukan perintah

Tembakan meriam musuh makin dahsyat sambil mendekati kapal-kapal MTB, kelihatan jelas hendak mengepung. Situasi gawat. Ketiga kapal mulai terancam.

Tiba-tiba datang perintah Komodor Yos, "Ubah haluan." KRI Matjan Tutul diperintahkan keluar dari formasi langsung menuju ke musuh.

Tembakan lawan kini dipusatkan ke Matjan Tutul. Ini disengaja oleh Komodor Yos sebagai jalan satu-satunya untuk menyelamatkan dua kapal lainnya.

Bagian depan KRI Macan Tutul terkena. Komodor Yos perintahkan, "Kita terjang kapal lawan. Kita tenggelam bersama kapal."

Tapi kapal tak terkendalikan lagi, karena kena tembakan meriam. Kemudian dia tak sadarkan diri. Terlempar ke laut oleh derak meriam yang tepat kena pada ruangan bawah tempat Suprapto berdiri.

Letnan Suprapto terlempar pingsan ke dekat buritan kapal. Dia sendiri heran mengapa tidak meninggal. Ketika siuman, dia segera berusaha mencari Komodor Yos, namun tak tampak.

Sebagian kapal sudah termakan api. Dia duduk di tepi tanpa niat hendak mencebur ke laut. Apa gunanya?

Tetapi kapal miring, dia tergelincir jatuh ke laut. Diisap putaran air, masuk ke dalam. Dia sadar pada waktu itu dan berkata dalam hati, "Begini rasanya kalau orang akan mati."

Dia sudah menyerah kepada Tuhan. Ternyata kemudian timbul lagi. Kini dia mulai sadar benar. Pernapasan mulai bisa diatur, itu satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.

Tak lama kemudian datang pertolongan teman-temannya yang berada dalam perahu karet. Disusul kedatangan kapal musuh.

Bersama teman-temannya dia ditawan di Irian Barat (sekarang Papua - Red). Sebagai seorang perwira, dia memang tidak disiksa.

Hanya dimasukkan ke dalam kamar kecil, tinggi atapnya tak sampai 3 meter. Lampu 100 watt dinyalakan siang malam, sehingga kepalanya rasa-rasa seperti di bor.

Seorang kelasi menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Dia melihat Komodor Yos membalut luka di bagian kepala. Mendadak tembakan dari jarak dekat meletus. Kelasi tersebut jatuh tiarap.

Ketika bangkit, tak dilihatnya lagi Komodor Yos. Rupanya dia mengalami luka berat. Tetapi masih sempat masuk ke ruangan peta.

Di situ ada radio walkie talkie. Dengan peralatan tersebut Komodor Yos menyampaikan pesan terakhir, "Kobarkan semangat pertempuran. Matjan Tutul tenggelam dalam pertempuran laut secara gentleman and brave (ksatria dan berani)."

Demikian keterangan Letnan Suprapto.

Kenapa Komodor Yos turut di kapal?

Jawabnya, "Orang harus tahu sifat beliau, baru dapat menilai. Sudah menjadi wataknya selalu hendak lebih dahulu menjalankan tugas-tugas berat yang harus dijalani anak buahnya. Seorang perwira justru harus memberikan teladan, sehingga tidak hanya pandai menjatuhkan perintah. Ini sudah menjadi sifatnya."

Seorang perwira lain berkeluh kesah atas gugurnya Yos, "Kau selalu dekat dengan kami anak buah, terutama dalam saat-saat kritis. Kau selalu dengan kami dan berada paling depan terutama dalam keadaan-keadaan maut mengancam."

Seorang tamu yang berkunjung pernah melihat Komodor Yos sedang membersihkan senjata. Tamu tersebut heran dan bertanya, mengapa seorang komodor membersihkan senjatanya sendiri?

Komodor Yos menerangkan, esok hari dia akan turut latihan pendaratan KKO (Korps Komando, kini Marinir) di pantai Jawa Barat. Tamu tersebut heran. Tetapi, itulah pribadi Yos.

Yang jelas, apa yang dilakukan oleh Komodor Yos adalah perbuatan beyond the call of duty, di luar panggilan tugas. Tetapi baginya, itulah keputusan menurut suara hati.

