Inilah Kenapa Carok Susah Dihilangkan dari Kultur Masyarakat Madura

Tim Intisari

Editor

Ada begitu banyak alasan kenapa carok sudah dihilangkan dari kultur masyarakat Madura. Soal harga diri bukan satu-satunya (Dok Majalah Intisari)
Ada begitu banyak alasan kenapa carok sudah dihilangkan dari kultur masyarakat Madura. Soal harga diri bukan satu-satunya (Dok Majalah Intisari)

[Cukilan Buku]

Setelah sel darah merah dan putih, tradisi carok bisa disebut sebagai "sel darah" ketiga yang mengalir di nadi orang Madura. Manifestasi sosial yang dapat merenggut nyawa pelakunya ini diterima sebagai identitas nan membanggakan.

Ada pemeo lokal, "Mon lo' bangal acarok ja' ngako oreng Madura" (jika takut melakukan carok, jangan ngaku orang Madura). Mengerikan.

Begitulah carok, setidaknya seperti tertuang dalam buku karya A. Latief Wiyata, Carok: Konflik, Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, terbitan LKiS (Yogyakarta, Mei 2006).

Buku ini suntingan disertasi Latief sebagai dosen Universitas Jember, Jawa Timur, saat meraih gelar doktor antropologi sosial di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2001. Inilah literatur paling meyakinkan perihal kompleksitas kebudayaan Madura yang dikerjakan sendiri oleh peneliti asli Madura.

Cukilan buku ini ditulis oleh J. Sumardianta, tayang di Majalah Intisari edisi September 2006

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kembali terjadi carok (lebih tepatnya pembacokan) di Madura, persisnya di Desa Ketapang Laok, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Minggu 17/11). Yang menjadi korban adalah saksi dari pasangan calon (paslon) Pilkada Kabupaten Sampang 2024 nomor urut 2 Slamet Junaidi-Ahmad Mahfud (Jimad Sakteh).

Aksi pembacokan itu terjadisetelah Paslon Jimad Sakteh melaksanakan kunjungan ke salah satu kediaman tokoh agama di desa setempat. Ketua Tim Pemenagan Jimad Sakteh, Surya Noviantoro, menceritakan, informasi yang didapat awalnya sempat ada penghadangan dari beberapa orang yang tidak bertanggung jawab kepada Paslon Jimat Sakteh.

"Setelah ada negosiasi, akhirnya pasangan Calon kami bisa diamankan dan keluar dari lokasi," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Tribun Madura.

Lalu berselang beberapa menit kejadian yang tidak diinginkan terjadi di kediaman salah satu tokoh yang dikunjungi paslon Jimat Sakteh. Diduga para pelaku mendatangi Jimmy Sugito Putra (korban).

Para pelaku datang lengkap dengan senjata tajam jenis celurit, sedangkan korban tidak membawa sajam jenis apa pun. "Kericuhan itu akhirnya menimbulkan korban jiwa, korban merupakan pendukung Paslon Jimat Sakteh," terangnya.

Akibat dikeroyok korban mengalami sejumlah luka bacok ditubuhnya, sehingga nyawa korban tak dapat ditolong alias meninggal. Atas kejadian tersebut, pihaknya sangat menyangkan dan mengutuk keras tindakan kriminal tersebut karena tidak dapat diantisipasi, serta dideteksi dini oleh pihak keamanan.

Bagaimanapun juga, yang terjadi Sampang tempo hari itu adalah murnikriminal dan tidak bisa disebut carok karena korban tewas setelah dihujani celurit dalam kondisi tangan kosong. Dia tidak siap bertarung.

Carok mestinya dilakukan secara ksatria. Satu lawan satu, bukan main keroyok. Dan jangan sampai mengorbankan perempuan!

Harga diri dan istri

Dalam bukunya, Latief, yang sejak tahun 1990 sampai 1994 mengadakan penelitian di Bangkalan, menyatakan kebanyakan aksi carok justru terjadi karena upaya perlindungan laki-laki terhadap miliknya yang paling berharga, istri.

Angkanya mencapai 60,4%. Disusul carok lantaran salah paham (16,9%), masalah utang-piutang (9,2%), baru kemudian persoalan tanah warisan (6,7%). Pelecehan terhadap harga diri - terutama gangguan kepada istri - membuat lelaki Madura malo (malu), todus (dilaknat aib), dan tada' ajina (direndahkan martabatnya).

