Idjon Djanbi, Bapak Kopassus yang Ternyata Bekas Tentara Belanda

Intisari

Editor

Idjon Djanbi, bapak Kopassus (Dok Commando)
Idjon Djanbi, bapak Kopassus (Dok Commando)

[ARSIP COMMANDO]

Dalam rangka menyambut HUT TNI ke-79 2024 ini, kami akan menulis beberapa tokoh sentral yang pernah dimiliki tentara Indonesia. Salah satunya adalah Idjon Djanbi yang disebut sebagai Bapak Kopassus Indonesia.

Penulis: EkaHindra, tayang pertama di Commando pada 2015

---

Intisari hari di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Mochammad Idjon Djanbi lahir di desa kecil Boskoop, 13 Mei 1914 dengan nama Eropa (lahir) Rokus Barendregt Visser. Ia berasal dari lingkungan keluarga petani bunga dan peternak khas corak pedesaan di negeri Belanda.

Lingkungan itu membentuknya tumbuh menjadi anak laki-laki yang gemar bergaul di luar rumah. Berbagai hobi menantang dilakoninya seperti mendayung perahu kayu di danau, balapan mobil, bermain sepak, berkuda bola bahkan mendaki gunung. Kegiatan ini kerap kali membuat kakek dan neneknya kewalahan mengawasinya. Meski demikian prestasi akademis di sekolahnya lumayan baik.

Visser memasuki Sekolah Pertanian Menengah Atas dan berpraktik di sejumlah negara di Eropa selain Belanda seperti Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Hobi mendaki gunung masih berlanjut sampai masa ia memutuskan mukim di Indonesia.

Beberapa gunung yang telah ia daki di Eropa antara lain Gunung Snowdon dan Ben Nervis (Inggris), Mont Blanc (Swiss), beberapa gunung di Jerman Selatan serta gunung-gunung di Indonesia yaitu Lawu, Merapi, dan Bromo.

Lingkungan kehidupan keluarga yang dekat dengan alam membentuknya bercita-cita menjadi seorang ahli agraris. Untuk mewujudkannya, ia memperdalam pengetahuannya dengan mengambil kursus agraria di Liverpool, Inggris. Kemudian mempraktikan pengetahuannya sebagai pengusaha ekspor impor bidang agraria dan holtikultura (tanaman hias) tahun 1935-1940.

Perang Dunia II

Pecahnya Perang Dunia II tahun 1939 membuatnya tidak bisa pulang ke Belanda karena telah dikuasai Jerman. Pemuda Visser yang berusia 25 tahun terpanggil memasuki dunia militer untuk membela Belanda yang telah diinvasi Jerman.

Dia mendaftarkan diri pada dinas ketentaraan Belanda yang mengungsi ke Inggris dan membentuk kekuatan baru di sana. Tahun 1940 ia masuk dinas militer sukarela Tentara Sekutu yang berperang melawan Jerman.

Tugas pertamanya sebagai tentara menjadi sopir Ratu Wilhelmina. Selang setahun berdinas, ia mengundurkan diri. Ia lalu mendaftarkan diri sebagai operator radio di Pasukan Belanda ke-2 (2nd Dutch Troop).

September 1944, ia merasakan operasi tempurnya yang pertama bersama pasukan Sekutu dalam Operasi Market Garden. Pasukan tempat Visser bertugas termasuk ke dalam Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Ia dan pasukannya diterjunkan melalui pesawat layang, lalu mendarat di wilayah konsentrasi pasukan Jerman.

Dua bulan kemudian saat pasukan dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu lain untuk operasi pendaratan amfibi di Walcheren, kawasan pantai di bagian selatan Belanda.

Pendidikan komando ditempuhnya di Commando Basic Training di Achnacarry di pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Setelah menjalani latihan khusus yang keras dan berat, ia berhak menyandang brevet Glider (baret hijau).

