Hingga 1812 masih ada hukuman siksa dan picis di Kasunanan Surakarta. Hukuman itu dihapus setelah Inggris di bawah Thomas Raffles datang.
Penulis: Julius Pour, pertama tayang di Intisari edisi Januari 1974
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sampai tahun 1811, setiap narapidana di wilayah Kasunanan Surakarta masih bisa diancam dengan hukuman paling berat. Hukuman tersebut tidak hanya hukuman mati secara biasa, tetapi menjatuhkan hukuman mati dengan cara menyiksanya terlebih dahulu.
Terkait hukuman siksa, Sri Susuhunan Surakarta yang berkuasa saat itu nampaknya mendasarkan tindakannya seperti apa yang tertulis dalam kitab suci untuk menetapkan berbagai macam tingkat dalam pelaksanaan hukuman.
Yang "ringan" misalnya, melaksanakan pemotongan kaki, tangan ataupun kuping narapidana. Tetapi, untuk beberapa jenis kejahatan tertentu, ditetapkan hukuman paling berat.
Ada dua macam cara yang biasa dilaksanakan untuk hukuman siksa tersebut. Keduanya bisa disaksikan oleh segenap rakyat secara beramai-ramai karena pelaksanaannya dilakukan di tengah Alun-alun persis di muka Keraton.
Cara pertama adalah menghukum seseorang dengan mengadunya melawan Harimau. Sedang cara kedua, dianggap lebih berat, menjatuhkan hukuman "picis", di mana dalam pelaksanaannya, tubuh narapidana tersebut dilukai dengan pisau, kemudian luka-luka yang terjadi diberi air campuran garam dan asam.
Dapat dibayangkan, bagaimana derita yang mereka tanggung, sampai akhirnya secara perlahan-lahan kematian datang.
Perjanjian dengan Inggris
Kedatangan Inggris pada 1811 ke pulau Jawa membawa sesuatu perubahan. Thomas Raffles melarang terjadinya pelaksanaan hukuman mati yang terlampau kejam. Meskipun tidak ada laporan menunjukkan, kapan hukuman "siksa" terakhir dilaksanakan.
Tetapi secara resmi, setiap narapidana masih bisa diancam dengan hukuman siksa. Untuk ini, dia mendesak Sri Susuhunan Pakubuwono ke IX, penguasa Kasunanan Surakarta saat itu, agar mengubah peraturan pelaksanaan hukuman semacam itu.
Terkait hal itu, alangkah baiknya kita mengetahui latar belakang tindakan Raffles.
Di Kerajaan Inggris, pelaksanaan hukuman mati pernah menjadi perdebatan seru. Pada abad 10, pelaksanaan hukuman mati diterima secara wajar. Tetapi ketika William si Penakluk (1066-1087) naik tahta, dia melarang pelaksanaan hukuman mati.
Tapi beberapa tahun setelah ini, Henry I (1100-1135) membolehkan kembali pelaksanaan hukuman mati. Dengan cara dipancung atau hukuman gantung.
Bahkan, sampai dengan abad ke-16, narapidana sering harus menjalani kematiannya secara ditenggelamkan ke sungai, atau dengan berbagai macam jenis siksaan lainnya.
Catatan yang ada menunjukkan, pada zaman pemerintahan Henry ke-VIII, rekor pelaksanaan hukuman mati ter-”capai”. Selama dia berkuasa, 72 ribu narapidana telah dijatuhi hukuman mati.
Inilah sebabnya, pada permulaan abad ke-19, sedang terjadi perdebatan seru, boleh tidaknya hukuman siksa dilaksanakan. Beberapa pihak mengakui, bahwa untuk beberapa jenis kejahatan tertentu semacam mengkhianati negara, membunuh penjaga penjara, atau polisi yang sedang bertugas, hukuman mati "wajar" jika dijatuhkan.
Masalahnya adalah, kematian tersebut wajib berjalan cepat, tidak dengan berlama-lama, di mana si terhukum harus menanggung siksa terlebih dahulu.
Bagaimanapun juga, PB IX menyetujui desakan Raffles. Dalam perjanjiannya tertanggal 1 Agustus 1812, bab IX, Sunan berjanji menghapuskan pelaksanaan hukuman siksa.
Termasuk dalam hal ini, pelaksanaan hukuman dengan memotong bagian-bagian tubuh yang bersalah (picis). Sejak itu pula, secara resmi hukuman siksa tidak lagi dilakukan.
