Evolusi Padi Menjadi Bahan Pangan Pokok di Nusantara

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Tak hanya di Indonesia, benarkah harga beras di luar negeri juga mahal?
Tak hanya di Indonesia, benarkah harga beras di luar negeri juga mahal?

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Di hamparan zamrud Nusantara, di mana sungai-sungai berkelok bak ular perak dan gunung-gunung menjulang bagai penjaga langit, terbentang kisah perjalanan panjang sebutir biji yang sederhana, namun menjadi sumber kehidupan bagi jutaan jiwa.

Ia adalah padi, sang raja pangan yang tak lekang oleh waktu, yang kisahnya berkelindan dengan sejarah, budaya, dan identitas bangsa Indonesia.

Jauh sebelum Nusantara mengenal megahnya candi-candi dan hiruk-pikuk kerajaan, nenek moyang kita telah mencicipi manisnya umbi-umbian, buah-buahan, dan hasil buruan.

Alam menyediakan segalanya, kehidupan berdampingan dengan harmoni. Namun, di balik rimbunnya hutan dan luasnya lautan, sebuah perubahan tengah bersemi.

Dari dataran tinggi Yunnan di Tiongkok Selatan, sekelompok manusia pemberani memulai perjalanan panjang mereka.

Mereka adalah bangsa Austronesia, pelaut ulung yang menjelajahi samudra dengan perahu cadik mereka. Di dalam bekal perjalanan mereka, terselip biji-bijian kecil yang akan mengubah nasib Nusantara selamanya: padi.

Tiba di Nusantara sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, bangsa Austronesia membawa serta budaya bercocok tanam padi di lahan basah.

Bukti arkeologis keberadaan padi di masa lampau ditemukan di situs Gua Maros, Sulawesi Selatan, berupa jejak sekam padi yang berusia sekitar 500 Masehi (Glover, 1985).

Penemuan lain oleh Paz (2005) di lokasi yang sama menunjukkan jejak padi yang lebih tua lagi, yaitu sekitar 2000 SM.

Perlahan namun pasti, padi mulai dibudidayakan di lereng-lereng bukit dan lembah-lembah subur.

Sistem irigasi sederhana dibangun, air dialirkan dari sungai dan mata air untuk mengairi sawah-sawah yang baru dibuka.

Matahari tropis yang hangat, tanah vulkanik yang gembur, dan air yang melimpah ruah menjadi ramuan sempurna bagi padi untuk tumbuh dan berbuah.

Seiring berjalannya waktu, padi bukan hanya sekadar sumber pangan, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan spiritualitas masyarakat Nusantara.

Upacara-upacara adat digelar untuk menghormati Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan, sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah.

Mitos dan legenda tentang padi pun lahir, diwariskan dari generasi ke generasi, menjaga kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, perdagangan dengan India dan Tiongkok semakin intensif.

Pedagang-pedagang asing membawa serta varietas padi baru yang lebih unggul, yang kemudian diadaptasi dan dikembangkan oleh petani-petani lokal.

Kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit menjadikan padi sebagai komoditas penting yang menopang perekonomian dan kemakmuran rakyatnya.

Sistem pertanian yang maju, dipadukan dengan kearifan lokal dalam pengelolaan air dan tanah, menghasilkan panen yang melimpah, menjadikan Nusantara sebagai lumbung padi di Asia Tenggara.

Namun, perjalanan padi di Nusantara tidak selalu mulus. Penjajahan membawa eksploitasi dan penderitaan.

Tanah-tanah subur dirampas, petani dipaksa menanam tanaman komoditas yang menguntungkan penjajah, sementara rakyat menderita kelaparan.

Namun, semangat juang dan kecintaan pada tanah air tak pernah padam. Padi tetap menjadi simbol perlawanan, sumber kekuatan bagi rakyat yang berjuang merebut kemerdekaan.

Setelah Indonesia merdeka, padi kembali menjadi prioritas. Pemerintah melaksanakan program-program untuk meningkatkan produksi padi, seperti pembangunan irigasi, penyediaan pupuk, dan pengembangan varietas unggul.

Swasembada pangan menjadi tujuan nasional, sebuah impian untuk menghidupi bangsa secara mandiri.

Perjalanan panjang padi di Nusantara mengajarkan kita banyak hal. Ia adalah kisah tentang keuletan, adaptasi, dan inovasi.

Ia mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan alam, menghormati kearifan lokal, dan menjaga kedaulatan pangan.

Kini, di era modernisasi dan globalisasi, padi tetap menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

Teknologi pertanian modern terus dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas padi.

Namun, di balik kemajuan teknologi, kita tidak boleh lupa akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap butir padi.

Padi bukan hanya sekadar sumber karbohidrat, tetapi juga simbol kebudayaan, identitas, dan ketahanan pangan bangsa Indonesia.

Ia adalah warisan nenek moyang yang harus kita jaga dan lestarikan untuk generasi mendatang.

Semoga kisah perjalanan padi ini memberikan inspirasi dan motivasi bagi kita semua untuk terus berjuang, berinovasi, dan berkarya demi kemajuan bangsa dan negara.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait