Ombak memecah di pasir putih, seakan mengiringi kisah perebutan takhta yang mengguncang kerajaan. Sultan Ageng Tirtayasa, sang penguasa arif dan bijaksana, harus menghadapi kenyataan pahit, putranya sendiri, Sultan Haji, berambisi merebut kekuasaannya.
Di tengah konflik internal yang memanas, bayangan asing mengintai dari kejauhan. VOC, kongsi dagang Belanda yang haus akan rempah-rempah, melihat peluang emas untuk menancapkan kukunya lebih dalam di bumi Nusantara.
Mereka mencium aroma perpecahan di Banten, dan dengan liciknya, memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan mereka sendiri.
Ambisi Sultan Haji dan Janji Manis VOC
Sultan Haji, pemuda yang dibakar api ambisi, terbuai oleh janji manis VOC. Ia tergiur oleh iming-iming kekuasaan dan harta benda yang melimpah ruah.
Baginya, VOC adalah sekutu yang tepat untuk menggulingkan sang ayah dan merebut tahta Kesultanan Banten.
VOC, dengan cerdiknya, memainkan peran sebagai "penyelamat" bagi Sultan Haji. Mereka menawarkan dukungan militer dan bantuan finansial, yang tentu saja tidak datang tanpa pamrih.
Di balik topeng persahabatan, VOC menyimpan agenda tersembunyi: menguasai perdagangan di Banten dan memonopoli rempah-rempah yang menjadi sumber kekayaan kerajaan.
Monopoli Perdagangan
Banten, di masa kejayaannya, merupakan pusat perdagangan yang ramai dan makmur. Lada, cengkeh, dan pala menjadi komoditas primadona yang diburu para pedagang dari berbagai penjuru dunia.
VOC, yang telah mendirikan markas di Batavia (Jakarta), melihat Banten sebagai ancaman serius bagi hegemoni mereka di Nusantara.
Oleh karena itu, VOC berusaha keras untuk menguasai perdagangan di Banten. Mereka menginginkan hak monopoli untuk membeli rempah-rempah dengan harga murah dan menjualnya kembali dengan harga tinggi di pasar Eropa.
Konflik internal antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji menjadi kesempatan emas bagi VOC untuk mewujudkan ambisi mereka.
Perjanjian dan Pengkhianatan
Sultan Haji, dibutakan oleh ambisi dan rayuan VOC, menandatangani perjanjian yang merugikan Kesultanan Banten.
Ia memberikan hak monopoli perdagangan kepada VOC, mengizinkan mereka membangun benteng di Banten, dan bahkan bersedia menyerahkan sebagian wilayah kekuasaan kerajaan.
Perjanjian ini menjadi awal dari kejatuhan Kesultanan Banten. VOC, dengan kekuatan militernya yang superior, berhasil membantu Sultan Haji menggulingkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Sang penguasa arif dan bijaksana itu dipaksa turun takhta dan diasingkan ke Batavia, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya dalam kesunyian dan kepedihan.
Banten di Bawah Cengkeraman VOC
Setelah Sultan Haji naik takhta, Banten jatuh ke dalam cengkeraman VOC. Perdagangan rempah-rempah dimonopoli, perekonomian kerajaan hancur, dan rakyat hidup dalam kemiskinan.
Sultan Haji, yang awalnya bermimpi menjadi penguasa yang berkuasa, hanyalah boneka di tangan VOC. Ia tak berdaya menghadapi keserakahan dan kekejaman kongsi dagang Belanda tersebut.
Pelajaran dari Sejarah
Kisah konflik internal di Kesultanan Banten dan campur tangan VOC memberikan pelajaran berharga bagi kita. Ambisi yang tak terkendali dan keserakahan dapat menghancurkan sebuah kerajaan, bahkan sebuah bangsa.
Persatuan dan kesatuan adalah kunci untuk menghadapi ancaman dari luar, baik itu berupa kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi.
Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kedaulatan dan kemandirian bangsa. Jangan sampai kita terjebak dalam permainan politik dan ekonomi bangsa lain, yang hanya akan merugikan kepentingan nasional.
Marilah kita belajar dari sejarah, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Sumber:
Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Balai Pustaka, Jakarta.
Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, Claude Guillot, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Perang, Dagang, dan Perebutan Hegemoni: VOC dan Banten Abad XVII, Leonard Y. Andaya, LP3ES, Jakarta.
Sultan Ageng Tirtayasa: Pahlawan Nasional dari Banten, Nina Herlina Lubis, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, M.C. Ricklefs, Serambi, Jakarta.
*