Bagi kejahatan berat, misalnya mencuri kerbau di malam hari, terhukum menerima hukuman badan. Sedang kejahatan ringan, seperti pencurian kambing, pencopetan atau perampasan. Mereka menerima hukuman cambuk sebanyak 100 atau 200 kali, tergantung dari nilai benda yang dicuri.
Harus membawa obor
Kondisi Surakarta yang ketika itu masih didominasi hutan dan padang yang luas menyuburkan tindakan kejahatan. Apalagi penduduk masih sedikit dan penjaga keamanan belum ada di setiap tempat.
Untuk mengurangi peristiwa kejahatan, Kasunanan mengeluarkan peraturan baru pada 1867. Di mana ditentukan bahwa setiap pegawai Kerajaan dengan pangkat Mantri ke atas, jika berjalan di malam hari harus membawa lampu minyak tanah (ting) yang dinyalakan.
Sementara bagi penduduk biasa, harus membekali dirinya dengan obor atau “upet”. Yakni obor kecil yang diperoleh dari membakar bunga pohon Kluwih.
Dengan keluarnya peraturan di atas, setiap pejalan malam hari yang tidak membawa alat penerangan, dianggap penjahat atau paling tidak mempunyai niat jahat. Untuk itu, para petugas keamanan langsung boleh mengejar serta menangkapnya.
Instruksi yang dikeluarkan sendiri oleh Pakubuwono X pada 3 Maret 1867 tersebut mengatur juga tentang peningkatan jumlah gardu penjagaan di sepanjang jalan serta penambahan tenaga-tenaga petugas keamanan.
Koordinasi dengan Mangkunegaran
Tak jauh dari wilayah Kasunan Surakarta, ada wilayah Kadipaten Mangkunegaran. Para penjahat nampaknya memanfaatkan adanya batas daerah tersebut. Dalam arti, mereka melakukan kejahatan di wilayah Kasunanan, kemudian lari menyingkir ke Mangkunegaran. Begitu atau sebaliknya.
Tentu saja, cara menghindar semacam ini menyulitkan para petugas keamanan.
Mengapa? Karena mereka dilarang mengejar masuk ke daerah lain. Kesulitan berakhir di tahun 1869, persisnya pada 20 Desember, pada waktu Residen Surakarta mengeluarkan peraturan bersama yang mengatur “koordinasi".
Sekarang, polisi keamanan berhak melakukan pengejaran, sampai di mana pun penjahat bersembunyi. Bahkan penggeledahan rumah tersangka di luar daerah wewenangnya, dapat dilakukan asalkan sudah memberitahu kepala desa yang bersangkutan.
Tentu saja, dalam penggeledahan ini, kepala desa harus ikut menyaksikan sebagai saksi.
Kelancaran tugas dengan instruksi tersebut bisa berjalan baik. Namun sebuah penertiban ke dalam masih tetap harus dilakukan. Ini mendorong keluarnya peraturan yang dikenal dengan nama “Pranatan Bukbiru" pada 1873.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa kepala desa yang jelas mengetahui sesuatu kejahatan tetapi tidak bertindak, langsung dipecat dari semua jabatannya. Peraturan di atas tidak hanya berlaku bagi para kepala desa, tetapi juga berlaku bagi para pembesar polisi, yang disebut Panewu Polisi.
Pranatan Bukbiru menetapkan juga bahwa seorang Panewu Polisi yang meninggal tidak dalam kejahatan terhadap negara keturunannya mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk menggantikan jabatan.
Delapan syarat harus mereka penuhi, yakni mereka harus pandai, cakap, berkelakuan baik, suka bekerja, tidak madat, tidak berjudi, tidak suka minuman keras, dan belum pernah melakukan kejahatan.
Delapan persyaratan tadi dipertimbangkan dan dalam pengangkatannya Raja tidak memperdulikan apakah mereka itu merupakan anak pertama, terakhir, atau hanya anak menantu.
Hak-hak "istimewa" bagi keturunan Panewu berakhir dengan keluarnya peraturan baru Pakubuwono X pada tanggal 22 Maret 1917. Yang menyebutkan bahwa tidak otomatis para ahli waris menggantikan kedudukan orang tuanya. Hanya mereka yang mencukupi syarat Kerajaan Surakarta berhak menjadi pegawai.
Peraturan itu tidak hanya berlaku untuk jabatan Panewu, tetapi berlaku juga bagi jabatan Wedana Kliwon, Mantri, Lurah, Bekel ataupun Jajar.
Tentu saja, penghapusan hak-hak istimewa tersebut untuk sebagian orang dirasakan amat merugikan, meskipun, untuk sebagian yang lain, sekarang terbuka lebar kesempatan membuktikan kecakapan mereka.