Proses Kreatif Kho Ping Hoo, Sang Pendekar Asmara dari Gunung Lawu

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Kho Ping Ho, salah satu penulis cerita silat paling legendaris di Indonesia. Kepada Intisari pada 1991 lalu, dia bercerita tentang proses kreatifnya (Heru Kustara/Majalah Intisari)
Kho Ping Ho, salah satu penulis cerita silat paling legendaris di Indonesia. Kepada Intisari pada 1991 lalu, dia bercerita tentang proses kreatifnya (Heru Kustara/Majalah Intisari)

Pada edisi Januari 1991, Intisari pernah menulis proses kreatif Asmaraman Sukowati Kho Ping Ho (1926-1994), salah satu penulis cerita silat paling legendaris di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan Intisari ketika itu, selain proses menulis, Kho banyak bercerita tengan falsafah kehidupan. Begini ceritanya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Dari tangannya telah lahir 300-an judul karangan sejak pertama memutuskan jadi penulis.

Dua ratus tujuh puluh judul di antaranya berupa cerita silat (cersil). Dari jumlah itu 240 berupa cersil China dan dan 30 cersil Jawa, yang memuat ratusan mungkin ribuan jurus sakti nan dahsyat rekaannya.

Itu artinya,setiap tahun meluncur enam judul cersil, sehingga setiap dua bulan lahir satu judul dari kepalanya. Kalau satu judul terdiri atas 20 jilid--malah ada yang sampai 40 jilid--dan tiap jilid berisi 64 halaman buku berukuran 10 x 13 cm, bisa dihitung berapa lembar halaman dia kebut dalam sehari.

Kho sendiri mengaku kadang kala bisa menyelesaikan 20-30 halaman sehari.

"Saya ini bukan apa-apa," ujarnya merendah diiringi senyum. Bisa jadi dia memang bukan apa-apa. Tapi yang terang, selama empat dasawarsa Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo tak pernah berhenti menulis. Karya-karya cersilnya terutama, hingga kini sudah malang melintang di berbagai pelosok tanah air. Ada juga yang mengembara hingga ke mancanegara, dipesan mahasiswa yang belajar di sana.

Tak cuma cerita silat, puluhan novel dan cerita pendek (cerpen) sudah digarapnya. Bahkan sebuah novelnya yang berjudul Darah Daging pernah diangkat ke layar putih.

Di Bawah Kolong Jembatan

Sebenarnya Kho Ping Hoo tak pernah punya bayangan bakal jadi pengarang. Apalagi penulis cerita silat. Yang dilakukannya sejak dia mulai kenal tulisan hanyalah kegemarannya melahap habis setiap bacaan.

Apa saja, termasuk buku-buku tentang kebatinan milik ayahnya. Kegemarannya semakin menggila setelah dia keluar dan MULO (SMTP zaman perang) di tengah jalan.

Kho kecil lahir di tengah keluarga yang tidak mampu. Bersama sebelas saudara dan kedua orangtuanya, dia tinggal di rumah kecil berdinding bambu dan berlantai tanah di Sragen, Jawa Tengah.

Ekonomi keluarganya makin amburadul tatkala Kho Kim Po, ayahnya, makin asyik-masyuk dengan dunianya sendiri, dunia kebatinan. Sebagai guru silat dia pun tak mau menerima bayaran dari para teecu atau muridnya.

"Ayah makin tak acuh pada pekerjaan mencari nafkah buat keluarga. Seakan-akan tidak lagi peduli pada soal-soal duniawi," kisahnya.

Apa mau dibilang. Sebagai anak lelaki tertua, Kho terpaksa ber-poksai, jungkir balik, mencari nafkah buat keluarganya. Kala itu umurnya baru 15 tahun, dan baru keluar dari MULO yang cuma ditempuhnya selama beberapa bulan gara-gara tak ada ongkos.