Agus N. Cahyo menulis dalamTragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia, seorang instruktur Inggris pernah mengatakan pelatihan ini sebagai "it’s hell on earth"(neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang diperoleh antara lain berkelahi dan membunuh tanpa senjata, membunuh pengawal, penembakan tersembunyi, perkelahian tangan kosong, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api.

Sedangkan baret merah diperoleh melalui pendidikan komando di Special Air Service (SAS), pasukan komando Kerajaan Inggris yang sangat legendaris.

Pendidikan khusus lain yang diikutinya memberikannya wing penerbang, yaitu saat menjalani pendidikan dasar pasukan payung di India bertepatan dengan perang melawan Jepang. Visser mengantongi lisensi penerbang PPL-I dan PPL-II, juga menjalani pendidikan spesialisasi bren, pertempuran hutan, dan belajar bahasa Jepang.

Dalam periode PD II (1940-1945), berbagai operasi militer diikutinya seperti operasi di Birma, operasi pendaratan udara di antara Arnhem dan Eindhoven di Belanda, operasi laut di Pulau Walcheren, dan operasi pembebasan Belanda dari cengkeraman Jerman.

Visser juga sempat mengikuti Sekolah Perwira karena dianggap berprestasi sebelum dikirim ke Asia. Lalu ia bergabung dengan Koninklijk Leger untuk memukul Jepang di Indonesia, meski Jepang keburu mundur dari Indonesia sebelum pasukan Visser sempat dikirim.

Idjon Djanbi, bapak Kopassus Indonesia.
Idjon Djanbi, bapak Kopassus Indonesia.

Hidup di Indonesia

Kekalahan militer Jepang membuatnya hengkang dari Indonesia. Hal ini membuka peluang Belanda kembali berambisi menguasai Indonesia yang masih dianggap potensial untuk terus dihisap sumber daya alamnya.

Saat itu keadaan negeri Belanda luluh lantak akibat invasi Jerman. Sehingga mereka tidak mampu mengirimkan pasukan bantuan dari Eropa ke Indonesia. Belanda pun melakukan persiapan besar-besaran di Australia dan Sri Lanka untuk kembali ke Indonesia.

Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat maupun udara, yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan Indonesia. Setelah diangkat menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Letjen Spoor sebagai komandan KNIL di Hindia Belanda mengemukakan rencananya membentuk pasukan infanteri berkualifikasi komando serta pasukan payung (parasutis) yang memperoleh pelatihan istimewa.

Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek dipanggil dari Sri Lanka untuk menjadi pelatih calon pasukan. Secara resmi School Opleiding Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) dibentuk pada 15 Maret 1946 dibawah komando Kapten C. Sisselaar.

Agar tidak tercium pihak Republik, kamp pelatihan berlokasi di tempat yang sangat jauh yaitu di Papua Barat. Tadinya dipilih Biak karena terdapat bekas pangkalan udara Amerika yang masih utuh.

Lalu di bulan April, lokasi pelatihan dipindah ke Hollandia (Jayapura). Sekolah parasutis menempati sebuah bangunan rumah sakit milik Amerika yang telah ditinggalkan pasukan Jenderal Douglas MacArthur.

Ternyata Visser menyukai hidup di Indonesia. Meskipun kondisinya sangat berbeda dengan kehidupan di Eropa. Ia sempat pulang ke Inggris menemui keluarganya dan meminta istrinya, perempuan Inggris yang dinikahinya semasa PD II serta keempat anaknya, untuk ikut ke Indonesia bersamanya.

Karena sang istri menolak, Visser memilih untuk bercerai. Tahun 1947, Visser kembali ke Indonesia. Ternyata sekolah yang dipimpinnya sudah pindah ke Batujajar, Cimahi, Jawa Barat.

Tidak lama, Visser dipromosikan menjadi kapten dengan jabatan Pelatih Kepala. Sekolah parasutis berada di bawah kendali Korps Speciale Troepen (KST). Dalam kurun 1947-1949, sekolah yang dipimpinnya terus mencetak penerjun militer.

