Kelahirannya di tanah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kerajaan Luwu pada abad ke-17, menandai awal dari sebuah perjalanan yang penuh lika-liku, perjuangan, dan pengabdian.
Daeng Mangika, yang memiliki nama asli La Maddukelleng, adalah putra dari Raja Luwu, Opu To Appatunru. Ia tumbuh besar di lingkungan istana, ditempa dengan nilai-nilai keberanian, kepemimpinan, dan kesetiaan.
Jiwa petualang yang membara dalam dirinya membuatnya memilih jalan hidup sebagai seorang pelaut dan penjelajah. Lautan bagaikan halaman rumah yang luas, menantangnya untuk mengarungi samudra dan mengungkap misteri yang tersembunyi di balik cakrawala.
Pada masa itu, Nusantara adalah lautan luas yang dihiasi gugusan pulau-pulau, di mana kerajaan-kerajaan maritim berjaya.
Perdagangan rempah-rempah menjadi urat nadi perekonomian, menghubungkan Timur dan Barat dalam jalinan sutra dan aroma cengkeh yang memabukkan.
Di tengah gemerlapnya perdagangan dan intrik politik, Daeng Mangika muncul sebagai sosok yang disegani, seorang laksamana ulung yang memimpin armada laut dengan gagah berani.
Mengukir Nama di Tanah Jambi
Takdir membawa Daeng Mangika ke tanah Jambi, di mana ia mempersunting Putri Selaras Pinang Masak, adik dari Sultan Jambi. Pernikahan ini bukan hanya mengikat dua hati, tetapi juga dua kerajaan dalam sebuah aliansi strategis.
Daeng Mangika diangkat menjadi panglima perang Kesultanan Jambi, memimpin armada laut untuk menjaga kedaulatan wilayah dan mengamankan jalur perdagangan.
Kepemimpinannya yang bijaksana dan kemampuannya dalam strategi perang membuat Daeng Mangika menjadi sosok yang dihormati dan dicintai rakyat Jambi.
Ia memimpin pasukannya dengan keberanian dan keadilan, melindungi negeri dari ancaman bajak laut dan serangan musuh. Namanya harum di seantero Jambi, laksana bunga melati yang menyebarkan keharumannya di setiap sudut negeri.
Namun, takdir kembali memainkan perannya. Konflik internal di Kesultanan Jambi memaksa Daeng Mangika untuk meninggalkan tanah yang telah menjadi rumahnya. Ia berlayar menuju Palembang, meninggalkan kenangan dan jejak-jejak kepahlawanannya di bumi Jambi.
Palembang: Panggung Kepemimpinan yang Baru
Di Palembang, Daeng Mangika disambut dengan tangan terbuka oleh Sultan Abdurrahman. Kemampuannya dalam memimpin armada laut dan strategi perangnya yang cemerlang membuat Sultan Abdurrahman mempercayakannya untuk menjadi panglima perang Kesultanan Palembang.
Ia diberi mandat untuk membangun kekuatan maritim, melindungi Palembang dari ancaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang semakin agresif.
Daeng Mangika dengan sigap membangun armada laut yang kuat, melatih para pelaut dengan disiplin dan strategi perang yang modern. Ia memimpin pasukannya dalam beberapa pertempuran melawan VOC, mengobarkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme.
Keberaniannya dalam menghadapi musuh yang lebih kuat membuat namanya semakin tersohor, menjadi simbol perlawanan rakyat Nusantara terhadap penjajahan.
Salah satu pertempuran heroik yang dipimpin Daeng Mangika adalah pertempuran di Kuala Sungai Musi pada tahun 1659. Dengan strategi yang cerdik dan semangat juang yang tinggi, ia berhasil mengalahkan armada VOC yang dipimpin oleh Admiral Johan van der Laen.
Kemenangan ini mengguncang dominasi VOC di Nusantara, membuktikan bahwa kekuatan maritim pribumi mampu melawan kolonialisme.
Warisan Kepahlawanan Daeng Mangika
Daeng Mangika wafat pada tahun 1669, meninggalkan warisan kepahlawanan yang abadi. Namanya terukir dalam sejarah Nusantara sebagai laksamana pemberani, pemimpin yang bijaksana, dan pejuang yang gigih melawan penjajahan.
Semangat juangnya menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk terus berjuang demi kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.
Kisah hidup Daeng Mangika adalah cerminan dari semangat maritim Nusantara yang tangguh. Ia adalah simbol perlawanan terhadap penjajahan, bukti bahwa bangsa Indonesia memiliki kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Jejak-jejak kepahlawanannya tersebar di berbagai penjuru Nusantara, dari Jambi hingga Palembang, menjadi pengingat akan keberanian dan pengabdiannya kepada bangsa dan tanah air.
Daeng Mangika, sang laksamana pemberani dari tanah Bugis, telah mengukir namanya dalam sejarah Nusantara.
Kiprahnya di Jambi dan Palembang, perjuangannya melawan VOC, dan semangatnya yang tak pernah padam menjadi inspirasi bagi kita semua. Mari kita teladani keberanian, kepemimpinan, dan pengabdiannya untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Semoga kisah Daeng Mangika ini dapat membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme kita, serta mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.
Sumber:
Buku "Sejarah Nasional Indonesia" oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.
Buku "Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung: Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap" oleh Erwiza.
Artikel "Virus Batin Tikal" di Kompas.id.
*