Namun, kebiasaannya membaca terus berlangsung di tengah pekerjaannya sebagai kuli pabrik di Kudus, atau penjaga toko di Surabaya, maupun juru tulis di perusahaan angkutan, dan belakangan ketua Organda di Tasikmalaya.

Tanpa dia sadari, kebiasaannya melahap buku apa saja membuat wawasannya bertambah, daya pikirnya kian tajam terasah. Ketika suatu kali membaca cerpen pada sebuah majalah, pikirannya berontak. Dia merasa, "Mestinya saya bisa menulis lebih baik dari itu." Terbitlah niatnya untuk menulis.

Lalu Kho mencoba, dan berhasil.

Cerpen perdananya itu dimuat Star Weekly, majalah top di Indonesia pada 1950-an. Judulnya "Di Bawah Kolong Jembatan". Ketika itu Kho berusia 24 tahun. Sejak itu cerpen-cerpennya, yang banyak mengkritik kepincangan sosial, menjadi langganan Surabaya Post, Panca Warna, atau Monalisa.

Gairah yang tak pernah padam

Pada tahun 1959, sebuah majalah di Bandung, Teratai namanya, meminta Kho yang saat itu tinggal di Tasikmalaya untuk menulis cersil. Kala itu sepertinya suatu majalah terasa tak lengkap jika tidak memuat cerita silat. Tentunya termasuk Teratai.

"Kebetulan waktu itu pengarang cerita silat belum ada. Yang ada baru penyadur cerita-cerita silat Hong Kong." Dia pun menyanggupinya.

"Kawan-kawan meragukan kemampuan saya karena saya biasa menulis cerpen," kenang Kho yang juga penggemar cersil. Ternyata hasilnya mengejutkan. Kho tidak menduga cersil rekaannya berjudul "Pek Liong Pokiam" alias "Pedang Pusaka Naga Putih" meledak.

Tulisannya disukai pembaca. Sejak itulah Kho mulai kebanjiran pesanan menulis cerita silat pada sejumlah media massa. Misalnya saja Majalah Selekta, Detektif & Romantika, dan Monalisa, masing-masing terbitan Kelompok Selekta.

Tahun demi tahun cerita silat berupa buku maupun cerita bersambung rekaannya terus bermunculan, mengisi khasanah cerita fiksi Indonesia. Bahkan hingga detik ini, gairahnya menulis tak menunjukkan tanda-tanda mau padam, meski usia pria kelahiran 17 Agustus 1926 ini semakin menua. "Saya akan terus menulis."

Pria berkacamata tebal dan murah senyum itu pun masih bugar dan penuh vitalitas. "Seminggu sekali saya main badminton," katanya. Kho mengaku masih kuat bermain tiga set nonstop. Mungkin karena itu dia tampak beberapa tahun lebih muda dari usianya.

Beberapa karya Kho Ping Ho (Majalah Intisari)
Beberapa karya Kho Ping Ho (Majalah Intisari)

Faktor X yang gaib

"Mungkin juga karena saya ini orang pasrah. Dipanggil Tuhan sekarang pun, monggo" katanya serius. Kepasrahan diri menjalani hidup itu sampai kini diyakininya sebagai faktor X, semacam dorongan dari "luar" dirinya untuk tak pernah berhenti menulis.

Ibarat dalang, Kho tak pernah kehabisan lakon. Setiap kali duduk di depan mesin ketik portable-nya, ide-ide cerita seperti berloncatan keluar begitu saja dari kepalanya. "Seperti ada yang bercerita pada saya, lalu saya tinggal mengetiknya," katanya.

Kho percaya ia sekadar "alat". "Otak manusia terbatas. Puluhan tahun terus mengarang, rasanya kok tidak mungkin saya lakukan sendiri."

Dia bercerita pernahmenggarap lima cerita silat sekaligus untuk dimuat bersambung pada Harian Angkatan Bersenjata, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Yogya Post, dan Minggu Pagi. Cerita itu umpamanya saja "Alap-alap Laut Kidul" (Kedaulatan Rakyat), "Seruding Gading" (Angkatan Bersenjata), "Sang Megatantra" (Suara Merdeka).