Ini berlangsung sampai Belanda harus menyerahkan kekuasaannya kepada Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.

Tahun 1949, Visser memutuskan keluar dari dunia militer dan memilih menetap di Indonesia sebagai warga sipil. Meskipun keputusan ini mengandung risiko tinggi karena kondisi di Indonesia sedang dalam masa transisi pasca-Kemerdekaan.

Masa itu sikap kebencian serta anti-Belanda tertanam kuat dalam setiap diri orang Indonesia. Terlebih adanya aksi kejam pasukan baret hijau pimpinan Kapten Raymond Westerling yang membantai sekitar 40.000 warga sipil di Sulawesi Selatan (1946-1947) dan pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Jawa Barat yang membantai puluhan rakyat sipil dan personel Siliwangi. Semua itu menambah kebencian rakyat Indonesia terhadap Belanda, terlebih terhadap tentara Belanda.

Meskipun Visser berbaret merah, tetap saja tidak ada yang bisa menjamin keamanan mantan perwira penjajah di negeri bekas jajahannya. Namun ia tak gentar. Ia memilih menetap di sebuah lahan pertanian di daerah Lembang, Bandung.

Di daerah sejuk ini pula fase kedua dalam kehidupannya di mulai, dengan memutuskan memeluk agama Islam dan menikahi kekasihnya seorang perempuan Sunda. Sejak itu, Visser yang berperawakan tinggi itu dikenal dengan Mochammad Idjon Djanbi.

Cetak pasukan komando

Suatu hari di tahun 1951, rumah Idjon Djanbi kedatangan seorang perwira muda. Si tamu memperkenalkan diri sebagai Letnan Dua Aloysius Sugianto dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Dalam pertemuan itu Idjon Djanbi diminta sebagai pelatih tunggal untuk melatih komando di pendidikan CIC II (Combat Inteligen Course) Cilendek, Bogor.

Tidak mudah membujuknya, sebab ia sudah hidup tenang di pedesaan sebagai petani bunga. Letda Sugianto tak kurang akal, dirinya sampai harus bermalam dua dua hari di situ. Usaha yang tak sia-sia karena akhirnya Idjon Djanbi bersedia sebagai pengajar sipil selama masa pendidikan tiga bulan. Usai pendidikan CIC II, Idjon Djanbi kembali menekuni profesi sebelumnya.

Masih di tahun yang sama, tepatnya 2 November 1951, Kolonel Kawilarang mendapat tugas baru menjadi Panglima Tentara & Teritorium III/Siliwangi, Jawa Barat. Dalam posisi barunya itulah, Kawilarang ingin mewujudkan cita-cita rekan seperjuangannya Letkol Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan berkualifikasi komando.

Pasukan khusus semakin dibutuhkan untuk menghadapi rongrongan DII/TII pimpinan Kartosuwiryo di wilayah Jawa Barat yang semakin meningkat. Gagasan ini sulit terwujud tanpa menemukan pelatih berkualifikasi komando. Kawilarang mahfum, tidak ingin gagasan ini kandas lagi di tengah jalan seperti nasib Kompi Pasukan Khusus (Kipasko). Kompi khusus yang pernah ia bentuk itu, sayangnya bubar karena tidak menemukan pelatih berkualifikasi komando.

Kompi satuan khusus Kipasko yang dibentuk Kawilarang dipimpin oleh Letnan Boyke Nainggolan. Sayangnya, latihan baru berjalan dua bulan, kompi ini sudah bubar karena tak kunjung menemukan pelatih berkualifikasi komando.

Akhirnya Kawilarang memperoleh informasi soal Idjon Djanbi. Ia lalu memanggil mantan ajudannya Letda Sugiyanto yang pernah terlibat pendidikan CIC II bersama Idjon Djanbi satu tahun sebelumnya. Sugiyanto menghubungi Idjon Djanbi untuk menghadap Kawilarang di Bandung.