Untuk itu, tambana todus, mate (obat malunya tiada lain kecuali mati).

Pada dasarnya, carok memang refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan berlebihan terhadap perempuan, sebagaimana tampak dalam model pakaian ketat perempuan dan gombrong untuk lelaki, pola permukiman kampong meji dan taneyan lanjang, serta kebiasaan perkawinan antarkeluarga.

Kampong Meji adalah kumpulan permukiman penduduk desa yang satu dengan lainnya saling terisolasi. Akibatnya, solidaritas internal antarpenghuni kampong sangat kuat, sedangkan solidaritas dalam lingkup sosial yang lebih besar cenderung rendah.

Peluang kekerasan massal dan disintegrasi sosial antarkampong pun sangat mudah terjadi. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan martabat seluruh warga sebuah kampong meji.

Kondisi arsitektur rumah kampong meji dengan satu pintu menghadap ke selatan juga mengindikasikan kehidupan penduduk desa di Madura yang selalu dicekam rasa tidak aman. Berdasarkan posisi itu, layaknya orang mati membujur ke utara, dalam keadaan tidur pun orang Madura mesti mengawasi pintu rumahnya.

Sementara taneyan lanjang (pola permukiman dengan halaman memanjang) dibangun oleh keluarga yang memiliki banyak anak perempuan. Sistem kekerabatan Madura sejatinya bercorak patrilineal. Namun, pola menetap sesudah menikah bersifat matrilokal.

Menantu lelaki hidup di lingkungan keluarga istri. Rumah-rumah pun dibangun untuk anak perempuan yang sudah berkeluarga. Jadi, anak perempuan dalam permukiman taneyan lanjang mendapat proteksi khusus dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu lelaki hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian barat.

Etnis Madura memandang fungsi perkawinan bukan sekadar penyalur kebutuhan ekonomi, afeksi, seksual, perlindungan, dan penentu status anak. Tapi juga manifestasi maskulinitas. Seorang lelaki Madura baru akan menemukan eksistensinya bila telah berkeluarga.

Salah satu responden pelaku carok berkata, "Saya menikah di hadapan penghulu, disaksikan banyak orang, dan memenuhi hukum agama. Jadi, barang siapa mengganggu istri saya, berarti melecehkan agama dan menginjak-injak kepala saya".

Istri adalah perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki, karena istri adalah bantalla pate (alas kematian). Mengganggu istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura.

Sialnya, kasus perselingkuhan (yang dapat berujung pada carok) justru mudah terjadi di Madura. Karena perempuan tradisional Madura kebanyakan sudah sejak kecil dijodohkan oleh orangtua mereka. Tak aneh jika ada istri yang menyeleweng dengan bekas lelaki idamannya, tatkala suami merantau ke Malaysia atau Timur Tengah misalnya.

Bedah tanpa bius

Tertanamnya kata carok di benak setiap lelaki Madura juga didukung oleh banyaknya ungkapan yang "memberikan persetujuan sosial" dan "pembenaran kultural" untuk berangkat carok. Selain mon lo' bangal acarok ja' ngako oreng Madura, masih ada lagi ungkapan oreng lake' mate acarok, oreng bine' mate arembi (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena persalinan). Atau ango'an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik mati daripada menanggung aib).

Carok sebagai manifestasi dan realitas sosial seolah telah diterima sebagai kesepakatan umum.

Apalagi pelaku carok yang berhasil menewaskan lawan tidak disebut sebagai pembunuh, melainkan blater (jagoan), terutama bila dilakukan secara ksatria (ngonggai), berhadapan satu-satu dan sama-sama bersenjata, bukan menikam musuh dari belakang (nyelep).

Di zaman sebelum kemerdekaan, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Tapi semenjak dekade 1970-an, carok lebih banyak dilakukan dengan cara nyelep. Lelaki yang menganiaya perempuan sampai tewas tidak bisa disebut carok.

Di Madura seorang lelaki penakut (tako'an) akan diledek sebagai keturunan manusia yang tidak memiliki empedu. Kaum perempuan pun biasanya menyindir tako'an dengan ungkapan, "Sayang aku perempuan, andai memiliki buah zakar sebesar cabai rawit saja, aku pasti akan melakukan carok".

