Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Embun pagi menyapa Batavia di awal abad ke-20. Semangat perjuangan mulai bergelora di dada pemuda-pemuda pribumi.
Di tengah keterbatasan dan penindasan, sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo lahir pada tanggal 20 Mei 1908, menandai babak baru dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.
Boedi Oetomo, yang digagas oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan dibidani oleh para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) seperti Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan lainnya, hadir sebagai pelopor organisasi modern pertama di Hindia Belanda.
Organisasi ini menjadi wadah bagi kaum terpelajar untuk menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan kemajuan bangsa.
Namun, di balik semangat membara dan cita-cita mulia, terdapat pertanyaan yang menggelitik, dari mana Boedi Oetomo mendapatkan anggaran untuk menjalankan roda organisasinya di masa-masa awal berdirinya?
Mari kita telusuri jejak sejarah, menyingkap tabir masa lalu, dan menyelami kisah perjuangan para perintis bangsa dalam mencari sumber dana untuk mewujudkan impian kemerdekaan.
Bergantung pada Iuran Anggota dan Sumbangan
Pada awal berdirinya, Boedi Oetomo tak ubahnya sebuah kapal kecil yang mengarungi lautan luas dengan perbekalan seadanya.
Sumber utama pendanaan organisasi berasal dari iuran anggota dan sumbangan sukarela dari para simpatisan.
Seperti dikisahkan dalam buku "Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia" karya Sartono Kartodirdjo (1975), para pelajar STOVIA yang menjadi motor penggerak Boedi Oetomo rela menyisihkan uang saku mereka untuk menghidupi organisasi.
Meskipun jumlahnya tidak besar, namun semangat gotong royong dan pengorbanan mereka menjadi pondasi awal bagi keberlangsungan organisasi.
Selain iuran anggota, Boedi Oetomo juga mendapatkan dukungan finansial dari berbagai kalangan, mulai dari bangsawan Jawa, pedagang Tionghoa, hingga tokoh-tokoh masyarakat yang peduli terhadap nasib bangsa.
Sumbangan tersebut diberikan secara sukarela, tanpa pamrih, sebagai wujud dukungan terhadap perjuangan Boedi Oetomo dalam memajukan pendidikan dan kesejahteraan rakyat.
Menghimpun Dana Melalui Berbagai Kegiatan
Tak hanya mengandalkan iuran dan sumbangan, Boedi Oetomo juga aktif melakukan berbagai kegiatan untuk menggalang dana. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan pertunjukan kesenian tradisional, seperti wayang kulit dan ketoprak.
Dalam buku "Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa" karya Takashi Shiraishi (1990), disebutkan bahwa pertunjukan-pertunjukan tersebut tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga menjadi ajang untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat luas sekaligus mengumpulkan dana untuk organisasi.
Selain pertunjukan seni, Boedi Oetomo juga mengadakan bazar, penjualan barang-barang kerajinan, dan penerbitan majalah sebagai sumber pemasukan.
Meskipun hasilnya tidak selalu besar, namun setiap rupiah yang terkumpul digunakan dengan penuh kehati-hatian untuk membiayai kegiatan organisasi, seperti penerbitan brosur, penyelenggaraan rapat, dan pengiriman delegasi ke berbagai daerah.
Mengandalkan Jaringan dan Relasi
Di tengah keterbatasan akses terhadap sumber daya, Boedi Oetomo memanfaatkan jaringan dan relasi untuk memperluas jangkauan penggalangan dana.
Dr. Wahidin Soedirohoesodo, yang dikenal sebagai tokoh pergerakan berpengaruh, memainkan peran penting dalam menjalin komunikasi dengan berbagai kalangan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Melalui jaringan relasi yang luas, Boedi Oetomo berhasil mendapatkan dukungan dari sejumlah tokoh penting, seperti Raden Ajeng Kartini.
Dalam surat-suratnya yang dibukukan dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" (1911), Kartini mengungkapkan dukungannya terhadap perjuangan Boedi Oetomo dan memberikan sumbangan finansial untuk membantu organisasi.
Menghadapi Tantangan dan Kendala
Perjalanan Boedi Oetomo dalam mencari sumber dana tidak selalu mulus. Organisasi ini kerap menghadapi tantangan dan kendala, terutama dari pemerintah kolonial Belanda yang selalu berusaha membatasi ruang gerak pergerakan nasional.
Salah satu contohnya adalah pembatasan terhadap penyelenggaraan kegiatan penggalangan dana.
Pemerintah kolonial seringkali mengeluarkan peraturan yang menyulitkan Boedi Oetomo dalam mengadakan pertunjukan seni, bazar, atau penerbitan majalah.
Namun, semangat juang para perintis bangsa tak pernah padam. Mereka terus mencari cara untuk mengatasi berbagai rintangan dan memastikan keberlangsungan organisasi.
Sebuah Warisan Berharga
Kisah perjuangan Boedi Oetomo dalam mencari sumber dana merupakan sebuah warisan berharga bagi generasi penerus.
Semangat pantang menyerah, kreativitas, dan solidaritas yang ditunjukkan oleh para pendiri organisasi patut menjadi teladan bagi kita semua.
Meskipun telah lama berlalu, semangat Boedi Oetomo tetap hidup dan menginspirasi.
Perjuangan mereka mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari pengorbanan dan kerja keras seluruh elemen bangsa.
Di era modern ini, ketika akses terhadap sumber daya semakin terbuka, kita memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan.
Mari kita gunakan segala kemampuan dan kesempatan yang ada untuk membangun Indonesia yang lebih maju, adil, dan sejahtera.
Sumber:
Kartodirdjo, Sartono. (1975). Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Shiraishi, Takashi. (1990). Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa. Jakarta: LP3ES.
Kartini, Raden Ajeng. (1911). Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---