Tentu saja cerita dan latar sejarahnya berlainan. Ada Mataram, ada Majapahit, ada Cina.

Sudah ratusan cersil ditulisnya. Hebatnya, tak satu pun tokoh yang pernah disebut dalam satu cerita terulang pada cerita lain. "Padahal saya ini pelupa. Jika ditanya tentang cerita yang sudah lewat, saya tidak ingat lagi. Apalagi nama-nama tokohnya."

Dia juga tak masalah jika ketika sedang asyik menulis tiba-tiba ada tamu yang datang. Karena begitu tamu pergi, cerita akan segera bertaut kembali. Hebatnya lagi, setiap karangan dia bikin tanpa konsep.

"Bagaimana awal dan akhir sebuah., cerita mesti digarap, lalu kapan tamatnya, saya tidak tahu. Kalau ide sudah berhenti, ya tamat," ujarnya. Setiap kali satu cerita tamat, cerita lain sudah menunggu, siap dituangkan.

Tak sekadar khayalan

Tak ada hari tanpa menulis bagi Kho. Tak ada ceritanya dia tak duduk mengetik naskah, walau cuma satu-dua jam dalam sehari. "Kapan saja, tengah malam sekali pun."

Bahkan ketika suatu kali dirawat di rumah sakit karena serangan jantung, dia tetap menulis walau cuma pakai tangan.

Meski begitu dia toh masih butuh lingkungan yang tenang dan udara bersih, tempat dengan suasana yang mendukung kepekaan rasa serta keterampilan merangkai kata-kata. Untuk itu dipilihnya sebuah wisma sederhana di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Tawangmangu, 40 km sebelah timur Kota Solo.

Sejak belasan tahun sebelum ajal menjemputnya Kho punya kebiasaan "nyepi" di wismanya yang lengang itu empat hari dalam seminggu.

Buat penulis cerita fiksi, kemampuan berkhayal saja rasanya belum cukup. "Perlu diperkuat dengan pengalaman. Karena pengalaman sendiri terbatas, kita perlu menimba pengalaman orang lain lewat bacaan," katanya.

Dari dulu Kho memang tidak pilih-pilih bacaan. Mulai dari buku-buku sejarah, filsafat hingga psikologi, novel-novel karya pengarang macam Harold Robin, buku-buku tentang obat dan jamu tradisional sampai primbon disikatnya.

"Mungkin dari situ imajinasi saya makin berkembang untuk bisa merangkai cerita," kata pria berperawakan sedang yang rajin minum jamu ini.

Yang membuat tulisan Kho digemari — tak kurang yang sampai bikin keranjingan — mungkin karena ide dan ceritanya kerap melibatkan emosi pembaca. Cara bertuturnya menarik, dengan gaya bahasa sederhana tapi lancar, walau kadang terkesan kuno.

Tambahan lagi di dalamnya banyak dijumpai tuntunan kebajikan yang dijalin begitu apik dengan alur cerita, sehingga terasa tidak menggurui — ia memang tidak bermaksud begitu. Bagusnya lagi, tuntunan baik itu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi mungkin juga karena cerita di dalamnya tak seluruhnya fiktif. Ilmu bumi, sejarah dan kebudayaan Tiongkok maupun Jawa yang dikuasainya dijadikannya sebagai latar belakang.

Lokasi, tokoh-tokoh sejarah sentral dia paparkan seadanya, sementara lainnya fiktif. Ia memang tidak punya niatan menulis cerita sejarah, sebab, "Itu tidak menarik."

Jurus silat: kuburan atau penjara

Kho sendiri baru berkunjung ke Cina, negeri yang banyak dia pakai sebagai latar belakang tulisannya, setelah kegiatannya menulis cersil Cina memasuki tahun ke-27 (1986). Sebelumnya, dia cuma mengandalkan pengetahuannya dari membaca buku sejarah, ilmu bumi dan kebudayaan Tiongkok.