Di Pamekasan dan Sumenep (Madura timur) tako'an dijuluki odi' ka colo', sementara di Bangkalan dan Sampang (Madura barat) dijuluki olle petta. Makna kedua julukan itu sama: orang banyak bicara, suka mengumpat, dan memaki tetapi pengecut!

Carok berkembang menjadi arena reproduksi kekerasan, yang mencetuskan spiral kekerasan baru (carok turunan). Ia diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi maupun kegiatan bermakna ritual.

Darah yang belepotan di celurit yang habis dipakai carok misalnya, akan dijilati pemiliknya bila memenangi pertarungan. Ini manifestasi ungkapan lokana daging bisa ejai', lokana ate tada' tanbana kajaba ngero dara' (luka badan masih bisa dijahit, tapi sakit hati tiada terapinya kecuali minum darah).

Dokter dan paramedis biasanya tidak memberi bius saat membedah atau menjahit luka pelaku carok. Pengobatan serampangan itu dikerjakan agar pelaku carok jera dan bertobat.

Namun kenyataannya, bekas luka yang tampak menonjol karena jahitan kasar itu malah membuat senang pelaku carok. Mereka dengan bangga mempertontonkannya di hadapan umum. Korban carok yang meninggal, terutama blater, tidak dikubur di pemakaman umum, melainkan di halaman rumah.

Pakaiannya yang berlumur darah disimpan di lemari khusus, agar pengalaman traumatik itu terus bersemayam di hati anak-cucu.

Tak heran bila pelaku carok yang baru selesai menjalani hukuman penjara biasanya sudah dihadang dan langsung dibantai di jalanan, sebelum sempat menginjakkan kaki di rumah.

Untuk menghindari aksi balas dendam, biasanya seseorang memilih sasaran yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi, sehingga keluarga musuhnya itu kelak tidak punya kekuatan lagi (baik secara fisik maupun ekonomi) untuk meneruskan spiral balas dendam. Sebab, sumber daya yang dimiliki musuhnya itu sudah dihabisi terlebih dahulu.

Carok oleh sebagian pelakunya juga dipandang sebagai alat untuk meraih status sosial di kalangan blater. Sekaligus media inisiasi untuk seorang bandit sebelum memasuki komunitas blater. Blater inilah yang akhirnya identik dengan pencurian, perampokan, pembunuhan, remo, sandur, judi sabung ayam, dan karapan sapi.

Kultur blater dekat dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri.

Blater, kendati bergelimang kriminalitas, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan. Bahkan banyak juga di antara mereka yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-usulnya yang kelam.

Apalagi kebanyakan blater tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal, meski beberapa di antara mereka dikenang dalam sejarah.

Blater bernama Kutil contohnya, terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin saat disewa untuk mengobarkan revolusi sosial di Tegal, Pemalang, dan Pekalongan (1945 -1949). Bahkan Untung Surapati, konon juga merupakan jawara dari Madura, yang disewa untuk membunuh Kapten Tack dalam gegeran di Surakarta, abad ke-18.

Blater di Madura kerap dihubungkan dengan dua peristiwa dalam masyarakat, yakni pemilihan kepala desa dan remo. Tradisi remo (arisan kaum blater) merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi carok.

Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi, sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam.

Blater besar bisa mengais Rp75 juta, misalnya, sedangkan blater kecil cukup mengutip sekitar Rp25 juta. Lewat remo inilah biaya carok disiapkan, termasuk mengantisipasi kematian dengan menyiapkan warisan.

Atau sebaliknya, menyiapkan uang untuk membeli keringanan hukuman bila menang. Kebiasaan para pemenang carok untuk menyuap polisi, hakim, dan jaksa berperan besar dalam pelembagaan kekerasan di Madura. Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan.

Pembengkokan makna

Teror berbentuk carok dipercaya merajalela akibat alam gersang, kemiskinan, dan ledakan demografis. Mentalitas untuk memuja martabat secara membabi-buta ini terjadi akibat keterpurukan ekologis, langkanya sumber mata pencaharian, dan pola permukiman menyebar.

Budidaya cocok tanam di lingkungan tandus dengan curah hujan terbatas mengkondisikan petani Madura menghasilkan produk pertanian yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistensi. Kondisi inilah yang membuat masyarakat Madura yang sejatinya ulet, tabah, dan menghargai kerja keras jatuh dalam kemelaratan.

Produktivitas pertanian yang rendah itu tidak sebanding dengan booming pertumbuhan penduduk. Makanya, penduduk Madura -- sejak zaman penjajahan Belanda -- banyak yang melakukan migrasi ke Kalimantan atau wilayah tapal kuda (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi) atau wilayah lain.

Alam keras ikut menyuburkan budaya perbanditan blater di Madura. Lingkungan sosial mengkondisikan lelaki Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Senjata tajam jadi atribut lelaki, yang harus selalu dibawa ke mana-mana. Senjata tajam bahkan dianggap kancana salawat (teman salawat).

Semua faktor di atas menyebabkan tumbuh suburnya semangat carok. Sayang, sejak dekade 1970-an, carok telah mengalami pembengkokan makna.

Dari mekanisme pertolongan diri menuju ritus kesewenang-wenangan balas dendam dan melulu penyaluran agresi dalam bentuk pembunuhan sepihak. Carok memberlakukan prinsip keadilan paling telanjang dan dasariah: mata ganti mata, gigi ganti gigi.

Sederhananya:Mon oreng aotang nyaba, enggi kodu majar nyaba (barang siapa berutang nyawa, harus membayarnya dengan nyawa pula).

Belakangan dikenal tiga persyaratan untuk mempersiapkan carok: kadigdajan (latihan bela diri), tampeng sereng (meminta jampi-jampi kekebalan supranatural), dan banda (kecukupan modal).

Lelaki yang mencari jimat kekebalan tubuh sebenarnya membuktikan, pelaku carok takut dengan bayang-bayang kematian. Persiapan rumit itu membuat carok bukan lagi manifestasi kejantanan, keperkasaan, dan jiwa ksatria, sebagaimana carok di Pamekasan dan Sumenep.

Carok kini merupakan ekspresi sikap pengecut, karena cenderung melakukan serangan dari belakang. Kebanyakan kasus carok, terutama di Bangkalan dan Sampang, dilakukan dengan nyelep.

Carok menjadi manifestasi hubungan sosial dengan tingkat keakraban paling rendah karena dominasi rasa permusuhan. Carok sulit diberantas, karena secara kultural sudah berurat-berakar dalam tradisi.

Fenomena balas dendam sebagai stereotipe hitam kebudayaan Madura jelas menegaskan nilai-nilai harmoni yang tercermin dalam ungkapan rampa' naong, baringen korong (suasana teduh penuh kedamaian seperti berada di bawah beringin rindang).

Tak heran, kekerasan di Madura lebih tinggi ketimbang di daerah-daerah lain di Indonesia. Hampir di seluruh pelosok pedesaan Madura, khususnya Kabupaten Bangkalan, rawan carok.

Ketika buku ini disusun, di Kabupaten Bangkalan terdapat 139 pande besi yang memproduksi senjata tajam untuk keperluan carok. Padahal, carok merupakan cermin ketidakmampuan para pelakunya mengekspresikan budi pekerti.

Karena lebih mengedepankan agresi fisik untuk merampas hak hidup orang lain, sebagai mekanisme pertolongan terhadap diri sendiri yang bersifat sewenang-wenang. Konflik berpangkal pelecehan harga diri seperti ditakdirkan tidak memiliki jalan rekonsiliasi.

Beruntung generasi muda berpendidikan di Madura sekarang makin pragmatis--dalam arti yang "menggembirakan". Istri ketahuan menyeleweng, ya dicerai lalu cari istri baru. Habis perkara.

Guna menghentikan carok, A. Latief Wiyata memberi rekomendasi: mafia peradilan (polisi, jaksa, dan hakim) yang melembagakan nabang (suap) bersama kaum blater harus diberantas dan dihukum seberat-beratnya.

Pasalnya, pelaku carok yang mestinya dihukum 20 tahun biasanya hanya divonis lima tahun. Kaum ulama pun ditagih totalitasnya dalam manajemen konflik, agar roda gila kekerasan tidak lepas kendali.

Artikel Terkait