Bukan peristiwa berdiri sendiri. Tetapi sekadar kelanjutan dari watak kepemimpinan yang di atas segala-galanya, hendak memberi teladan, bersama anak buah dalam saat-saat gawat.

Ada alternatif lain baginya ketika ketiga MTB tersebut dikepung. Mengadu nasib bersama dengan risiko lebih kecil bagi dirinya sendiri.

Tetapi bukan Yos Sudarso, kalau dia tidak memilih apa yang dipilihnya. Rela mengorbankan diri demi keselamatan orang lain. Ini sudah menjadi pola hidupnya. Mari kita ikuti dari masa mudanya.

Tragedi Laut Aru yang menewaskan Komodor Yos Sudarso menjadi salah satu fase gelap angkatan bersenjata Indonesia. Siapa yang salah sebenarnya?
Tragedi Laut Aru yang menewaskan Komodor Yos Sudarso menjadi salah satu fase gelap angkatan bersenjata Indonesia. Siapa yang salah sebenarnya?

Hati yang tersayat

Rumah Soekarno, pensiunan agen polisi, terletak di tengah Kampung Gladakan, Salatiga. Rumah papan, yang sebagian sudah mulai ditembok. Rupanya lama terbengkalai.

Untung kemudian ada anemer, kontraktor bangunan asal Yogyakarta, atas biaya ALRI akan melanjutkan perbaikan rumah tersebut.

Lebih menyedihkan lagi suasana dalam rumah. Kursi-kursi tua, meja tanpa taplak. Ada gambar Ignatius Slamet Rijadi di dinding samping. Tetapi di tengah, di atas pintu yang masuk ke ruang tengah, terpancang megah gambar Yosaphat Sudarso dalam pakaian upacara Komodor Angkatan Laut Republik Indonesia.

Amat betah tampaknya gambar itu di sana, sebab inilah rumah tempat dia dibesarkan. Soekarno, lelaki berusia 68 tahun -- ketika itu tahun 1964 -- yang berbaju kaos kutung putih, bersarung tanpa sandal, beraroma penuh derita itu adalah ayah Pahlawan Pertempuran Aru tersebut.

Ketika Intisari menggunakan kata "almarhum" untuk menyebut Yos Sudarso langsung dia betulkan, "Jangan dikatakan almarhum."

Pak Karno ketika itu belum percaya, putranya sudah gugur. Katanya, "Ketika adiknya yang di Jakarta sakit, saya merasa dari jauh. Masa palang punggung saya tak ada, hati saya tidak merasa apa-apa."

Yang disebut palang punggung adalah Sudarso. Setelah gugurnya Yos Sudarso, beberapa perwira ALRI datang menghibur dengan membawa bingkisan. Seorang perwira tinggi datang memberikan sejumlah uang sambil berpesan, "Kalau Bapak perlu apa-apa kirim surat saja kepada saya."

Alamat ditinggalkan tetapi kesetiakawanan perwira akan putranya tidak dipergunakan oleh Pak Karno. "Saya berterima kasih atas keakrabannya dengan anak saya. Tetapi, saya merasa tidak ada urusan dengan dia. Seandainya saya kirim surat kepadanya, bisa saja dikatakan kurang ajar."

Sejak putranya diberitakan gugur, Pak Karno belum berkunjung ke Jakarta. "Hatiku tidak akan kuat menyaksikan keadaan cucu-cucuku (tiga orang, dua lelaki, satu perempuan) yang ditinggalkan ayahnya dan menantuku yang ditinggalkan suaminya."

Hidup dari pensiun dan beratnya penderitaan tercermin pada raut muka Pak Karno. Tetapi raut mukanya keras juga dan hatinya tak mau ndretnis, pantang berjiwa minta-minta.

Tuturnya, "Kalau nanti ternyata anak saya Darso memang sungguh-sungguh gugur, saya ikhlaskan, karena dia gugur dalam perjuangan sebagai pupuk kemerdekaan!"

Dia ikhlas, dan tidak mengharapkan balas jasa. Sambungnya, "Sekarang ini saya memang sedang menerima cobaan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tinggal saya kuat atau tidak. Kalau kini saya kuat, nantinya pasti akan mendapatkan anugerah yang setimpal dari-Nya."

