Bagaimana Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Pernah Dikalahkan Bangsa Portugis?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Kapal Portugis menuju Samudera Pasai.
Ilustrasi - Kapal Portugis menuju Samudera Pasai.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Angin laut berbisik lembut, mengusap pantai pasir putih di pesisir utara Sumatera.

Di sana, di bawah naungan langit tropis yang biru, berdirilah Samudra Pasai, sebuah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang cahaya kejayaannya pernah menyinari selat Malaka.

Aroma rempah-rempah yang harum semerbak menguar dari pelabuhannya yang ramai, dikunjungi saudagar-saudagar dari berbagai penjuru dunia.

Emas, sutra, dan keramik bertukar tangan, menandakan kemakmuran dan kebesaran kerajaan yang didirikan oleh Meurah Silu, sang Sultan Malik al-Saleh.

Namun, seperti pergantian musim, roda nasib pun berputar. Di ufuk barat, muncullah layar-layar kapal asing yang membawa ambisi dan dahaga akan kekuasaan.

Bangsa Portugis, dengan semangat Reconquista dan impian menguasai jalur rempah-rempah, menjejakkan kaki di bumi Nusantara.

Tahun 1521 menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi yang merenggut kejayaan Samudra Pasai. Benteng pertahanan yang kokoh, yang selama ini menjadi pelindung kerajaan, runtuh di bawah gempuran meriam-meriam Portugis.

Bagaimana bisa kerajaan yang begitu makmur dan berpengaruh, yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Nusantara, takluk di tangan bangsa asing?

Mari kita telusuri jejak-jejak sejarah, menyingkap tabir masa lalu, untuk memahami bagaimana Samudra Pasai pernah dikalahkan oleh bangsa Portugis.

Kejayaan Samudra Pasai, Mercusuar Islam di Nusantara

Sebelum badai datang menerjang, Samudra Pasai berdiri tegar sebagai kerajaan maritim yang disegani. Letaknya yang strategis di jalur perdagangan Selat Malaka menjadikannya pusat perdagangan internasional.

Kapal-kapal dari Cina, Arab, India, dan Persia berlabuh di pelabuhannya, membawa berbagai komoditas berharga. Lada, emas, dan kapur barus menjadi komoditas utama yang menarik minat para pedagang asing.

Kemakmuran ekonomi Samudra Pasai juga tercermin dari penggunaan mata uang emas yang disebut dirham. Mata uang ini menjadi bukti kedaulatan dan stabilitas ekonomi kerajaan.

Selain sebagai pusat perdagangan, Samudra Pasai juga menjadi pusat penyebaran agama Islam di Nusantara. Para ulama dan cendekiawan datang dari berbagai negeri untuk menimba ilmu dan menyebarkan ajaran Islam.

Ibnu Batutah, seorang penjelajah Muslim terkenal dari Maroko, menyebutkan dalam catatan perjalanannya tentang kemakmuran dan keramahan penduduk Samudra Pasai ketika ia berkunjung pada tahun 1345.

Ia menggambarkan Sultan al-Malik az-Zahir sebagai seorang penguasa yang saleh dan dermawan.

“Negeri Samudra Pasai sangat subur... Sultannya sangat memperhatikan para fakir dan ulama... Ia sering mengadakan jamuan makan untuk para ulama dan orang-orang saleh.” (Tulisan Ibnu Batutah)

Namun, di balik kegemilangannya, Samudra Pasai menyimpan kelemahan internal yang menjadi celah bagi bangsa asing untuk menguasainya.

Bayang-bayang Portugis di Ufuk Timur

Kedatangan bangsa Portugis di Nusantara diawali oleh semangat penjelajahan samudra dan ambisi untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah.

Setelah menaklukkan Malaka pada tahun 1511, Portugis mengalihkan perhatian mereka ke Samudra Pasai.

Beberapa faktor melatarbelakangi serangan Portugis ke Samudra Pasai. Pertama, Portugis ingin menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka.

Samudra Pasai, sebagai salah satu pelabuhan penting di Selat Malaka, menjadi target utama Portugis. Kedua, Portugis ingin memonopoli perdagangan lada.

Samudra Pasai merupakan produsen lada terbesar di wilayah tersebut. Dengan menguasai Samudra Pasai, Portugis dapat mengendalikan pasokan lada ke Eropa.

Ketiga, adanya konflik internal di Samudra Pasai. Perebutan kekuasaan antara Sultan dengan para bangsawan melemahkan kekuatan kerajaan.

Portugis memanfaatkan situasi ini untuk melancarkan serangan. Pada tahun 1521, armada Portugis di bawah pimpinan Kapten Jorge de Albuquerque tiba di perairan Samudra Pasai.

Pertempuran yang Tidak Seimbang

Pasukan Samudra Pasai, meskipun gagah berani, tidak mampu menahan gempuran meriam-meriam Portugis. Persenjataan tradisional seperti tombak, dan panah tidak sebanding dengan kekuatan senjata api yang dimiliki Portugis.

Selain itu, strategi perang Portugis yang lebih modern dan terorganisir membuat pasukan Samudra Pasai kewalahan.

Portugis menggunakan taktik mengepung dan membombardir benteng pertahanan Samudra Pasai dari laut.

Pertempuran berlangsung sengit. Pasukan Samudra Pasai berjuang mati-matian untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan.

Namun, keunggulan teknologi dan strategi perang Portugis akhirnya menentukan hasil pertempuran. Benteng pertahanan Samudra Pasai runtuh, dan kerajaan pun jatuh ke tangan Portugis.

Akibat dan Hikmah dari Kejatuhan Samudra Pasai

Jatuhnya Samudra Pasai ke tangan Portugis menandai awal dari masa penjajahan bangsa Eropa di Nusantara. Portugis menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan memonopoli perdagangan lada.

Kejatuhan Samudra Pasai juga memberikan pelajaran berharga bagi kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.

Perlunya memodernisasi persenjataan dan meningkatkan kemampuan strategi perang menjadi sangat penting untuk menghadapi ancaman bangsa asing.

Meskipun Samudra Pasai telah dikalahkan oleh Portugis, semangat perlawanan rakyat Aceh tidak pernah padam.

Kerajaan Aceh Darussalam kemudian muncul sebagai kekuatan baru yang menantang kekuasaan Portugis di Selat Malaka.

Kisah kejatuhan Samudra Pasai merupakan sebuah tragedi yang menorehkan luka mendalam dalam sejarah Nusantara.

Namun, dari kehancuran tersebut, muncul semangat perlawanan dan persatuan untuk merebut kembali kedaulatan dan kemerdekaan.

Sumber:

Reid, Anthony. (2011). Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. (2019). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.

Denys Lombard. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

*

Artikel Terkait