"Untuk menulis cerita dengan latar belakang sejarah tertentu, rasanya tak perlu harus mengunjungi tempat berlangsungnya sejarah itu lebih dulu. Kalau mesti begitu, bisa repot," kata Kho yang menguasai sejumlah bahasa lokal maupun asing, termasuk Mandarin itu.

Tapi untuk menulis cerita silat, katanya, setidaknya perlu tahu silat. Mujur baginya, dia pernah belajar dan berlatih silat. Meskipun tidak mendalaminya, dia piawai memainkan silat tangan kosong, silat pedang atau double stick.

Jurus-jurus silat Siauw Lim (sebuah aliran silat yang konon tertua di Tiongkok) yang dikuasainya itu berkat ajaran sang ayah. Belakangan suhunya itu pula yang membuat Kho berhenti berlatih. "Jika ilmu silat diterima secara keliru, cuma dua jurusannya: kuburan atau penjara," ujar ayahnya dulu.

Kho akhirnya memang lebih suka menekuni dunia tulis-menulis, terutama cerita silat. Soalnya, semua cersil mengacu pada masa lampau. "Di situlah saya bebas mengeluarkan unek-unek, pendapat atau kritik tentang apa saja," katanya.

Bau busuk tercium wangi

Berbekal sekelumit ilmu bela diri itu, Kho yang kaya akan imajinasi lalu mereka-reka jurus-jurus baru yang sakti nan dahsyat untuk cersilnya. "Jurus-jurus itu saya buat selogis mungkin. Tidak ngawur, meski termasuk yang disebut kesaktian sekalipun."

Dalam satu karyanya bisa dijumpai bagaimana dahsyatnya jurus-jurus silat rekaannya macam jurus tipu-serang Hui-eng-bok-thou (Elang Terbang Menyambar Kelinci), gerak serbu Ngo-yang-pok-tse (Kambing Kelaparan Tubruk Makanan) atau jurus golok Ngohouw-toan-bun-too (Lima Harimau Memegat Pintu) dan masih banyak lagi.

Jurus-jurus sakti dan sengitnya pertempuran, katanya, cuma sekadar bumbu. "Biar ceritanya lebih seru dan menegangkan." Yang lebih penting, menurut Kho justru tuntunan hidup yang sengaja ia selipkan di dalamnya.

Apakah itu soal pemahaman dan penghayatan arti kejujuran, cinta, watak ksatria, kekayaan dan kekuasaan. Ataukah soal rasa dendam, sifat iri hati, marah, kejam, licik, serakah dan sifat minor lainnya yang perlu enyah dari muka bumi.

Untuk itu tak jarang ia mengutip petuah-petuah lama yang dianggapnya baik dan relevan dengan masa sekarang. Sebuah sajak kuno dalam kisah Pendekar Super Sakti, buku ke-7 serial Bu-kek Siansu karyanya yang tergolong digemari bersama serial Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), salah satu contohnya.

Warna hitam tampak putihbau busuk disangka wangisuara brengsek terdengar merdurasa pahit katanya manisjangan percaya mata-hidung-telinga-mulut semua itu palsu belaka!

Kedengarannya seperti sajak anak-anak, tapi sebenarnya sajak itu punya arti yang dalam. Di baliknya termuat sindiran betapa manusia dikuasai oleh panca inderanya, betapa manusia selalu menuruti perasaannya.

Tidak sulit menemukan dagelan macam itu dalam kehidupan sehari-hari di masa kini sekalipun. Betapa banyak orang melihat hal hitam sebagai putih, sehingga yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan.

Hal-hal busuk dibungkus dengan harta, sehingga tercium wangi. Suara-suara menyesatkan dianggap merdu, sekiranya suara itu menguntungkannya. Masih panjang daftar kenyataan lain yang tak kalah menggelikan untuk disebut.