Benci kecurangan

Sedang asyik kami berbicara, mendadak terdengar suara wanita menangis, berkeluh kesah dari balik kamar. Bu Karno, yang sedang menderita sakit, tidak tahan mendengar kata-kata suaminya menceritakan kenangan tentang putranya.

Katanya dengan suara terputus-putus, "Sudahlah, jangan suka bicara banyak tentang anak kita. Hatiku rasa-rasanya seperti ditarik-tarik."

Boleh jadi Bu Karno terkenang akan peristiwa 38 tahun lewat, ketika dia menuruti hasrat hatinya pergi ke pantai Semarang. Rasa-rasa anak dalam kandungannya mendesak-desak mengajak dia bertamasya ke laut.

Ketika tiba bulannya, tepat tanggal 26 Maret 1925, lahirlah anaknya, lelaki dan diberi nama Sudarso. Ibu gembira, ayah senang, Sudarso persis seperti kakaknya yang meninggal setahun sebelumnya, ketika baru berusia empat tahun.

Kakak tersebut bernama Soewarno, meninggal karena terbakar api malam (lilin untuk membatik) yang dipakai ibunya untuk membatik.

Sejak itu Bu Karno tak lagi membatik.

Dua tahun kemudian, Sudarso mendapat adik lelaki, namanya Soedargo yang kemudian menjadi guru di Jakarta. Orangtua mereka senang anak lelaki. Maka giranglah hati Bu Karno ketika sedang mengandung Soedargo, dia melemparkan belahan kelapa.

Kalau telungkup lelaki, telentang perempuan. Belahan kelapa jatuh tertelungkup dan tepat: adik Sudarso laki-laki. Hanya dua bersaudara itu saja, tak ada lainnya.

Sekali waktu Soedargo pulang main, haus sekali. Dilihatnya ada kelapa muda. Cepat-cepat dibelahnya tetapi dilarang oleh ibunya, "Jangan itu punya kakakmu, nanti dia marah."

Begitu si ibu pergi, dibelah juga oleh Soedargo dan airnya diteguk sampai habis. Darso marah. Dia diam sampai lama sekali tak mau berbicara dengan adiknya.

Tetapi ketika seorang kemenakan main curang terhadap adiknya, Darso turun tangan. Hampir terjadi perkelahian sengit dengan senjata tajam kalau tak keburu dilerai oleh Pak Karno.

Sejak kecil Sudarso berontak terhadap kecurangan. Ini salah satu sifatnya yang khas.

Baik Dargo maupun ayahnya masih ingat akan ketaatan Darso kepada orangtua. Kalau pergi ke sekolah dia ditugaskan menggandeng tangan adiknya.

Tugas ini dengan setia dilakukan setiap hari. Tangan Dargo belum dilepas kalau belum sampai di sekolah. Sampai-sampai seorang residen yang melihat bertanya heran, "Itu anak siapa?"

Pria pendiam

Terhadap anak-anaknya, Pak Karno tak banyak bicara. Sehari belum tentu keluar sepatah kata. Kedua anaknya harus rajin belajar. Itu saja yang dijaga.

Kalau membelikan piyama atau celana dia letakkan di tempat tidur anaknya masing-masing tanpa berkata "Ini untukmu." Ini tentu mempengaruhi watak dan sikap Darso.

Darso pendiam, suka di kamar, melukis. Kalau dapat uang di hari Minggu, bukannya untuk jajan tetapi dibelikan kertas gambar. Teman-temannya mengagumi lukisan komik Flash Gordon buatan Sudarso.

Saat dia tak naik di kelas 6 HIS, kerajinannya belajar bukan main. Sampai jam 12 malam kuat dia sendirian di kamar menghadapi buku pelajaran.

Tak mengherankan, lulusnya kemudian nomor satu. Dia boleh masuk MULO tetapi dia memilih sekolah guru HIK Muntilan, karena cita-cita orang tuanya, biarlah Darso menjadi guru. Masuk HIK dulu, lalu meneruskan ke NIAS di Surabaya.

Orangtuanya adalah pemeluk Islam yang taat. Tetapi ketika Darso kelas 6 HIS dia dan adiknya menjadi Katolik. (Sebagai Komodor, Yos pernah mengunjungi pastor pengajarnya yang kini bekerja di Lenteng Agung. Salah satu tanda hormat dan ketaatannya kepada orang tua dan guru).

