Sejarah Sepakbola Jepang Tak Bisa Dilepaskan dari Industrialisasi Negera Itu

Tim Intisari

Editor

Indonesia akan melawan Jepang dalam kualifikasi Piala Dunia 2026. Jepang memang terbukti jagoan, tapi apa salahnya berharap keberuntungan? (AFC News via Majalah HAI)
Indonesia akan melawan Jepang dalam kualifikasi Piala Dunia 2026. Jepang memang terbukti jagoan, tapi apa salahnya berharap keberuntungan? (AFC News via Majalah HAI)

Indonesia akan melawan Jepang dalam kualifikasi Piala Dunia 2026. Jepang memang terbukti jagoan, tapi apa salahnya berharap keberuntungan?

Artikel ini digubah dari "Jepang" yang tayang di Majalah HAI edisi Februari 1998 oleh Angry

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Bagai mimpi,Indonesia akan menghadapi Jepang dalam kualifikasi Piala Dunia. Jepang adalah tim sepakbola yang sudah mapan, sementara Indonesia masih terus merangkak guna mewujudkan harapan. Jepang peringkat ke-15 dunia, sementara Indonesia masih di angka 130.

"Baina assama'i walardhi" alias antara langit dan bumi, begitulah kondisi sepakbola Jepang dan Indonesia. Tapi apakah ada harapan bagi timnas Garuda untuk mengalahkan Samurai? Kenapa tidak ada?

Yang jadi pertanyaan, bagaimana sepakbola Jepang bisa sementereng itu? Apa formulanya?

Mengutip majalah HAI edisi Februari 1998, perkembangan sepakbola Jepang sangat erat kaitannya dengan industrialisasi negara tersebut pasca-Perang Dunia II. Dalam hal sepakbola, Jepang juga harus berterima kasih kepada perusahaan-perusahaan besar di negaranya.

Jepang sejatinya sudah dianggap benar-benar mati setelah dua bom atom jatuh dari langit Hiroshima dan Nagasaki. Tak hanya membuat Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan menjadi pesakitan Perang Dunia, tragedi bom itu juga membuat peradabat Jepang hancur total.

Ketika itu, hanya keajaiban yang dianggap mampu mengembalikan kejayaan masa lalu negeri matahari terbit ini. Nyatanya keajaiban itu benar-benar datang.

Dalam waktu singkat, Jepang bekerja mati-matian membangun diri. Hasilnya, tak butuh waktu terlalu lama Jepang berubah dan menjadi negara industri paling mapan di kawasan Asia. Dalam perekonomian dunia, Jepang bahkan bisa disejajarkan dengan Amerika Serikat.

Reformasi ekonomi dan industri sudah beres, Jepang pun memperbaiki peradabannya. Salah satu yang mereka perhatikan adalah sektor olahlaraga sepakbola yangkebetulan sangat terkait dengan revolusi industri di sektor ini.

Hasilnya, pada Olimpiade Tokyo 1964, tim sepakbola Jepang finis di babak 8 besar. Tentu ini capaian yang menggembirakan bagi negara yang sepuluh tahun sebelumnya babak belur karena Perang Dunia.

Lalu empat tahun kemudian, pada Olimpiade Meksiko, di bawah asuhan pelatih asal Jepang, Dettmar Cramer, mereka sudah menggondol medali perunggu untuk dibawa pulang ke Asia.

Lalu pada Piala Asia 1992, di bawah asuhan pelatih asal Belanda bernama Marius Johan Ooft, Jepang untuk pertama kalinya menjadi juara di even sepakbola paling bergengsi di seluruh Asia. Dari situlah kemudian mereka sadar, jika ingin sepakbolanya maju, harus ada liga nasional. Maka lahirlah J-League.

Jepang dan J-League tentu harus berterima kasih kepada perusahaan-perusahaan besar di negara itu. Bagaimana tidak, mereka, dengan modal besarnya, mendanai klub-klub lokal untuk memboyong nama-nama beken dalam belantika sepakbola internasional. Sebut saja Gary Lineker jagoan Inggris, Zico sang penyihir asal Brasil, Toto Schilasi bomber haus gol dari Italia, dan yang paling baru tentu Andres Iniesta sang "penari balet" dari Spanyol.

Perlahan tapi pasti, Jepang mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Iklim kompetisi yang ketat plus transfer ilmu dari pemain bintang mempercepat akselerasi prestasi negeri Sakura ini. Sayang, tiket ke Piala Dunia 1994 gagal diraih akibat ditahan seri Iran di detik-detik terakhir pertandingan.

Akibatnya, Jepang harus memberi tiket yang amat berharga itu kepada tetangga sekaligus seteru besarnya, Korea Selatan.

Tapi dendam itu berhasil dibalas empat tahun kemudian. Pada Piala Dunia 1998 di Prancis, untuk pertama kalinya Jepang masuk Piala Dunia--nemenai Arab Saudi, Iran, dan Korea Selatan. Dan setelah itu, Jepang praktis tak pernah absen lagi jadi peserta, terlebih pada 2002, ketika Jepang bersama Korea Selatan ditunjuk sebagai tuan rumah.

Begitulah, bisa dibilang Jepang saat ini adalah salah satu kekuatan sepakbola dunia. Pemain-pemain Jepang pun sudah malang-melintang bermain di tanah Eropa--yang dianggap sebagai kiblat kompetisi sepakbola dunia.

Artikel Terkait