Terhitung 1 April 1952, atas keputusan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, memutuskan bahwa Idjon Djanbi diangkat menjadi mayor infanteri TNI AD dengan NRP 17665. Lalu ia lapor diri kepada Kolonel Kawilarang selaku Panglima Komando Tentara & Teritorium III/Siliwangi untuk menerima tugas.

Mayor (Inf) Idjon Djanbi segera melatih kader perwira dan bintara untuk membentuk pasukan khusus. Tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan khusus dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi disingkat Kesko III di bawah komando Mayor Inf Idjon Djanbi.

Satu tahun kemudian Satuan yang baru dibentuk ini diambil alih kendalinya langsung di bawah Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Hal ini dilakukan mengingat Kesko III perlu didukung fasilitas dan sarana memadai untuk fungsi lebih luas.

Sehingga pada 14 Januari 1953, Kesko III berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Kemudian KSAD mengeluarkan surat keputusan pada 29 September 1953 tentang pengesahan pemakaian baret sebagai tutup kepala prajurit yang lulus pelatihan Komando.

Lanjut pada 25 Juli 1955, KKAD berubah nama menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah komando Mayor Mochammad Idjon Djanbi. Setahun kemudian, RPKAD menyelenggarakan pelatihan terjun payung pertama. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pasukan komando di Margahayu Bandung.

Langkah ini diambil karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar. Idjon Djanbi menginginkan prajurit RPKAD memiliki bekal sebagai pasukan payung, sehingga dapat digerakkan ke medan operasi menggunakan pesawat. Lulusan pelatihan terjun payung meraih kualifikasi sebagai penerjun militer serta berhak menyandang wing penerjun.

Masih di tahun 1956, pimpinan MBAD melihat celah untuk mengambil alih kepemimpinan RPKAD ke orang Indonesia. Buntutnya, Mayor Idjon Djanbi ditawari jabatan baru yang jauh dari urusan pelatihan komando dengan menjadi koordinator Staf Pendidikan pada Inspektorat Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat).

Tak lama menjabat, Idjon Djanbi meminta pensiun dini akhir 1957. Kebetulan waktu itu Indonesia sedang aktif melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang sebelumnya dikuasai penguasa Belanda. Idjon Djanbi yang telah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang telah dinasionalisasi.

Status Idjon Djanbi tidak pensiun sebagai anggota RPKAD, melainkan dikaryakan sebagai direktur produksi di Perusahaan Perkebunan Karet XXX Subang, Jawa Barat. Selepas dari sana ia berbisnis di bidang pariwisata dengan usaha penyewaan bungalow di Kaliurang, Yogyakarta. Tahun 1968 bertepatan dengan HUT Kopassus ke-69, pangkatnya dinaikan menjadi letnan kolonel dengan hak pensiun.

Berakhir di TPU Kuncen

Suatu hari di tahun 1977, Idjon Djanbi mengendarai mobil bersama keluarganya berlibur ke Yogyakarta. Tiba di sana, ia mengeluhkan sakit hebat di bagian perutnya. Keluarga segera membawanya ke rumah sakit Panti Rapih.

Hasil diagnosis dokter diketahui bahwa Idjon Djanbi mengalami usus buntu dan harus dioperasi. Usai dua minggu dioperasi tidak kunjung sembuh malah bertambah parah. Ternyata usus besarnya turut bermasalah, sehingga jiwanya tidak tertolong lagi.

Idjon Djanbi tutup usia di rumah sakit Panti Rapih pada 1 April 1977. Keluarga memutuskan memakamkannya di TPU Yogyakarta karena pertimbangan jarak yang jauh dari rumah mereka di Subang.

Selain mengingat ayah mereka sama sekali tidak memiliki sanak keluarga di Indonesia, Idjon Djanbi dikebumikan jauh dari tembakan salvo penghormatan sebagai Bapak Kopassus Indonesia yang sangat berjasa mencetak Pasukan Komando berkelas dunia yang kini dikenal dengan nama Kopassus.

Artikel Terkait