Setiap hari, Yos ke gereja membantu Pastor. Orangtuanya takut, jangan-jangan Yos menjadi pastor. Begitu pendiam, serius, tekun.

Setiap pelajar HIK Muntilan diharuskan paling sedikit menguasai satu instrumen musik. Gurunya, musikus terkenal, almarhum Pater Schouten. Guru almarhum Cornel Simanjuntak, R.A.J. Soedjasmin, Binsar Sitompul. Yos memilih biola.

Yos gagap kalau berbicara. Betul-betul menderita kalau sedang latihan melafalkan kata-kata Belanda. Dan ini dilakukan tiap hari.

Tahu sendiri, bahasa Belanda dijunjung tinggi masa itu. Peluh membasahi baju Yos, tidak jarang matanya berlinang- linang. Kata pertama sulit keluar dari mulut Yos dan sekali keluar terus menggagap. Tetapi dia tak kenal menyerah.

Kalau seorang yang gagap kemudian bisa sembuh, ini berarti orang itu kuat kemauannya. Mampu berlatih terus-menerus. Dalam hal ini antara lain Ibu Yos saksinya.

Dia sering mendengar suaminya berbicara sendiri keras-keras, lalu pelan untuk latihan menghilangkan gagapnya dan berhasil.

Setiap surat pelajar HIK tentu disensor dulu oleh Pater Schouten yang waktu itu bertugas sebagai prefek (pengawas anak-anak). Mungkin dia heran, setiap kali membaca surat Yos kepada adiknya yang masih duduk di HIS Salatiga.

Isinya bukan berita, tetapi keterangan dan jawaban gamblang tentang soal-soal hitungan.

Adiknya lemah dalam berhitung. Dulu ketika Yos masih di rumah, dia selalu mendapat pelajaran ekstra dari kakaknya. Kebiasaan itu diteruskan setelah kakaknya masuk asrama HIK Muntilan. Tetapi kini dengan perantaraan surat.

Jepang datang, sekolah guru Muntilan ditutup. Yos pulang ke Salatiga dan masuk SMP. Kepemimpinannya mulai tampak. Dia dipilih menjadi ketua kelas.

Mula-mula dia menolak. Sampai dua hari dia tak masuk sekolah. Akhirnya dia menerima juga.

Jam 7 pagi dia sudah siap di sekolah, membuka pintu dan jendela-jendela. Pulang paling akhir, kalau semua murid dan Pak Guru sudah bubar.

Sore dia datang lagi ke sekolah, turut mencangkul dan memelihara tanaman kebun sekolah. Yos tak tanggung-tanggung menjalankan tugasnya. Ini sifat lain dari pribadinya yang kuat itu!

Dia tak pernah tanggung-tanggung. Dia tak suka bersikap setengah-setengah terhadap tugas. Dedikasi bukan semboyan tetapi perwujudan hidupnya.

Masih satu kuartal lagi sebelum Yos menamatkan SMP, terpaksa dia meninggalkan kota kelahirannya, untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi Pelayaran di Semarang.

Orangtuanya semula tak setuju. Yos tak mau membantah kehendak orang tua. Kepada penulis, pernah dia katakan bahwa baginya kata orangtua adalah hukum.

Orangtuanya menghendaki dia masuk sekolah guru, dia menurut. Kalau gagal, itu bukan salahnya melainkan terpaksa oleh keadaan.

Taji ayam jantan

Revolusi kemerdekaan pecah, Yos masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut. Bersama beberapa teman dia ditugaskan ke Maluku membawa pemuda-pemuda republiken untuk menggerakkan perlawanan di sana.

Di Tegal ada dua kapal berukuran 60 ton. Kapal itu diberi mesin untuk bisa menuju Ambon. Dalam operasi gerilya laut itu pun Yos selalu di muka untuk menghadapi bahaya. Pertempuran pertama terjadi di dekat Pulau Bum.

Yos dan kawan-kawan berhasil lolos tetapi terkepung lagi di dekat Pulau Seram. Lawan jauh lebih banyak. Yos dan kawan-kawan ditawan.