Penulis sekaligus konsultan

Masih banyak hal lain tentang hidup dia ungkapkan, sampai-sampai oleh sementara penggemarnya Kho dianggap sebagai semacam konsultan atau malah ayah mereka. Salah satunya seorang anak dari Banjarmasin.

Dia mengadu kepada Kho lewat surat bahwa ia benci pada ayahnya dan berniat membunuhnya karena ayahnya menikah lagi. Berkat nasihatnya, anak itu kembali rukun dengan ayahnya.

Surat-surat yang sampai ke tangannya kebanyakan berasal dari pengagum cersilnya, dan di antaranya sedang menghadapi krisis hidup seperti kehilangan kasih sayang orangtua, menganggur, kawin paksa dsb.

"Hal-Hal semacam itu mengharukan buat saya, sehingga setiap surat penggemar saya balas," katanya. Buat Kho, dunia surat-menyurat lalu menjadi tidak kalah penting dari urusan lain. "Kini saya hidup dalam tiga alam sekaligus: alam kepengarangan, lalu alam keluarga dan, alam surat-menyurat, yang masing-masing membawa keasyikan tersendiri."

Di kawasan tempat tinggalnya, di Kampung Mertokusuman, Solo, banyak orang mengenal Kho sebagai orang yang supel, ringan tangan dan peduli pada kepentingan orang lain. Tidak heran kalau ia mudah berbaur dengan masyarakat sekitarnya.

"Tidak ada konsep dan tidak perlu dikonsepkan. Saya tidak secara sengaja membaur-baurkan diri. Saya hanya tidak merasa berbeda dengan yang lain, dan apa yang saya lakukan semua saya landasi cinta," ujar pria yang dalam tubuhnya mengalir darah Jawa (Neneknya seorang Jawa asal Bakulan, Yogyakarta).

"Bagaimana perlu merasa berbeda wong saya lahir di sini. Ayah saya, embah saya lahir di sini. Saya pun bekerja di sini, yang saya pikirkan di sini, dan saya juga mau mati di sini?" ujarnya setengah bertanya. Dua orang putrinya pun menikah dengan penduduk setempat.

Menurut Kho, pembauran yang cuma berdasarkan anjuran semata bisa menimbulkan kemunafikan. "Dari lahir tampak membaur," tapi secara batin tidak. Itu 'kan palsu?" Diakuinya pula, manusia kebanyakan tidak ada yang sempurna. Termasuk dirinya.

"Selama masih bernama manusia, pasti tak luput dari dosa, Sekecil apa pun. Jadi, kalau sudah tahu sama-sama punya dosa, ya bersalaman saja. Mari sama-sama membersihkan diri, ‘kan enak?" katanya. Lepas dari persoalan apa pun, tambahnya, yang biasanya bisa menimbulkan konflik, jika orang sudah merasa dirinya bersih, sementara orang lain dianggap sebaliknya.

Honor dari mantu

Dalam cersilnya, kerap kali dia sisipkan pemahaman bahwa kekayaan bukan tolok ukur kebahagiaan seseorang.

"Coba, kalau orang sudah jadi kaya betul, apakah hidupnya lalu lebih bahagia? Belum tentu. Pasti ada saja persoalan yang mengganggu mereka. Jadi, tidak ada alasan buat saya untuk iri hati misalnya," katanya sembari terbahak. Kekayaan (materi) memang bukan tujuan hidupnya. Kebetulan darah bisnis, seperti diakuinya, tidak mengalir dalam tubuhnya.

Pada tahun 1964, dia memang mendirikan sebuah perusahaan percetakan dan penerbitan, CV Gema. Tapi, semua itu semata-mata bukan untuk mencari laba seperti lazimnya orang membangun sebuah perusahaan. Pasalnya, setelah banyak digemari orang, karangannya dicetak dan diterbitkan orang lain.