Dari penjara dia menikmati alam Ambon. Dia ketawa kalau mendengar serdadu-serdadu KNIL mengejek, "Mana bisa gerilya Republik ini, menembak orang dengan senapan pemburu. Memangnya kita orang disangkanya burung?"

Kemudian dia dipindahkan ke Penjara Makasar dan baru dibebaskan tahun 1947 ketika terjadi tukar menukar tawanan. Yos dimasukkan Latihan Opsir Kilat di Kalibakung, dekat Yogyakarta.

Komandan latihan Mayor Martadinata, keduanya berjumpa lagi di kemudian hari. Martadinata sebagai Panglima Angkatan Laut, Yos Deputy I, tangan kanannya.

Pada suatu hari Presiden Soekarno datang memberikan ceramah kepada para kadet. Yos amat tertarik akan seruan Bung Karno agar pemuda "hitch your ideas upon the stars, otherwise they hang too low", gantungkan cita-citamu setinggi bintang, sebab kalau tidak akan terlalu rendah.

Yos termasuk perwira ALRI pertama yang diperintahkan untuk menerima kapal perang dari Belanda, Korvet Pati Unus. Kemudian dipindahkan ke Korvet Banteng dan beroperasi melawan RMS di Maluku.

Anak buahnya selalu jatuh cinta kepada Yos, karena dia sehidup semati dengan mereka dan penuh perhatian. Kepada para kelasi sering dia katakan dengan sungguh-sungguh, "Tahulah engkau, nasib kapal ini tergantung sama sekali dari engkau."

Rasa harga diri, kepercayaan diri ditanamkan kepada anak buah.

Pernah dia berkata kepada mereka, "Bukankah lebih baik menjadi taji ayam jantan yang sekali pun kecil tapi merupakan senjata ampuh kebanggaan si ayam jantan, daripada menjadi seekor kerbau yang sekalipun besar tanduknya, tetapi hanya kopat-kapit bertugas mengusir lalat?"

Dirinya milik negara

Pernah Yos bercerita tentang mimpinya. Dalam mimpi dia merasa mendengar suara, "Kamu membutuhkan negara sebagai tempat bernaung, tetapi negara tidak membutuhkan kamu. Karena itu jadilah abdi negara yang baik."

Olehnya mimpi itu diartikan sebagai: "Tanpa saya negara akan tetap tegak berdiri, sebaliknya tanpa negara hidup saya tak terjamin, karena tanpa negara berarti kekacauan. Karena itu saya tidak onmisbaar, bukan tidak tergantikan. Tak ada seorang pun onmisbaar dalam negara. Maka saya wajib menjadi abdi negara yang baik."

Itulah sebabnya ketika dia melamar Yosephine Siti Kustini, gadis Ngawi yang belajar di sekolah susteran Surabaya, dia katakan terus terang bahwa pada tempat pertama dia adalah milik negara, setelah itu barulah dia milik keluarganya.

Mungkin waktu itu Ibu Yos belum menangkap makna sebenarnya dari kata-kata itu. Bisa jadi disangka sekadar formalitas yang diucapkan oleh setiap perwira.

Tetapi lambat laun, sebagai istri yang tajam pengamatannya, dia menyadari, pernyataan suaminya bukan sekadar formalitas, melainkan keyakinan hatinya sesuai dengan panggilan hidupnya selaku seorang perwira.

Pernah dialami oleh adik kandungnya sendiri, Soedargo. Dia datang dari Salatiga ke Surabaya, karena kakaknya pulang dari operasi. Lama tak berjumpa, jadi kangen. Bahwa kakaknya tak banyak bicara itu dimakluminya benar.

Sudah sejak kecil, sekalipun kasih sayangnya amat besar, kasihnya tidak memanjakan. Tetapi ketika malam hari sedang duduk-duduk di asrama perwira, kakaknya berkata serius.

"Dargo maafkan. Sudarso memang kakakmu, anak Bapak dan si Mak. Tetapi Letnan Sudarso adalah milik negara. Wajib patuh akan peraturan negara. Peraturan itu tak mengizinkan orang luar tidur dalam asrama militer. Maka marilah aku carikan penginapan di luar ...."

Antikoruptor

Ada peristiwa lain lagi yang melukiskan penghayatan kata-katanya. Waktu itu Yos sudah berpangkat komodor, jabatannya orang kedua dalam pimpinan tertinggi ALRI. Adiknya berkunjung ke rumahnya. Sudah lama dia ingin belajar setir mobil.

Termakan oleh desakan kawan- kawan dia beranikan diri minta tolong kakaknya, "Mas, di ALRI ‘kan banyak jip, boleh saya pinjam untuk belajar setir?"

Komodor Yos yang hampir tak pernah bicara, yang waktu itu sedang makan, meletakkan sendok garpu, menatap wajah adiknya seraya katanya dengan serius.

"Kau ini bagaimana? Kau kira jip itu milikku. Itu milik ALRI, milik negara. Aku sama sekali tak berhak. Aku sendiri hanya kalau dinas berhak memakainya."

Kesempatan itu dipergunakannya pula untuk menerangkan bahwa segala isi rumah itu adalah milik negara. Dia sendiri tak punya apa-apa.

Hanya satu mobil Opel Record tahun 1957 yang dibawanya dari Italia, hasil tabungannya sewaktu berdinas di sana. Lain tak ada.

Ini terbukti setelah dia gugur, istri dan anak-anaknya pindah ke paviliun Komodor Mulyadi. Barang-barang inventaris oleh Ibu Yos dikembalikan semua. Sebenarnya tak perlu buru-buru, tetapi wanita itu adalah istri setia dari suaminya.

Nyonya Fatmawati Soekarno berkunjung ke rumahnya untuk menghibur Ibu Yos. Dilihatnya hanya ada satu tempat tidur untuk anak-anak, selebihnya kosong.

Di mana Ibu Yos dan ibunya tidur? Bu Fat begitu terharu, segera hal itu dilaporkan ke Istana dan Presiden langsung turun tangan.

Setelah Yos Sudarso gugur, seorang perwira ALRI berkunjung ke Salatiga mendapat tugas untuk memperbaiki rumah orangtua pahlawan Aru tersebut. Kepada Pak Karno, perwira itu bertanya manakah bangunan almarhum?

Pak Karno menjawab, "Darso tidak punya bangunan. Ini rumah orangtuanya. Dia memang membantu sedikit-sedikit, sekadar meringankan orangtuanya yang sekarat."

Kepada penulis, Pak Karno menambahkan dengan nada kebanggaan, "Darso sanes bangsanipun tiyang korup, piyambakipun boten gadah menapa-menapa." (Darso bukannya bangsa orang korup, dia tak punya apa-apa).

Sebagai seorang Deputi I yang memimpin bagian Operasi, dia tentu punya banyak relasi. Kalau seorang relasi datang ke rumahnya, selalu diterima dengan baik.

Tetapi apabila pembicaraan beralih ke soal bisnis, segera tamu itu dipersilahkan membicarakannya di kantor dengan perwira yang olehnya sudah diserahi hal itu.

Pernah seorang wakil perusahaan pelayaran memberikan lonceng besar bagus. Begitu Komodor Yos melihat sepulangnya dari kantor, segera diperintahkannya agar lonceng itu dikembalikan kepada pengirim. Kejujuran Yos mutlak.

Kesederhanaan

Teladan akan kesederhanaan melekat pada Yos Sudarso sekali pun dia sudah menjabat Deputi I dengan pangkat komodor. Pakaian seragam yang dia terima dari ALRI tanpa di-vermaak terus dikenakan. Tak jarang lehernya tampak kelonggaran.

Dengan susah payah seorang perwira temannya memperingatkan supaya dia ganti pet yang baru. "Mengapa? Ini juga baik. Apakah orang lain juga sudah ganti semua?"

Noblesse oblige, semakin tinggi kedudukan orang semakin besar kewajibannya. Kewajiban pertama oleh Komodor Yos diartikan sebagai pemberi teladan. Dia diangkat menjadi deputi atas hasrat rekan dan anak buah. Maka dia tetap hidup bersama anak buah.

Ada perlengkapan menyelam baru datang dari luar negeri? Dia memerlukan datang ke Surabaya untuk mencobanya lebih dahulu.

Pada jam yang ditentukan, ahli penyelam menganjurkan supaya ditangguhkan, arus di bawah laut terlalu deras, ada risiko untuk menyelam. Komodor Yos Sudarso langsung mengenakan pakaian dan terjun ke laut.

Ke mana pun pergi dia naik kapal atau kereta api. Pernah sudah disiapkan penginapan di Surabaya, tetapi Komodor Yos memilih bermalam di kapal bersama anak buah. Sungguh benar, dia dekat pada anak buah, dekat di hati mereka.

Seorang kopral pernah dikejutkan. Dia bekas anak buah Komodor Yos di KRI Pattimura. Kebetulan dia ke Markas Besar AL dan di sana berjumpa bekas komandannya. Kopral itu melihat, tetapi bagaimana mungkin dia akan menegur lebih dulu?

Untunglah Yos mengulurkan tangannya lebih dulu sambil menegur, "Masa lupa pada saya?"

Pernah Komodor Yos memimpin Operasi Waspada terdiri atas gabungan kapal selam, destroyer, MTB dan Iain-lain. Seperti biasanya Komodor Yos naik kapal Kapten Wiratno (yang kemudian bersama- sama gugur di Aru).

Seorang perwira yang ikut menyertai perjalanan itu menuturkan pengalamannya.

Tengah malam sedang nyenyak tidur, dia dibangunkan oleh Komodor Yos. "Bangun, mari kita jaga." Seorang komodor jaga dan memilih bagian yang paling berat lagi.Hondenwacht antara jam 12 malam sampai 4 pagi.

Padahal perwira menengah pun sudah dibebaskan dari tugas itu.

Selama pelayaran, Komodor Yos memberikan banyak petunjuk kepada perwira-perwira muda AL yang sedang berpraktik. Dekat dengan anak buah tetapi tetap disegani. Mengapa?

Jawabnya jelas dari penuturan di atas. Tetapi janganlah salah tafsir, dia bukan seorang perwira lemah. Siapa pun yang lalai dan berbuat salah dalam tugas, dimarahi habis-habisan.

Seorang perwira yang korup akan dipanggil menghadap terus ditunjuk tegas, "Kau korup, bukan?"

Kalau orangnya bertobat, dia besarkan hatinya, diberinya penghibur, tetapi tetap tak lagi dipakai dalam Angkatan Laut. Kesalahan lain, menabrakkan kapal misalnya? Juga akan dimarahinya dahsyat sampai yang bersalah terkulai tak berdaya.

Setelah itu, didekati, diberi hati, dibesarkan semangatnya dan diturunkan pangkatnya? Tidak, orang itu akan tetap dipertahankan dalam dinasnya semula.

Sebagai DeputI I pun dia tak mau mendapat pengawalan. Katanya, untuk apa harus dijaga? Saya tahu, tentu ada orang yang tak suka pada saya, seperti halnya ada juga yang suka. Sekalipun dikawal kalau memang sudah saatnya mau apa?

Isyarat mimpi

Komodor Yos Sudarso percaya terhadap isyarat legenda dan mimpi. Beberapa hari menjelang keberang-katannya ikut patroli ke Aru, sewaktu tidur siang dia bermimpi.

Ada tangan memanggil sambil memegang buku Injil. Tetapi dia toh berangkat juga menjalankan patroli yang sebenarnya beyond the call of duty, di luar panggilan tugasnya.

Seorang rekan perwira sahabatnya merasa ditinggali isyarat. Menjelang keberangkatannya, Deputi I Panglima Angkatan Laut tersebut datang ke rumahnya.

Satu jam sang komodor duduk diam memperhatikan anak-anak perwira itu yang lebih dari sepuluh jumlahnya. Rupa-rupanya dia hendak mengajak perwira itu menyertai perjalanannya.

Tetapi demi dilihatnya begitu banyak anak tanggungannya, mungkin dia tak sampai hari. Anak-anak itu dia gendong, lalu dia minta diri.

Kepada istrinya sebagaimana biasa Yos Sudarso tidak pernah banyak berbicara. Seperti biasa kalau akan ditinggalkan bertugas, "Jaga baik-baik anak-anak." Itu saja pesannya.

Bu Yos masih sempat menyuruh Rijono, anaknya yang paling besar, mencium ayahnya. Tidak mengira sama sekali, itu merupakan ciuman terakhir. (Dari Buku Sketsa Tokoh karya Jakob Oetama)

Artikel Terkait