"Belakangan karena kerap dipermainkan tukang cetak, saya lalu berpikir mungkin lebih baik kalau dicetak sendiri." Lalu berdirilah CV Gema. Perusahaan miliknya itu mengawali operasi dengan modal dua buah handpress.

Namun, delapan tahun sejak berdirinya, Gema dia serahkan kepada anak dan menantunya. Hingga berkembang menjadi enam handpress dan dua dari empat mesin offset milik Gema khusus melayani karya Kho Ping Hoo.

"Saya puas mendapat honor dari mantu saya," katanya. Dari setiap jilid bukunya dia menerima Rp25.000 (pernyataan tahun 1991).

Cerita silat karyanya memang terbukti laris. Setiap tiga tahun sekali dilakukan cetak ulang. "Ada yang sudah 5-6 kali cetak ulang." Karya baru biasanya lebih dulu dimuat secara bersambung di sejumlah media massa.

Dari sini Kho memperoleh Rp 7.500,00 per lembar kertas ketik. Bahkan Badai Laut Selatan, salah satu karyanya yang kini masih diradiokan, sudah dibeli produser film dari ibu kota untuk dilayarperakkan.

Cita-cita=sampah

Berapa penghasilannya sebulan, Kho sendiri tak pernah menghitung-hitung. Apalagi tawar-menawar soal berapa hasil karyanya mesti dihargai. "Mau dihargai berapa, terserah mereka. Sebab ini 'kan bukan barang dagangan yang bisa dihitung berapa modal dan ongkos yang sudah dikeluarkan."

Lagi-lagi kekayaan bukan cita-citanya. Malah yang namanya cita-cita itu dia tak pernah punya. "Boleh buang cita-cita itu ke keranjang sampah. Itu soal nanti. Kalau ditunggangi iblis, orang bisa menghalalkan cara."

Yang lebih penting, katanya, adalah prinsipnya: melakukan dengan benar apa yang sedang dihadapi. "Kalau memang kepingin kaya misalnya, ya bekerjalah yang betul. Tanpa prinsip itu, orang bisa terjebak untuk mencari jalan pintas: korupsi, menodong, menipu dsb.," ujarnya menggebu-gebu.

Kho Ping Hoo pun tidak pernah punya bayangan jadi pengarang cerita silat. "Saya hanya menjalani hobi saya menulis dengan tekun dan serius. Itu saja. Kita jadi apa sekarang ini hanya akibat dan apa yang kita lakukan sebelumnya." Akibat ketekunannya, terbukti kini Kho menjadi pengarang cersil yang kesohor di tanah air.

Akhirnya Kho menyitir sebuah kata-kata mutiara, "Whatever you do in your life, do it with love in your heart".

Suatu ketika Kho diminta pimpinan Kelompok Selekta untuk menggunakan beberapa nama samaran, agar cersil dalam sejumlah majalahnya tak terkesan hanya diisi olehnya saja. Pria kelahiran Kota Sragen (dulu bernama Sukowati) itu lalu memasang nama samaran, salah satunya Asmaraman.

Belakangan nama itulah yang ia tempelkan di depan nama pemberian orangtuanya setelah dipercantik dengan Sukowati. Nama Asmaraman menurut pengakuannya tidak ada kaitannya dengan urusan Si Pria Petualang Cinta.

Boleh percaya, boleh tidak. Tapi, tampaknya kata-kata mutiara yang disitirnya itu tak cuma slogan angin kosong, paling tidak buat diri Kho sendiri. Dalam banyak hal, sikap dan tindakannya senantiasa dilandasi dengan "asmara" (baca: cinta kasih).

Mungkin tidak terlalu pagi jika ada yang menjuluki Kho Ping Hoo sebagai Pendekar "Asmara" dari Gunung Lawu. Asal jangan disalahartikan dengan urusan pendekar perkasa yang malang-melintang di dunia asmara, mengumbar ajian Kumbang Jantan Mengisap Madu. Ciiaaaat…!!!! Bleesss...!!!! (Heru Kustara)

Artikel Terkait